Rabu, 10 September 2014

Kekuasaan Kehakiman Berbeda Paham Melawan Korupsi

Kekuasaan Kehakiman

Berbeda Paham Melawan Korupsi  

Erlangga Masdiana  ;   Kriminolog UI
MEDIA INDONESIA, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

LANGKAH Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menegakkan hukum perlu mendapatkan apresiasi karena hampir dapat dipastikan bahwa yang ditetapkan sebagai tersangka tidak bisa mengelak dari jeratan hukum. KPK memiliki mekanisme pembuktian yang tidak bisa dibantah hakim, jaksa, dan pengacara. Terlepas dari siapa yang terkena penetapan sebagai tersangka oleh KPK.

Persoalannya sekarang ialah ketika kekuasaan yudikatif tidak sepenuhnya berada pada KPK, tetapi tersebar ke beberapa institusi penegakan hukum lain, seperti polisi, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan (LP). Dalam semangat memberikan efek jera (deterrent effect), KPK seperti berjalan sendirian.Dalam beberapa kasus yang sudah diputuskan oleh hakim, KPK merasa kecewa terhadap langkah-langkah pembuktian yang disampaikan kepada hakim melalui jaksa KPK.

Tidak ada efek jera

Efek jera tidak hanya memberikan sanksi pidana yang berat kepada para koruptor ketika hakim memutuskan di pengadilan. Juga, pemberian efek jera harus sinergi dengan para petugas LP yang melakukan berbagai penilaian terhadap para pelaku korupsi di LP. Dalam dekade setelah Saharjo yang menginisiasikan gagasan tentang LP, itu tidak lagi dimaknai bahwa LP ialah `penjara' (yang memberikan `efek jera' secara berlebihan kepada para narapidana, tetapi melakukan proses integrasi sosial agar para pelaku kejahatan dapat menjadi warga negara yang baik kembali setelah keluar dari LP).

Karena itu, tidak mengherankan bila jaksa KPK menuntut mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah hukuman 10 tahun, tetapi hakim pengadilan tindak pidana korupsi hanya memberikan hukuman selama 4 tahun dan tidak disertai dengan pencabutan hak politiknya. Begitu juga Hartati Murdaya mendapatkan pembebasan bersyarat dari kekuasaan eksekutif (Kementerian Hukum dan HAM) dengan alasan dalam Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 telah turut serta sebagai whistleblower (bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana lain).

Perbedaan konsep standar tuntutan hukum antara KPK dan institusi penegakan hukum lain menyulitkan proses pemberantasan korupsi. Di satu sisi, KPK berusaha untuk bekerja secara maksimal melakukan pembuktian tindakan korupsi yang dilakukan para penyelenggara negara atau warga negara yang merugikan keuangan negara. Di sisi lain, ada semangat untuk `mengakomodasi' berbagai hak-hak tersangka secara maksimal pula.

Hak tersangka ditafsirkan secara berbeda-beda oleh setiap oknum di lembaga-lembaga penegakan hukum (yang ada di yudikatif dan eksekutif) sehingga menjadi faktor yang menyulitkan gerakan pemberantasan korupsi. Seperti ada anggapan bahwa gerakan pemberantasan korupsi ialah gerakan yang dilakukan KPK semata.

Gerakannya masih bersifat sporadis, segmentatif, dan parsial. Gerakannya belum mencerminkan suatu langkah yang sistematis. Itu disebabkan, pertama, belum ada kekuatan nilai yang terpola (patterned) pada suatu gerakan sehingga nilai-nilai antikorupsi bersifat `gamang' dipahami dan tidak terinternalisasi ke para pihak yang terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi. Nilai-nilai yang ada selama ini masih dalam tataran nilai-nilai `penindakan' dari nilai-nilai pemberantasan, belum menjadi nilai yang terinternalisasi dalam sebuah karakter `menolak, tidak senang, dan memerangi'.

Kedua, belum ada institusi yang memiliki wewenang untuk dapat membangun suatu kekuatan antikorupsi secara masif dan powerful. Institusi tersebut melakukan berbagai langkah-langkah yang dapat dijalankan secara bersamasama guna mencapai suatu tujuan politik dekonstruksi kejahatan korupsi. Ketiga, harus menetapkan pelaku kejahatan korupsi sebagai pihak yang tidak diberi keleluasaan (loss of independence) dalam memperoleh hak-haknya jika dibandingkan dengan pelaku kejahatan lain. Yang terjadi justru para pelaku mendapatkan keleluasaan untuk dapat berkomunikasi dengan dunia luar, bahkan `diberi kesempatan' untuk membuat pencitraan.

Keempat, pelaku kejahatan korupsi harus diperlakukan sebagai pihak incapacitation (pihak yang tidak berdaya). Kenyataan yang ada, para pelaku kejahatan korupsi yang ada di rumah tahanan (rutan) atau di LP justru dianggap memberi `berkah' bagi para oknum sipir atau pegawai institusi yang bersangkutan.

Beda irama

Perbedaan di atas disebabkan adanya perbedaan irama dan spirit penegakan hukum antara KPK dan kekuasaan kehakiman lain. KPK berusaha mempertanggungjawabkan pemberantasan kepada publik. Sementara itu, kekuasaan kehakiman lain keputusannya, lebih banyak pertanggungjawabannya diarahkan kepada `atasan'.

Berbedanya falsafah pemidanaan yang dianut setiap lembaga dalam memberikan sanksi berdampak terhadap semangat dan inspirasi dalam penetapan keputusan. KPK lebih menonjolkan semangat untuk membuktikan secara yuridis (meskipun hanya sebagai pintu masuk pembuktian adanya kejahatan korupsi), sedangkan adakalanya para penegak hukum lain menganggap tidak terlalu penting.

Perbedaan moralitas kerja antara aparat KPK dan aparat penegak hukum lain disebab kan proses pembentukan awal lembaga. KPK dibentuk dari desakan publik untuk melakukan suatu perubahan mendasar sebagai konsekuensi adanya UU Tindak Pidana Korupsi, sedangkan aparat penegak hukum lain memiliki pandangan sebagai `pekerja hukum' yang harus membuktikan adanya pelanggaran atau tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam hukum materiil.

Perbedaan derajat intervensi menimbulkan spirit yang berbeda dalam mengambil keputusan dari setiap lembaga penegakan hukum. KPK diintervensi keluhan masyarakat, sedangkan lembaga penegakan hukum lain lebih banyak dipengaruhi politik kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, wajar saja di masa lalu ada berbagai putusan hakim yang mendapat penolakan dari masyarakat seperti kasus kematian aktivis Munir, Fuad Muhammad Syafruddin (wartawan Bernas), dan Dice Budimulyono.

Dari berbagai penjelasan di atas, tampaknya korupsi masih sulit untuk dapat diberantas karena dari segi kebijakan (pengambilan keputusan) dari berbagai lembaga penegakan hukum masih memiliki paham yang berbeda tentang sikap dan pemberian sanksi yang efektif untuk para koruptor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar