Aborsi
Pada Kasus Pemerkosaan
Sofyan Hasdam ; Wakil
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi), Mantan Wali
Kota Bontang
|
KORAN
SINDO, 06 September 2014
Salah satu persoalan yang memancing polemik
yang cukup ramai yaitu penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun
2014 yang melegalkan aborsi pada kasus pemerkosaan.
Dalam PP ini ada dua jenis aborsi yang
diperbolehkan . Pertama, aborsi dalam keadaan darurat. Artinya, kalau
kehamilan dipertahankan dan tidak dilakukan aborsi, nyawa ibunya terancam.
Pada aborsi jenis ini tak ada perdebatan. Semuapihakdapatmenerima karena
dianggap sebagai hal yang harus dilaksanakan untuk menyelamatkan ibu. Kedua,
aborsi pada kehamilan yang disebabkan oleh kasus pemerkosaan.
Inilah yang mengundang reaksi dari banyak
pihak yang berpendapat bahwa pemerkosaan bukan alasan untuk dilakukan
terminasi kehamilan. Dengan kata lain, hak hidup janin dalam kandungan tidak
boleh diakhiri hanya karena janin ini berasal dari pembuahan melalui proses
pemerkosaan. Aborsi merupakan istilah kedokteran yang berarti menghentikan
kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Umumnya dianggap bayi
belum dapat hidup di luar kandungan apabila tuanya kehamilan belum mencapai
umur 28 pekan atau berat badan jabang bayi belum 1.000 gram.
Aborsi ini dapat dilakukan oleh tenaga medis
dengan indikasi yang jelas (abortus
medicinalis) dan dapat dilakukan melalui praktik ilegal tanpa indikasi medis
(abortus provocatus criminalis)
atau “illegal induced aborsion“.
Pada tindakan aborsi tanpa indikasi medis tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dari sudut pandang mana pun kita melihat, tindakan ini perbuatan melawan
hukum baik jika dilakukan oleh tenaga medis profesional maupun oleh tenaga
nonprofesional seperti aborsi yang sering dilakukan oleh dukun.
Dari kelompok yang memperbolehkan aborsi pada
kasus pemerkosaan memiliki pandangan tersendiri baik dari sudut pandang
“kehidupan” maupun “kemanusiaan”. Dari kelompok proaborsi melihat kehidupan
terjadi ketika janin dalam kandungan sudah hidup ketika jantungnya telah
berdenyut pada usia kehamilan sekitar 16 pekan. Sedangkan kelompok antiaborsi
melihat kehidupan itu dari sudut kehidupan seluler yaitu sejak ovum (telur)
dibuahi oleh sperma dan ini yang dianut semua agama.
Dari sudut pandang kemanusiaan, kelompok
proaborsi melihat beberapa aspek. Pertama, anak yang lahir akibat pemerkosaan
tentu tidak diinginkan kehadirannya sehingga anak ini dikhawatirkan tidak
mendapatkan perlakuan yang baik dari ibunya. Kedua, pemerkosaan merupakan
peristiwa “traumatik” bagi korbannya sehingga kejadian itu tentu hendak
dilupakan dari memori alam sadarnya. Namun, jika ada anak yang lahir dari
peristiwa yang sangat biadab itu, tentu sang korban akan selalu mengingat
peristiwa tragis yang pernah dialaminya setiap dia memandang anaknya.
Walaupun aborsi yang dimaksudkan dalam
peraturan pemerintah ini dibatasi sampai umur kehamilan 40 hari, ini tetap
merupakan hal yang seharusnya tidak dilegalkan karena aturan ini sangat rawan
untuk disalahgunakan. Demikian pula, dari segi profesi kedokteran, tindakan
pengguguran kandungan pada kasus ini pelanggaran sumpah dokter yang berbunyi:
“Saya akan menjaga kehidupan insani sejak saat pembuahan”. Karena itulah,
tidak heran kalau Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan organisasi yang
juga cukup lantang menentang kehadiran PP ini.
Dari segi hukum tentu sangat bergantung pada
Peraturan Pemerintah Nomor 61 itu. Kalau PP ini tetap dipertahankan dalam
arti bahwa aborsi akibat pemerkosaan tetap dianggap sebagai perbuatan yang
legal, tentu tenaga medis yang melakukan tindakan aborsi tidak dapat
dipersalahkan. Namun, jika pemerintah cukup peka melihat aspirasi yang
berkembang, tentu pasal ini akan dicabut dan tidak lagi menyinggung masalah
pemerkosaan sebagai permasalahan khusus di dalam PP tersebut.
Dengan demikian, aborsi tetap dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum walaupun latar belakang kehamilannya terjadi akibat
pemerkosaan. Masalah aborsi memang salah satu persoalan kesehatan yang cukup
serius di Indonesia. Saat ini 2,5 juta kasus aborsi terjadi setiap tahun.
Dengan kata lain, sekitar 7.000 perempuan hamil menggugurkan kandungannya
setiap hari. Pengguguran kandunganiniterjadikarenaberbagai cara, termasuk
pertolongan dari tenaga medis (dokter maupun bidan).
Padahal ancaman hukuman bagi petugas yang
melakukan praktik aborsi cukup berat yaitu pelanggaran KUHP
Pasal299,338,346,348, dan349, termasuk juga melanggar Undang- Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan. Untuk itu, pemerintah seyogianya memperhatikan
aspek sosiologisdari permasalahanini. Dengan ancaman hukuman yang begitu
berat saja kasus aborsi masih sangat marak, terlebih jika kran hukum mulai
diperlonggar.
Sangat wajar jika mayoritas masyarakat menolak
PP No 61 itu. Terlebih, Majelis Ulama Indonesia sejak 2000 telah mengeluarkan
fatwa haram melakukan aborsi dan tentu majelis agama yang lain pun pasti
tidak menyetujui tindakan yang merampas hak hidup dari janin yang telah
berkembang di dalam rahim ibunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar