Selasa, 23 September 2014

Mencederai Independensi BPK

Mencederai Independensi BPK

Endah Sulistyowati ;   Penulis banyak memantau kinerja lembaga negara
KORAN JAKARTA, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Proses uji kelayakan dan kepatutan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan secara tertutup oleh Komisi XI DPR mengundang kecaman publik. Terpilihnya lima anggota BPK dari partai politik (parpol) telah mencederai independensi lembaga tinggi negara itu. Para politisi Senayan yang kini mendominasi pimpinan BPK membuat publik pesimistis akan kinerjanya kelak.

Citra BPK, hingga kini, masih terpuruk, terutama sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Purnomo, sebagai tersangka kasus korupsi pajak. Dia menjadi tersangka saat menjabat Direktur Jenderal Pajak tahun 2002–2004 yang merugikan keuangan negara 375 miliar rupiah.

Kasus korupsi Hadi seharusnya menjadi pelajaran dalam pemilihan ketua dan anggota BPK terkait integritas dan track record. Dengan terpilihnya lima anggota BPK bernuansa parpol yang biasanya membawa agenda tertentu, jelas mencemaskan. Sebenarnya publik berharap ketua dan anggota BPK memiliki kemauan keras memberantas korupsi serta bersinergi dengan KPK.

Selama ini, khususnya saat dipimpin Hadi, BPK lambat dan kurang gereget membantu KPK menangani kasus-kasus korupsi. Contohnya kasus korupsi Hambalang. Karena hasil audit BPK sangat lambat dan kurang menggigit, penahanan para tersangka seperti mantan Menpora Andi Malarangeng dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum tertunda lama karena menunggu proses penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK.

Selama 10 tahun terakhir, BPK belum mampu memenuhi harapan rakyat, terutama terkait dengan kontribusi memberantas korupsi. BPK hanya mengaudit secara umum pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APBN. Ironisnya, BPK jarang menindaklanjuti temuan kasus sampai pada kelayakan proses dan mengawalnya hingga ke penegakan hukum.

Kelak, BPK mesti bisa mengatasi kecurangan laporan keuangan lembaga pemerintah dengan cara menyajikan laporan yang lebih baik dari kenyataan. Dalam lingkungan korporasi atau BUMN, kecurangan laporan keuangan dilakukan dengan menekan laba guna menghindari atau memperkecil kewajiban pajak penghasilan badan.

Untuk itulah BPK berperan penting mengatasi modus korupsi bidang perpajakan. Pada era konvergensi teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, BPK juga harus mampu mengatasi kecurangan terkait dengan komputer (computer fraud).

Publik juga menggugat BPK tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang telah memberi kewenangan untuk mengaudit kinerja serta pemeriksaan tujuan tertentu. Ke depan, para anggota BPK harus mampu mengoptimalkan kewenangan audit kinerja sebagaimana diperintahkan undang-undang. Mereka harus lebih fokus pada manajemen pelayanan, ketepatan waktu, lingkungan dan aspek yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, anggota BPK yang dipilih DPR bukan auditor hitam yang selama ini bermasalah, tidak independen, dan rendah integritas.

Audit Investigasi

BPK harus mempertinggi audit investigasi. Menurut Jack Balogna dan Robert J Lindguist dalam bukunya, Fraud Auditing and Forensic Accounting, audit investigasi melibatkan kaji ulang dokumentasi keuangan untuk tujuan khusus yang dapat berkaitan dengan usaha mendukung tindakan hukum. Audit investigasi menjalankan bagian dari substansi hukum untuk membuktikan kejahatan kecurangan.

Kelambanan kerja BPK dalam mengaudit proyek-proyek yang terindikasi korupsi merupakan paradoks pengelolaan keuangan negara sekaligus tamparan bagi transparansi dan akuntabilitas. Publik menggugat kinerja BPK karena masih sering kedodoran. Dampaknya, kelambanan memeriksa keuangan daerah. Upaya mencegah penyelewengan juga masih minim. Buktinya, belum semua APBD di provinsi, kabupaten dan kota yang diaudit oleh BPK secara cepat dan tepat.

Selain itu, hasil auditnya sejauh ini hanya menjadi bukti permulaan. Kerugian negara yang diungkap dari hasil auditnya belum bisa dijadikan bukti formal proses penyidikan, baik di KPK, kepolisian, maupun kejaksaan. Akibatnya, tidak semua kasus dugaan korupsi yang terungkap dari audit BPK dapat diproses lebih jauh secara hukum.

Keefektifan BPK dalam menyelamatkan uang negara belum memuaskan. Kekurangan auditor diharapkan segera diisi dari Kantor Akuntan Publik. BPK harus cepat mencetak auditor.

Berdasarkan Pasal 23E dan 23G UUD 1945, BPK diberi tugas memeriksa pengelolaan dan bertanggung jawab tentang keuangan negara yang bebas dan mandiri. Hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Dia berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Untuk mengemban tugas demikian, BPK harus merekrut auditor berintegritas, termasuk dengan pelatihan khusus.

Perlu dicatat, penggunaan jasa akuntan publik untuk menjalankan tugas rutin BPK sangat rawan dan bisa berakibat fatal karena banyak akuntan publik, seiring perjalanan waktu, menjelma menjadi auditor hitam yang justru membantu koruptor.

Fakta menunjukkan bahwa penyelewengan keuangan negara terjadi akibat lemahnya mekanisme pengawasan. Di sisi yang lain, penerapan manajemen anti-fraud belum optimal sehingga setiap potensi kerugian keuangan negara tak dapat diidentifikasi atau dicegah secara dini. Lebih-lebih manajemen risiko lembaga keuangan dan birokrasi juga masih buruk. Masyarakat berharap agar kinerja BKP terus ditingkatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar