Jumat, 19 September 2014

Ironi Terlambat dalam Pendidikan

Ironi Terlambat dalam Pendidikan

Sidharta Susila  ;   Pendidik di Muntilan-Magelang
KOMPAS, 18 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

TERLAMBAT itu tidak baik, meski demikian banyak terjadi. Dalam dunia pendidikan, terlambat punya kisah unik sekaligus ironis.

Terlambat datang ke sekolah adalah pengalaman tak enak. Apa pun alasan keterlambatan yang disampaikan, siswa selalu terkena sanksi. Sanksi diberikan atas dalih pembinaan dan pendidikan. Keterlambatan dipandang tindakan melanggar norma dan ketentuan sekolah.

Hal berbeda apabila yang terlambat para guru atau dosen di perguruan tinggi. Murid atau mahasiswa seringkali harus memaklumi dan menerima keterlambatan mereka. Apalagi kalau guru atau dosen itu tergolong orang penting atau merasa orang penting. Acapkali tak ada sanksi untuk guru atau dosen yang terlambat.
Dulu, sebagai mahasiswa, penulis seringkali harus menunggu kehadiran dosen sampai waktu kuliah nyaris usai. Ketika sang dosen datang, bukannya meminta maaf, beliau justru sibuk pembelaan diri.

Di sekolah situasinya tidak jauh berbeda. Guru yang datang terlambat sering membuat kelas kacau. Ketika guru akhirnya datang, dan mendapati kelasnya kacau, tidak jarang ia justru memarahi para murid.

Itulah sebagian ironi terlambat dalam dunia pendidikan. Ironi itu mengekspresikan pendidikan yang tidak diabdikan kepada para murid. Sekolah dan perguruan tinggi, oleh banyak guru dan dosen, hanya ladang uang. Murid dan mahasiswa hanyalah obyek, instrumen yang melengkapi proses mendapatkan uang.

Dalam lingkup yang lebih luas, keterlambatan dalam dunia pendidikan juga mempunyai kisah dan ironi serupa. Yang terakhir tentang keterlambatan penyediaan buku untuk Kurikulum 2013.

Sesungguhnya terasa aneh apabila untuk penyelenggaraan Kurikulum 2013 masih terjadi keterlambatan. Bukankah kurikulum ini sudah diembuskan dan dicobakan tahun-tahun sebelumnya? Pasti ada yang salah ketika pelaksanaan kurikulum ini tidak mulus, bahkan macet, padahal dana telah digelontorkan negara.

Keterlambatan pengadaan buku dan pelaksanaan Kurikulum 2013 terasa ironi ketika sadar bahwa kita hidup dalam kepungan sarana prasarana teknologi canggih. Inilah era ketika ruang dan waktu dimampatkan karena kecanggihan sarana transportasi dan telekomunikasi. Karena itu, kita dibentuk menjadi sosok berhabitus kebersegeraan dan enggan menunda. Kecepatan dan ketepatan adalah norma hidup.

Keterlambatan dalam dunia pendidikan terasa ironi dan memprihatinkan. Pendidikan kita serasa tak cakap membaca dinamika kehidupan. Pengelolaan pendidikan kita seperti asyik dengan dunianya sendiri.

Tidakkah semestinya lembaga pendidikan adalah lembaga pertama dan utama yang mengantar bangsa ini memasuki tata cara kehidupan global dalam norma serta habitus kebersegeraan, kemutakhiran, kecepatan, dan ketepatan? Yang dialami kita justru serasa hidup di era gerobak sapi.

Ironi keterlambatan dunia pendidikan juga selalu terjadi di akhir tahun pembelajaran, pada pembagian ijazah.

Rasanya, tiga puluh tahun yang lalu, ketika sarana transportasi, teknologi, dan telekomunikasi tak secanggih sekarang, kita tak perlu menunggu lama untuk menerima ijazah setelah tamat sekolah. Namun, kini, anak-anak kita harus menunggu beberapa minggu, bahkan bulan untuk menerima ijazah mereka.

Pada keterlambatan penerimaan ijazah itu terasa benar betapa pengelolaan pendidikan kita seperti bebal sentuhan zaman. Terbayangkankah betapa rumit dan mahalnya biaya bagi anak serta keluarganya yang akan melanjutkan pendidikan di lain daerah atau negara?

Realitas zaman yang memungkinkan orang beraktivitas menerabas labirin ruang dan waktu tak berlaku pada pengelolaan pendidikan semacam itu. Pendidikan kita justru serasa terus memaksa kita hidup di zaman batu, yang cakrawala pandangnya hanya sebatas mata memandang.

Kita yakin penguasa negara dan pejabat lembaga pendidikan kita masih ditaburi orang-orang baik dengan idealisme yang luhur.

Akan tetapi, orang baik seringkali sulit hidup serta sulit memperjuangkan kebaikan ketika hidup dalam sistem yang jahat. Acapkali mereka akhirnya justru melakukan kekonyolan, bahkan kejahatan.

Harapan diletakkan pada pemerintahan yang baru. Lembaga pendidikan harus dibersihkan dari pelaku pendidikan berkarakter benalu, bahkan kanker. Pendidikan pun harus didasarkan pada prinsip keadilan bagi segenap bangsa.

Siswa dan mahasiswa harus menjadi subyek, bukan uang. Kalau tidak, pendidikan kita terus menghadirkan ironi, perumitan pengelolaan, boros, dan mahal. Maka, kita akan terus tertinggal dari bangsa lain, pun oleh bangsa yang masih berjalan pelan. Seperti saat ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar