Ironi
Terlambat dalam Pendidikan
Sidharta Susila ;
Pendidik
di Muntilan-Magelang
|
KOMPAS,
18 September 2014
TERLAMBAT
itu tidak baik, meski demikian banyak terjadi. Dalam dunia pendidikan,
terlambat punya kisah unik sekaligus ironis.
Terlambat
datang ke sekolah adalah pengalaman tak enak. Apa pun alasan keterlambatan
yang disampaikan, siswa selalu terkena sanksi. Sanksi diberikan atas dalih
pembinaan dan pendidikan. Keterlambatan dipandang tindakan melanggar norma
dan ketentuan sekolah.
Hal
berbeda apabila yang terlambat para guru atau dosen di perguruan tinggi.
Murid atau mahasiswa seringkali harus memaklumi dan menerima keterlambatan
mereka. Apalagi kalau guru atau dosen itu tergolong orang penting atau merasa
orang penting. Acapkali tak ada sanksi untuk guru atau dosen yang terlambat.
Dulu,
sebagai mahasiswa, penulis seringkali harus menunggu kehadiran dosen sampai
waktu kuliah nyaris usai. Ketika sang dosen datang, bukannya meminta maaf,
beliau justru sibuk pembelaan diri.
Di
sekolah situasinya tidak jauh berbeda. Guru yang datang terlambat sering
membuat kelas kacau. Ketika guru akhirnya datang, dan mendapati kelasnya
kacau, tidak jarang ia justru memarahi para murid.
Itulah
sebagian ironi terlambat dalam dunia pendidikan. Ironi itu mengekspresikan
pendidikan yang tidak diabdikan kepada para murid. Sekolah dan perguruan
tinggi, oleh banyak guru dan dosen, hanya ladang uang. Murid dan mahasiswa
hanyalah obyek, instrumen yang melengkapi proses mendapatkan uang.
Dalam
lingkup yang lebih luas, keterlambatan dalam dunia pendidikan juga mempunyai
kisah dan ironi serupa. Yang terakhir tentang keterlambatan penyediaan buku
untuk Kurikulum 2013.
Sesungguhnya
terasa aneh apabila untuk penyelenggaraan Kurikulum 2013 masih terjadi
keterlambatan. Bukankah kurikulum ini sudah diembuskan dan dicobakan
tahun-tahun sebelumnya? Pasti ada yang salah ketika pelaksanaan kurikulum ini
tidak mulus, bahkan macet, padahal dana telah digelontorkan negara.
Keterlambatan
pengadaan buku dan pelaksanaan Kurikulum 2013 terasa ironi ketika sadar bahwa
kita hidup dalam kepungan sarana prasarana teknologi canggih. Inilah era
ketika ruang dan waktu dimampatkan karena kecanggihan sarana transportasi dan
telekomunikasi. Karena itu, kita dibentuk menjadi sosok berhabitus
kebersegeraan dan enggan menunda. Kecepatan dan ketepatan adalah norma hidup.
Keterlambatan
dalam dunia pendidikan terasa ironi dan memprihatinkan. Pendidikan kita
serasa tak cakap membaca dinamika kehidupan. Pengelolaan pendidikan kita
seperti asyik dengan dunianya sendiri.
Tidakkah
semestinya lembaga pendidikan adalah lembaga pertama dan utama yang mengantar
bangsa ini memasuki tata cara kehidupan global dalam norma serta habitus
kebersegeraan, kemutakhiran, kecepatan, dan ketepatan? Yang dialami kita
justru serasa hidup di era gerobak sapi.
Ironi
keterlambatan dunia pendidikan juga selalu terjadi di akhir tahun
pembelajaran, pada pembagian ijazah.
Rasanya,
tiga puluh tahun yang lalu, ketika sarana transportasi, teknologi, dan
telekomunikasi tak secanggih sekarang, kita tak perlu menunggu lama untuk
menerima ijazah setelah tamat sekolah. Namun, kini, anak-anak kita harus
menunggu beberapa minggu, bahkan bulan untuk menerima ijazah mereka.
Pada
keterlambatan penerimaan ijazah itu terasa benar betapa pengelolaan
pendidikan kita seperti bebal sentuhan zaman. Terbayangkankah betapa rumit
dan mahalnya biaya bagi anak serta keluarganya yang akan melanjutkan
pendidikan di lain daerah atau negara?
Realitas
zaman yang memungkinkan orang beraktivitas menerabas labirin ruang dan waktu
tak berlaku pada pengelolaan pendidikan semacam itu. Pendidikan kita justru
serasa terus memaksa kita hidup di zaman batu, yang cakrawala pandangnya
hanya sebatas mata memandang.
Kita
yakin penguasa negara dan pejabat lembaga pendidikan kita masih ditaburi
orang-orang baik dengan idealisme yang luhur.
Akan
tetapi, orang baik seringkali sulit hidup serta sulit memperjuangkan kebaikan
ketika hidup dalam sistem yang jahat. Acapkali mereka akhirnya justru
melakukan kekonyolan, bahkan kejahatan.
Harapan
diletakkan pada pemerintahan yang baru. Lembaga pendidikan harus dibersihkan
dari pelaku pendidikan berkarakter benalu, bahkan kanker. Pendidikan pun
harus didasarkan pada prinsip keadilan bagi segenap bangsa.
Siswa
dan mahasiswa harus menjadi subyek, bukan uang. Kalau tidak, pendidikan kita
terus menghadirkan ironi, perumitan pengelolaan, boros, dan mahal. Maka, kita
akan terus tertinggal dari bangsa lain, pun oleh bangsa yang masih berjalan
pelan. Seperti saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar