Kementerian
(Kedaulatan) Pangan Nasional
MT Felix Sitorus ; Ketua
Program Studi Sosiologi Pedesaan Pascasarjana IPB (2000–2007), Peneliti
Sosial Independen, dan Praktisi Agrobisnis
|
JAWA
POS, 23 September 2014
PRESIDEN
dan Wapres terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla segera mengumumkan nama-nama
definitif kementerian untuk kabinet 2014–2019. Salah satu yang sangat penting
disoroti adalah kementerian terkait dengan pangan karena menyangkut salah
satu prioritas utama pemerintahan mendatang.
Minggu
(15/9), saat Jokowi-JK mengumumkan postur kabinet, disebut ada rencana
pembentukan Kementerian
Kedaulatan Pangan. Mudah-mudahan, dalam pengumuman hari ini, nama
kementerian seperti itu tidak ada.
Mengapa?
Sebab, penamaan seperti itu menunjukkan adanya
miskonsepsi yang, kalau tidak diluruskan, akan kontraproduktif terhadap
proses pencapaian kedaulatan pangan nasional. Kedaulatan pangan
bersifat multisektor sehingga tidak rasional untuk membebankan pencapaiannya
hanya pada satu kementerian. Berikut perincian duduk persoalan dan usulan
solusinya.
Sinergi
Antar Kementerian
Kedaulatan
pangan merupakan salah satu prioritas utama pemerintahan Jokowi-JK mendatang
dalam rangka kemandirian ekonomi nasional. Targetnya adalah mewujudkan
kedaulatan pangan berbasis agrobisnis kerakyatan melalui pengendalian impor
pangan, pemberantasan mafia impor, serta pengembangan ekspor pertanian
berbasis pengolahan hasil pertanian dalam negeri.
Dari
rumusan target tersebut, jelas terbaca bahwa kedaulatan pangan merupakan
suatu sistem gotong royong sinergis antar sejumlah pemangku (stakeholder). Pemangku utama adalah
pemerintah, yaitu sejumlah kementerian sebagai regulator dan fasilitator,
serta tentu saja komunitas petani dan entitas korporasi agrobisnis sebagai
pelaku lapangan.
Jika
merujuk pada struktur kabinet yang sedang berjalan, urusan pembentukan
’’agrobisnis kerakyatan’’ atau pengembangan produksi dan pertanian produsen
pangan adalah fokus kerja Kementerian Pertanian. Sementara itu, pengendalian
impor pangan dan pengembangan ekspor pertanian menjadi urusan Kementerian
Perdagangan.
Lalu,
pemberantasan mafia impor pangan serta mafia-mafia terkait pangan lainnya
(misalnya, tanah, benih, pupuk, air, dan modal) merupakan urusan Kementerian
Hukum dan HAM serta kepolisian. Selanjutnya, pengembangan industri pengolahan
hasil pertanian adalah urusan Kementerian Perindustrian serta Kementerian
Koperasi dan UKM.
Selain
itu, masih ada urusan yang sangat krusial. Yaitu, pengadaan tanah untuk
pembukaan areal pertanian baru dan pengendalian konversi lahan pertanian. Itu
merupakan urusan BPN atau Kementerian Agraria kalau misalnya nanti dibentuk.
Pencapaian target pencetakan 1,0 juta hektare sawah di luar Jawa, sesuai
janji Jokowi-JK, akan sangat bergantung pada kinerja pengadaan tanah oleh
BPN. Penghentian konversi lahan pertanian (rata-rata 100.000 ha/tahun) yang
sangat mengancam ketahanan pangan nasional dan penetapan areal pertanian
pangan abadi juga menjadi urusan BPN.
Terakhir,
ada pula urusan prasarana dan sarana irigasi yang menjadi tugas Kementerian
PU dan Kementerian BUMN (Perum Jasa Tirta). Itu terkait dengan rencana
pemerintahan Jokowi-JK untuk membangun 25 unit bendungan baru dan membenahi
saluran irigasi yang menjangkau areal 3,0 juta ha sawah.
Jadi,
membentuk Kementerian Kedaulatan Pangan berarti menyatukan sejumlah besar
urusan sektoral (pertanian, perdagangan, perindustrian, pekerjaan umum,
agraria, dan BUMN) ke bawah satu kementerian. Implikasinya, pertama, secara
struktural Kementerian Kedaulatan Pangan akan menjadi superbodi yang
kira-kira setara dengan kementerian koordinator sehingga bisa mengacaukan
kerja kementerian-kementerian terkait.
Kedua,
rentang manajemen kementerian menjadi sangat atau bahkan terlalu luas.
Akibatnya, risiko ’’beban berlebih’’ (over-burden)
dan ’’kurang kelola’’ (under-manage)
pada sejumlah aspek tidak akan terhindarkan sehingga pencapaian kedaulatan
pangan bakal terkendala. Itu berarti pembentukan Kementerian Kedaulatan Pangan
justru kontraproduktif terhadap upaya pencapaian kedaulatan pangan tersebut.
Kementerian
Pangan Nasional
Miskonsepsi
terjadi, mungkin, karena Tim Transisi Jokowi-JK belum merumuskan secara
detail sistem kedaulatan pangan nasional. Seandainya sudah dirumuskan, akan
terlihat jelas sifat multisektoral kedaulatan pangan itu sehingga usul
pembentukan Kementerian Kedaulatan Pangan tidak akan muncul.
Jika
merujuk pada batasan sistem kedaulatan pangan sebagai sistem gotong royong
sinergis antara stakeholder
pemerintah, yang terdiri atas sejumlah kementerian dan organisasi pemerintah
non kementerian, komunitas petani (agrobisnis kerakyatan), dan entitas
korporasi agrobisnis, langkah paling realistis adalah membentuk ’’Kementerian
Pangan Nasional’’.
Nomenklatur
’’pangan nasional’’ digunakan sebagai common denominator sekaligus sasaran
utama untuk semua bidang produksi yang akan disatukan di bawahnya. Yaitu,
pertanaman (biji-bijian, umbi-umbian, buah-buahan, dan sayur-sayuran);
perikanan (khususnya perikanan budi daya); peternakan; serta perkebunan.
Fungsi
Kementerian Pangan Nasional harus dibatasi pada urusan produksi pangan
(berbasis tanaman, ternak, dan ikan) dalam negeri. Yaitu, peningkatan
produktivitas dan produksi sampai taraf swasembada (kecukupan konsumsi per
kapita plus stok nasional) secara efisien dan efektif. Dengan demikian, ruang
untuk impor pangan semakin sempit sampai kemudian berbalik menjadi eksporter
pangan olahan.
Fokus
kerja Kementerian Pangan Nasional adalah membentuk, mengembangkan, dan
memantapkan entitas ’’agrobisnis kerakyatan’’ dalam rangka peningkatan
produktivitas serta daya saing internasional (Nawacita 6) dan kemandirian
ekonomi di sektor pangan, yaitu berupa kedaulatan pangan (Nawacita 7).
Targetnya,
sebagaimana telah dicanangkan Jokowi di depan Musyawarah Seknas Tani
Jokowi-JK di Jakarta (4/9/2014), adalah mewujudkan swasembada pangan paling
lambat 2018. Artinya, total konsumsi pangan nasional (khususnya beras,
jagung, kedelai, gula, daging, ikan, dan telur) pada tingkat angka swasembada,
ditambah persediaan nasional, seluruhnya sudah harus terpenuhi hanya dari
produksi domestik pada tahun itu.
Peningkatan
produktivitas dan produksi pangan untuk mencapai target kedaulatan pangan
2018, melalui pembangunan agrobisnis kerakyatan, itu sudah menjadi tugas
mahaberat bagi Kementerian Pangan Nasional. Jadi, tidak rasional jika masih
dibebani dengan urusan-urusan pengendalian impor pangan, pemberantasan mafia
impor, pengembangan industri pengolahan berorientasi ekspor, pengendalian konversi
lahan pertanian, pencetakan sawah, dan pembangunan irigasi pertanian.
Biarlah
urusan-urusan itu ditangani kementerian lain di bawah koordinasi menteri
koordinator perekonomian, sedangkan Kementerian Kedaulatan Pangan cukuplah
berfokus pada fungsi peningkatan produktivitas dan produksi pangan nasional
(domestik) hingga mencapai kinerja kemandirian/kedaulatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar