Jero
Wacik dan Orang Bali di Perantauan
Dewa Gde Satrya ; Dosen
International Hospitality & Tourism Business, Universitas Ciputra
|
JAWA POS,
06 September 2014
KETERKEJUTAN
menyertai ditetapkannya Jero Wacik sebagai tersangka oleh KPK pada Rabu
kemarin (3/9). Secara khusus, Jero Wacik adalah representasi orang Bali di
kancah nasional. Namanya mengangkat martabat orang Bali yang tidak hanya
piawai menghidupi seni, budaya, dan memastikan pertahanan sektor pariwisata
Indonesia dalam persaingan global, tetapi juga berkemampuan membangun karir,
reputasi, dan tentu saja prestasi setapak demi setapak hingga ke puncak.
Kini, sebagai politikus yang berdarah Bali, Jero Wacik masuk dalam pusaran
politisi kebanyakan yang rentan dengan penyelewengan wewenang jabatan.
Meski
bukan sebagai unjuk kesombongan, percampuran nilai-nilai ke-Bali-an
seharusnya serta-merta menjadi sumbangan yang khas, unggul, dan berhikmah
positif di kehidupan. Sebagaimana seniman Bali yang menghibur, hakikat
ke-Bali-an dalam aneka profesi seharusnya juga menghibur dan menyejukkan.
Seirama
dengan dua seniman dunia asal Ubud, Ketut Rina yang menggerakkan puluhan dan
ratusan penari kecak dalam irama Cak yang ritmis dan magis, juga tiupan
suling Gus Teja yang meneduhkan. Demikian pulalah orang Bali di berbagai lini
profesinya seharusnya mampu lebih menghadirkan kebahagiaan kepada sesama
sebagai wujud yang sama dengan bakti kepada Sang Pencipta dan alam semesta.
Dharma vs Adharma
Menyertai
mencuatnya kasus yang disangkakan kepada Jero Wacik, eksistensi orang Bali di
perantauan selayaknya tetap menjunjung tinggi karakter dasar penghormatan
dalam relasi dengan Sang Pencipta, alam, dan sesama. Tiga dimensi tersebut
terus-menerus menjadi praksis hidup untuk memenangkan Dharma (kebajikan).
Sebagaimana hidup adalah perjuangan, dunia menghendaki latihan terus-menerus
untuk mencapai kesempurnaan di atas Adharma (kejahatan).
Dharma
adalah inti dari spiritualitas dan praktik hidup yang harus dilakukan segenap
keturunan Bali. Dengan Dharma itu pula, Tanah Dewata membangun pariwisata di
daerahnya hingga menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi semua orang.
Praktik
Dharma dalam kepariwisataan Bali pernah mengalami ujian berat tatkala Bali
diserang bom sebanyak dua kali. Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 mengakibatkan
202 orang dari 22 negara tewas dan 350 korban luka-luka. Bom Bali II pada 1
Oktober 2005 menewaskan 23 orang serta melukai lebih dari 100 orang. Dalam
tragedi kemanusiaan yang diluluhlantakkan Adharma itu, Dharma tetap
mengemuka.
Bom
tidak disambut dengan pembalasan yang hanya memperpanjang mata rantai
kejahatan. Ribuan umat dan rohaniwan dari berbagai kalangan agama menggelar
persembahyangan bersama, baik pasca-Bom Bali I maupun Bom Bali II.
Perwujudan
Dharma dalam konteks di atas ingin menunjukkan, betapa pun besarnya
penderitaan dan tekanan dari Adharma, sikap keteguhan hati, kesabaran, dan
kegembiraan hati, meski menghadapi bencana dan konsistensi batin untuk tetap
melayani dengan tuntas dan prima, adalah hal yang mutlak. Alhasil, mata dunia
terbelalak melihat kebersamaan dan kebersahajaan masyarakat untuk menanggung
derita Bom Bali.
Cara
masyarakat Bali menanggapi Adharma itulah yang membuat kepesonaan alam
semesta di Bali memiliki roh yang terasa hidup. Bisa dibayangkan, seandainya
respons yang muncul dalam menanggapi bom adalah kemarahan yang
berlarut-larut, brutalitas dan anarki, sabotase, dendam, pembalasan, dan lain
sejenisnya, mungkin sampai saat ini Bali seperti neraka.
Momentum
kasus putra Bali (Jero Wacik) di tanah rantau kali ini semestinya juga
memberikan semangat kepada setiap warga Bali di perantauan untuk tetap
mendarmabaktikan kebajikan hidup dan potensi terbaik yang dimiliki bagi
kemajuan kualitas hidup di tanah rantau. Bukankah praktik hidup menjalankan
Dharma adalah untuk kebaikan hidup tiap-tiap individu?
Kejahatan
pemerasan dan korupsi yang disangkakan ke Jero Wacik, maupun penyelewengan
jabatan, kontras dengan pendasaran spiritual orang Bali yang mengajarkan
kebaikan. Hal ini disebabkan ajaran Hukum
Karma Pala (agama Hindu) dan Dasa
Sila (moral Hindu) meresap dalam pendidikan keluarga dan kontrol sosial
di Tanah Dewata. Setiap karya dan kegiatan sosial senantiasa mempunyai
hubungan dengan agama. Baik kelahiran, pesta sukacita atau perkabungan,
maupun masa mengandung dan melahirkan anak.
Bukan
hanya itu, penerapan filosofi Tri Hita
Karana dan Taksu dalam
keseharian warga Bali menjadi inspirasi kehidupan pribadi dan sosial yang
saleh. Implementasinya seharusnya membuat setiap orang Bali hidup baik dengan
orang lain, termasuk di tanah perantauan di luar Bali. Maknanya, kecintaan
kepada bangsa dan negara dengan tidak menyakiti atau merugikan adalah
pengejawantahan yang kontekstual atas filosofi Tri Hita Karana dan Taksu.
Jika
Bali sebagai destinasi berhasil mendasarkan dua filosofi dasar tersebut dalam
kehidupan sehari-harinya, orang-orang Bali sebagai pemilik filosofi tersebut
sepantasnya menghayati dan mengamalkannya di mana pun berada.
Paham
dan praksis hidup penghargaan dan penghormatan yang tinggi dalam hal relasi
dengan Sang Pencipta, alam semesta (negara), dan sesama (bangsa) yang sedianya
ditanamkan sejak dini di setiap keluarga Bali, tampaknya, sedang mengalami
ujian di segala medan. Reksa hati untuk senantiasa merenungkan relasi tiga
dimensi di atas, tidak korupsi dan praksis ’’tat twam asi’’ yang menjadi inti moral dalam menjaga pluralitas
di tanah rantau semoga tidak kendur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar