Sabtu, 06 September 2014

Jero Wacik dan Orang Bali di Perantauan

Jero Wacik dan Orang Bali di Perantauan

Dewa Gde Satrya   ;   Dosen International Hospitality & Tourism Business, Universitas Ciputra
JAWA POS, 06 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

KETERKEJUTAN menyertai ditetapkannya Jero Wacik sebagai tersangka oleh KPK pada Rabu kemarin (3/9). Secara khusus, Jero Wacik adalah representasi orang Bali di kancah nasional. Namanya mengangkat martabat orang Bali yang tidak hanya piawai menghidupi seni, budaya, dan memastikan pertahanan sektor pariwisata Indonesia dalam persaingan global, tetapi juga berkemampuan membangun karir, reputasi, dan tentu saja prestasi setapak demi setapak hingga ke puncak. Kini, sebagai politikus yang berdarah Bali, Jero Wacik masuk dalam pusaran politisi kebanyakan yang rentan dengan penyelewengan wewenang jabatan.

Meski bukan sebagai unjuk kesombongan, percampuran nilai-nilai ke-Bali-an seharusnya serta-merta menjadi sumbangan yang khas, unggul, dan berhikmah positif di kehidupan. Sebagaimana seniman Bali yang menghibur, hakikat ke-Bali-an dalam aneka profesi seharusnya juga menghibur dan menyejukkan.

Seirama dengan dua seniman dunia asal Ubud, Ketut Rina yang menggerakkan puluhan dan ratusan penari kecak dalam irama Cak yang ritmis dan magis, juga tiupan suling Gus Teja yang meneduhkan. Demikian pulalah orang Bali di berbagai lini profesinya seharusnya mampu lebih menghadirkan kebahagiaan kepada sesama sebagai wujud yang sama dengan bakti kepada Sang Pencipta dan alam semesta.

Dharma vs Adharma

Menyertai mencuatnya kasus yang disangkakan kepada Jero Wacik, eksistensi orang Bali di perantauan selayaknya tetap menjunjung tinggi karakter dasar penghormatan dalam relasi dengan Sang Pencipta, alam, dan sesama. Tiga dimensi tersebut terus-menerus menjadi praksis hidup untuk memenangkan Dharma (kebajikan). Sebagaimana hidup adalah perjuangan, dunia menghendaki latihan terus-menerus untuk mencapai kesempurnaan di atas Adharma (kejahatan).

Dharma adalah inti dari spiritualitas dan praktik hidup yang harus dilakukan segenap keturunan Bali. Dengan Dharma itu pula, Tanah Dewata membangun pariwisata di daerahnya hingga menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi semua orang.

Praktik Dharma dalam kepariwisataan Bali pernah mengalami ujian berat tatkala Bali diserang bom sebanyak dua kali. Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 mengakibatkan 202 orang dari 22 negara tewas dan 350 korban luka-luka. Bom Bali II pada 1 Oktober 2005 menewaskan 23 orang serta melukai lebih dari 100 orang. Dalam tragedi kemanusiaan yang diluluhlantakkan Adharma itu, Dharma tetap mengemuka.

Bom tidak disambut dengan pembalasan yang hanya memperpanjang mata rantai kejahatan. Ribuan umat dan rohaniwan dari berbagai kalangan agama menggelar persembahyangan bersama, baik pasca-Bom Bali I maupun Bom Bali II.

Perwujudan Dharma dalam konteks di atas ingin menunjukkan, betapa pun besarnya penderitaan dan tekanan dari Adharma, sikap keteguhan hati, kesabaran, dan kegembiraan hati, meski menghadapi bencana dan konsistensi batin untuk tetap melayani dengan tuntas dan prima, adalah hal yang mutlak. Alhasil, mata dunia terbelalak melihat kebersamaan dan kebersahajaan masyarakat untuk menanggung derita Bom Bali.

Cara masyarakat Bali menanggapi Adharma itulah yang membuat kepesonaan alam semesta di Bali memiliki roh yang terasa hidup. Bisa dibayangkan, seandainya respons yang muncul dalam menanggapi bom adalah kemarahan yang berlarut-larut, brutalitas dan anarki, sabotase, dendam, pembalasan, dan lain sejenisnya, mungkin sampai saat ini Bali seperti neraka.

Momentum kasus putra Bali (Jero Wacik) di tanah rantau kali ini semestinya juga memberikan semangat kepada setiap warga Bali di perantauan untuk tetap mendarmabaktikan kebajikan hidup dan potensi terbaik yang dimiliki bagi kemajuan kualitas hidup di tanah rantau. Bukankah praktik hidup menjalankan Dharma adalah untuk kebaikan hidup tiap-tiap individu? 

Kejahatan pemerasan dan korupsi yang disangkakan ke Jero Wacik, maupun penyelewengan jabatan, kontras dengan pendasaran spiritual orang Bali yang mengajarkan kebaikan. Hal ini disebabkan ajaran Hukum Karma Pala (agama Hindu) dan Dasa Sila (moral Hindu) meresap dalam pendidikan keluarga dan kontrol sosial di Tanah Dewata. Setiap karya dan kegiatan sosial senantiasa mempunyai hubungan dengan agama. Baik kelahiran, pesta sukacita atau perkabungan, maupun masa mengandung dan melahirkan anak.

Bukan hanya itu, penerapan filosofi Tri Hita Karana dan Taksu dalam keseharian warga Bali menjadi inspirasi kehidupan pribadi dan sosial yang saleh. Implementasinya seharusnya membuat setiap orang Bali hidup baik dengan orang lain, termasuk di tanah perantauan di luar Bali. Maknanya, kecintaan kepada bangsa dan negara dengan tidak menyakiti atau merugikan adalah pengejawantahan yang kontekstual atas filosofi Tri Hita Karana dan Taksu.

Jika Bali sebagai destinasi berhasil mendasarkan dua filosofi dasar tersebut dalam kehidupan sehari-harinya, orang-orang Bali sebagai pemilik filosofi tersebut sepantasnya menghayati dan mengamalkannya di mana pun berada.

Paham dan praksis hidup penghargaan dan penghormatan yang tinggi dalam hal relasi dengan Sang Pencipta, alam semesta (negara), dan sesama (bangsa) yang sedianya ditanamkan sejak dini di setiap keluarga Bali, tampaknya, sedang mengalami ujian di segala medan. Reksa hati untuk senantiasa merenungkan relasi tiga dimensi di atas, tidak korupsi dan praksis ’’tat twam asi’’ yang menjadi inti moral dalam menjaga pluralitas di tanah rantau semoga tidak kendur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar