Kembalilah
ke Ribaan Rakyat
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS,
23 September 2014
KEDIGDAYAAN rakyat
sebagai pemegang kedaulatan otentik akan menguat atau mengkhawatirkan tergantung
dari keputusan DPR tanggal 25 September.
Apakah mereka memilih opsi pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati/wali
kota) secara langsung atau oleh DPRD. Posisi tiap-tiap kubu lebih jelas kalau
mencermati perdebatan RUU Pilkada beberapa minggu terakhir. Alur logika
publik dibuat jumpalitan laiknya roller coaster.
Panggung politik menggelar akrobat politik yang mendebarkan karena para aktor
politik mempermainkan mandat kekuasaan rakyat yang dipercayakan kepada
mereka.
Komedi politik dapat lebih jelas kalau
membandingkan posisi pilihan politik fraksi pada Juni 2013 dengan opsi mereka
setelah September 2014. Pada Juni, mereka yang memilih kepala daerah dipilih
langsung adalah Fraksi Partai Golkar, PDI-P, PKS, PAN, PKB, Gerindra, dan
Hanura. Sementara itu, fraksi yang mempunyai opsi gubernur dipilih langsung
dan bupati/wali kota dipilih DPRD, selain pemerintah, adalah Fraksi Partai
Demokrat dan PPP. Namun, pada September terjadi perubahan yang drastis dan
dramatik. Beberapa fraksi yang semula menguras energi membangun argumentasi
memilih opsi pilkada langsung mendadak sontak membangun silogisme politik
berbanding terbalik dengan logika sebelumnya. Mereka memilih opsi pilkada
oleh DPRD.
Perdebatan pilkada
langsung dan pilkada oleh DPRD adalah lumrah dalam berdemokrasi. Namun, yang mengkhawatirkan, perdebatan tersebut terjebak pada
pilihan yang satu lebih hebat daripada opsi yang lain. Para elite politik
seakan terlena dan lupa pilihan kedua opsi itu harus diletakkan dalam konteks
yang lebih luas lagi, yaitu menata desentralisasi yang asimetrik.
Praktik tersebut sudah dilakukan di DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, dan
lain-lain. Perspektif yang juga lenyap dari perdebatan, pilkada sebagai
bagian dari penataan desentralisasi merupakan wilayah dari desain tatanan
kekuasaan politik nasional yang tujuan utamanya mewujudkan pemerintahan yang
efektif, tetapi tetap dalam kontrol publik.
Banyak
kalangan menduga perubahan mendadak fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah
Putih memilih pilkada oleh DPRD karena para kader partai mendapat perintah
dari penguasa parpol yang tidak kuasa ditolak. Mungkin sekali
perintah itu melawan suara batinnya, tetapi para kader harus menyerah karena
berbeda pendapat dengan penguasa partai dianggap melawan otoritasnya dan
mendapatkan sanksi yang dirasakan terlalu berat. Kalau
asumsi tersebut benar, parpol bukan lagi pilar demokrasi, melainkan kasta
politik yang fungsinya membangun imperium politik dengan kekuatan modal,
garis keturunan, atau sentimen primordial lain.
Oleh karena itu, tidak
terlalu menganggap keliru mereka yang berspekulasi opsi pilihan Koalisi Merah
Putih merupakan kelanjutan dari pertarungan pemilu presiden yang belum
selesai. Hal itu sangat disesalkan mengingat dalam
kompetisi politik yang demokratis, siapa pun yang unggul harus menjadikan
kemenangan tersebut milik rakyat, bukan pertarungan hidup-mati membela
oligarki politik. Pemenang kompetisi bukan ”sang penakluk” yang dapat berbuat
semaunya. Mereka hanya pemegang mandat rakyat untuk membuat kebijakan yang
menyejahterakan seluruh warga negara tanpa kecuali.
Kekalahan bukan anathema (kutukan dan aib) yang harus
ditebus berapa pun harga dan apa pun caranya. Sebaliknya, kalah bukan
pecundang, melainkan sekadar tersisih untuk sementara waktu dan selalu
mungkin menjadi pemenang, terutama kalau disikapi dengan ikhlas dan semangat
juang untuk mengabdi rakyat. Menang-kalah adalah biasa, bukan kiamat.
Fenomena menguatnya kasta
politik tidak boleh dibiarkan karena akan menjadi sumber pembusukan politik
yang menyengsarakan rakyat. Mungkin kajian Daron
Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nation Fails: The Origin of Power,
Prosperity, and Poverty, (2012) dapat dijadikan pelajaran. Dalil
mereka, negara gagal bukan karena faktor kebodohan, geografi, dan kebudayaan.
Variabel tersebut hanya terjadi di negara tertentu, bukan fenomena global. Kajian mereka menyimpulkan, penyebab vital negara gagal
adalah merebaknya institusi politik dan ekonomi ekstraktif. Lembaga
tersebut diciptakan elite politik, fungsi utamanya menguras kekayaan negara
untuk kepentingan kekuasaan dan menindas rakyat. Negara-negara yang pernah
jaya dan digdaya menjadi nestapa karena menjamurnya institusi politik dan
ekonomi ekstraktif. Joseph Schumpeter (ekonom) menganggap merajalelanya
institusi ekstraktif karena menolak fenomena yang disebut penghancuran
kreatif (creative destruction).
Proses penghancuran tatanan lama digantikan oleh tatanan baru dengan nilai
dan teknologi baru serta lebih inklusif.
Keputusan politik di DPR
tanggal 25 September akan menjadi moment of truth. Pertaruhannya,
menguatnya kedaulatan rakyat atau
semakin digdayanya kasta politik. Pilkada langsung yang sudah berlangsung sekitar 10
tahun dan menghasilkan cukup banyak kepala daerah yang memihak rakyat
mempunyai beberapa kekurangan, tetapi obatnya bukan pilkada di DPRD. Opsi
pilkada oleh DPRD hanya memperkuat kasta politik. Semoga para anggota
DPR dalam mengambil keputusan menampilkan diri sebagai wakil rakyat yang
memuliakan kekuasaan, bukan buruh politik yang takluk kepada perintah
majikan. Rakyat sangat percaya, sebagian besar wakil rakyat akan memutuskan
sesuai dengan kehendak rakyat. Dari rakyat kembali ke ribaan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar