Kerangka
Konsolidasi Perbankan
Moch Doddy Ariefianto ;
Ekonom
Lembaga Penjamin Simpanan
|
KOMPAS,
19 September 2014
BELAKANGAN
ini wacana konsolidasi perbankan kembali menghangat seiring rencana
penggabungan bank-bank BUMN dalam rangka mewujudkan Qualified ASEAN Bank agar bisa bersaing di Masyarakat Ekonomi
ASEAN. Jika ditelisik lebih mendalam, sebenarnya perbankan Indonesia
memerlukan konsolidasi lebih dari sekadar upaya meningkatkan posisi
persaingan. Konsolidasi perbankan Indonesia perlu dibangun berdasarkan dua
perspektif, yakni daya saing dan stabilitas. Perspektif daya saing diwujudkan
dalam rangka pembentukan beberapa bank raksasa untuk bertarung di kancah
global, setidaknya ASEAN.
Memiliki posisi persaingan yang kuat di
ASEAN merupakan tujuan strategis bagi Indonesia. Jangan sampai ketika pintu
investasi di sektor perbankan dibuka sesuai jadwal Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) pada 2020, bank-bank domestik justru jadi penonton melihat bank-bank
asing mendominasi pasar.
Malaysia adalah contoh negara yang
melakukan konsolidasi perbankan dalam perspektif daya saing. Pada Juni 2014,
CIMB, holding company bank terbesar
kedua di Malaysia, mengumumkan telah diberi izin untuk mengakuisisi RHB Capital dan Malaysia Building Society. Dengan akuisisi ini, CIMB menjadi bank
terbesar dengan nilai aset Rp 2.300 triliun, hampir tiga kali lipat daripada
nilai aset Bank Mandiri (bank terbesar di Indonesia).
Perspektif stabilitas dalam konsolidasi
perbankan adalah menyesuaikan jumlah dan ukuran dalam rangka meningkatkan
daya tahan tiap-tiap bank terhadap guncangan ekonomi.
Best practices regulasi perbankan global
mengarahkan bank untuk memiliki modal besar. Basel III telah menaikkan rasio
kecukupan modal (CAR) minimal menjadi 7,5 persen dengan disertai serangkaian
ketentuan modal tambahan yang digunakan sebagai bufer (capital conservation
dan counter cyclical). Terdapat capital charge tambahan jika bank
dipersepsikan sebagai sistemik. Pada masa depan, memiliki CAR sebesar 15
persen bukan lagi suatu nilai plus, melainkan keniscayaan.
Nasabah telah mengharapkan ketersediaan ATM
di mana-mana serta electronic banking (internet dan phone banking) sebagai standar layanan suatu bank. Di sisi lain,
biaya pembangunan infrastruktur teknologi informasi pendukung layanan ini
sangat mahal. Akibatnya, hanya segelintir bank yang mampu menggapai
”kemewahan” ini. Sebagian besar bank harus berkompetisi melalui cara
tradisional: suku bunga dan hadiah yang menggerus laba dan berpotensi
menimbulkan ketergantungan pada sekelompok kecil nasabah tertentu (sebagai
pemilik dana besar).
Saat ini terdapat 119 bank komersial di
Indonesia yang mengelola Rp 3.800 triliun simpanan nasabah (dana pihak
ketiga/DPK) dengan profil industri yang sangat timpang. Sekitar 10 bank
terbesar memiliki pangsa DPK sebesar 60 persen, di sisi lain terdapat 60 bank
kecil dengan pangsa 7 persen saja.
Dapat dibayangkan tingkat intensitas
persaingan pada segmen bank-bank kecil itu. Jika terjadi guncangan dari luar,
misalnya pengetatan kebijakan moneter seperti yang terjadi pertengahan 2013,
tekanan yang terjadi akan lebih besar lagi. Data survei Lembaga Penjaminan
Simpanan (LPS) menunjukkan, pada periode itu bank-bank kecil cenderung
defensif dan merelakan terpangkasnya pertumbuhan aset dibandingkan dengan
harus bertarung suku bunga dengan bank besar.
Kondisi
ideal
Industri perbankan Indonesia yang ideal
sebetulnya berisi sekitar 20-30 bank, di mana 2-3 bank memiliki skala operasi
setidaknya ASEAN dan yang lainnya adalah bank universal dengan skala
nasional. Bank-bank penjelajah ASEAN ini memiliki aset setidaknya Rp 1.500
triliun, sedangkan bank-bank domestik memiliki skala usaha Rp 100 triliun-Rp
500 triliun.
Tidak diperlukan bank-bank khusus karena
akan sulit bersaing. Terdapat masalah pengelolaan risiko dan kerumitan
regulasi apabila bank khusus ini disatukan dalam satu ”kolam” dengan bank
umum. Apabila perlu institusi yang melakukan pembiayaan yang bersifat khusus,
agar dibentuk dengan regulasi terpisah dengan sumber pendanaan, terutama
dalam bentuk modal atau utang, bukan DPK.
Lantas, bagaimana konsolidasi perbankan
mesti dilakukan? Pertama, menegakkan aturan single presence policy (SPP) secara konsisten. Sangat ironis
bahwa salah satu pemilik yang belum melaksanakan aturan ini adalah negara
Republik Indonesia melalui bank-bank BUMN. Penyatuan bank-bank BUMN sudah
lebih dari cukup untuk membuat suatu bank yang menjadi ”jagoan” Indonesia di
ASEAN. Sangat disayangkan ”politisasi” terhadap isu ini telah mengalahkan
kepentingan yang lebih besar.
Kedua, perlu upaya mengarahkan secara aktif
dari regulator terkait konsolidasi, terutama bank-bank kecil (buku I dan II).
Skema insentif dan disinsentif tidak lagi memadai. Regulator dengan
menggandeng Perbanas harus membuat roadmap arsitektur perbankan yang baru
untuk mencapai daya saing dan stabilitas yang lebih baik dalam suatu jangka
waktu tertentu. Ketiga, bagi bank yang tidak mencapai skala minimal pada
tenggat waktu, bank itu harus rela jadi bank yang beroperasi pada wilayah
yang terbatas (1-2 provinsi) menjadi Bank Perkreditan Rakyat.
Tentu saja konsolidasi perbankan bukanlah
hal yang mudah. Di samping masalah ego dan persepsi ancaman kepada ”periuk
nasi” dari pemilik dan manajemen bank, konsolidasi menghadapi tantangan
berupa kehilangan core competency,
perbedaan budaya, dan platform
operasi-bisnis. Masalah-masalah ini sebenarnya dapat diatasi dengan
pendekatan holding company, di mana
bank-bank yang bergabung masih dapat melakukan business as usual.
Bagi regulator, upaya konsolidasi sendiri
mungkin melahirkan lebih banyak institusi yang memiliki potensi sistemik (too big to fail). Masalah ini pun
dapat diatasi dengan living will yang berisikan what-if worst scenario dan cara
mengatasinya. Rencana ini dikaji dan diperbarui secara reguler (minimal satu
tahun sekali) untuk menjaga efektivitas penerapannya.
Singkat kata, konsolidasi perbankan di Indonesia perlu
dilakukan tak hanya untuk membuat ”bank jagoan”, tetapi juga agar stabilitas
sistem perbankan lebih terjaga. Lebih baik memiliki jumlah bank yang hanya
sepertiga, tetapi tiap bank memiliki kekuatan tiga kali lipat dari saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar