Mencederai
Independensi BPK
Endah Sulistyowati ; Penulis
banyak memantau kinerja lembaga negara
|
KORAN
JAKARTA, 22 September 2014
Proses
uji kelayakan dan kepatutan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
dilakukan secara tertutup oleh Komisi XI DPR mengundang kecaman publik.
Terpilihnya lima anggota BPK dari partai politik (parpol) telah mencederai
independensi lembaga tinggi negara itu. Para politisi Senayan yang kini
mendominasi pimpinan BPK membuat publik pesimistis akan kinerjanya kelak.
Citra
BPK, hingga kini, masih terpuruk, terutama sejak Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menetapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Purnomo, sebagai
tersangka kasus korupsi pajak. Dia menjadi tersangka saat menjabat Direktur
Jenderal Pajak tahun 2002–2004 yang merugikan keuangan negara 375 miliar
rupiah.
Kasus
korupsi Hadi seharusnya menjadi pelajaran dalam pemilihan ketua dan anggota
BPK terkait integritas dan track record. Dengan terpilihnya lima anggota BPK
bernuansa parpol yang biasanya membawa agenda tertentu, jelas mencemaskan.
Sebenarnya publik berharap ketua dan anggota BPK memiliki kemauan keras
memberantas korupsi serta bersinergi dengan KPK.
Selama
ini, khususnya saat dipimpin Hadi, BPK lambat dan kurang gereget membantu KPK
menangani kasus-kasus korupsi. Contohnya kasus korupsi Hambalang. Karena
hasil audit BPK sangat lambat dan kurang menggigit, penahanan para tersangka
seperti mantan Menpora Andi Malarangeng dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat
Anas Urbaningrum tertunda lama karena menunggu proses penghitungan kerugian
keuangan negara oleh BPK.
Selama
10 tahun terakhir, BPK belum mampu memenuhi harapan rakyat, terutama terkait
dengan kontribusi memberantas korupsi. BPK hanya mengaudit secara umum
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APBN. Ironisnya, BPK jarang
menindaklanjuti temuan kasus sampai pada kelayakan proses dan mengawalnya
hingga ke penegakan hukum.
Kelak,
BPK mesti bisa mengatasi kecurangan laporan keuangan lembaga pemerintah
dengan cara menyajikan laporan yang lebih baik dari kenyataan. Dalam
lingkungan korporasi atau BUMN, kecurangan laporan keuangan dilakukan dengan
menekan laba guna menghindari atau memperkecil kewajiban pajak penghasilan
badan.
Untuk
itulah BPK berperan penting mengatasi modus korupsi bidang perpajakan. Pada
era konvergensi teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, BPK juga
harus mampu mengatasi kecurangan terkait dengan komputer (computer fraud).
Publik
juga menggugat BPK tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara yang telah memberi kewenangan untuk mengaudit kinerja serta
pemeriksaan tujuan tertentu. Ke depan, para anggota BPK harus mampu mengoptimalkan
kewenangan audit kinerja sebagaimana diperintahkan undang-undang. Mereka
harus lebih fokus pada manajemen pelayanan, ketepatan waktu, lingkungan dan
aspek yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat.
Selain
itu, anggota BPK yang dipilih DPR bukan auditor hitam yang selama ini
bermasalah, tidak independen, dan rendah integritas.
Audit
Investigasi
BPK
harus mempertinggi audit investigasi. Menurut Jack Balogna dan Robert J
Lindguist dalam bukunya, Fraud Auditing and Forensic Accounting, audit investigasi
melibatkan kaji ulang dokumentasi keuangan untuk tujuan khusus yang dapat
berkaitan dengan usaha mendukung tindakan hukum. Audit investigasi
menjalankan bagian dari substansi hukum untuk membuktikan kejahatan
kecurangan.
Kelambanan
kerja BPK dalam mengaudit proyek-proyek yang terindikasi korupsi merupakan
paradoks pengelolaan keuangan negara sekaligus tamparan bagi transparansi dan
akuntabilitas. Publik menggugat kinerja BPK karena masih sering kedodoran.
Dampaknya, kelambanan memeriksa keuangan daerah. Upaya mencegah penyelewengan
juga masih minim. Buktinya, belum semua APBD di provinsi, kabupaten dan kota
yang diaudit oleh BPK secara cepat dan tepat.
Selain
itu, hasil auditnya sejauh ini hanya menjadi bukti permulaan. Kerugian negara
yang diungkap dari hasil auditnya belum bisa dijadikan bukti formal proses
penyidikan, baik di KPK, kepolisian, maupun kejaksaan. Akibatnya, tidak semua
kasus dugaan korupsi yang terungkap dari audit BPK dapat diproses lebih jauh
secara hukum.
Keefektifan
BPK dalam menyelamatkan uang negara belum memuaskan. Kekurangan auditor
diharapkan segera diisi dari Kantor Akuntan Publik. BPK harus cepat mencetak
auditor.
Berdasarkan
Pasal 23E dan 23G UUD 1945, BPK diberi tugas memeriksa pengelolaan dan
bertanggung jawab tentang keuangan negara yang bebas dan mandiri. Hasil
pemeriksaan diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Dia berkedudukan di ibu
kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Untuk mengemban tugas
demikian, BPK harus merekrut auditor berintegritas, termasuk dengan pelatihan
khusus.
Perlu
dicatat, penggunaan jasa akuntan publik untuk menjalankan tugas rutin BPK
sangat rawan dan bisa berakibat fatal karena banyak akuntan publik, seiring
perjalanan waktu, menjelma menjadi auditor hitam yang justru membantu
koruptor.
Fakta
menunjukkan bahwa penyelewengan keuangan negara terjadi akibat lemahnya
mekanisme pengawasan. Di sisi yang lain, penerapan manajemen anti-fraud belum
optimal sehingga setiap potensi kerugian keuangan negara tak dapat
diidentifikasi atau dicegah secara dini. Lebih-lebih manajemen risiko lembaga
keuangan dan birokrasi juga masih buruk. Masyarakat berharap agar kinerja BKP
terus ditingkatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar