Kekuasaan
Kehakiman
Berbeda
Paham Melawan Korupsi
Erlangga Masdiana ;
Kriminolog
UI
|
MEDIA
INDONESIA, 09 September 2014
LANGKAH Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam menegakkan hukum perlu mendapatkan apresiasi karena
hampir dapat dipastikan bahwa yang ditetapkan sebagai tersangka tidak bisa
mengelak dari jeratan hukum. KPK memiliki mekanisme pembuktian yang tidak
bisa dibantah hakim, jaksa, dan pengacara. Terlepas dari siapa yang terkena
penetapan sebagai tersangka oleh KPK.
Persoalannya sekarang
ialah ketika kekuasaan yudikatif tidak sepenuhnya berada pada KPK, tetapi
tersebar ke beberapa institusi penegakan hukum lain, seperti polisi, hakim,
petugas lembaga pemasyarakatan (LP). Dalam semangat memberikan efek jera (deterrent effect), KPK seperti
berjalan sendirian.Dalam beberapa kasus yang sudah diputuskan oleh hakim, KPK
merasa kecewa terhadap langkah-langkah pembuktian yang disampaikan kepada
hakim melalui jaksa KPK.
Tidak ada efek jera
Efek jera tidak hanya
memberikan sanksi pidana yang berat kepada para koruptor ketika hakim
memutuskan di pengadilan. Juga, pemberian efek jera harus sinergi dengan para
petugas LP yang melakukan berbagai penilaian terhadap para pelaku korupsi di
LP. Dalam dekade setelah Saharjo yang menginisiasikan gagasan tentang LP, itu
tidak lagi dimaknai bahwa LP ialah `penjara' (yang memberikan `efek jera'
secara berlebihan kepada para narapidana, tetapi melakukan proses integrasi
sosial agar para pelaku kejahatan dapat menjadi warga negara yang baik
kembali setelah keluar dari LP).
Karena itu, tidak
mengherankan bila jaksa KPK menuntut mantan Gubernur Banten Ratu Atut
Chosiyah hukuman 10 tahun, tetapi hakim pengadilan tindak pidana korupsi
hanya memberikan hukuman selama 4 tahun dan tidak disertai dengan pencabutan
hak politiknya. Begitu juga Hartati Murdaya mendapatkan pembebasan bersyarat
dari kekuasaan eksekutif (Kementerian Hukum dan HAM) dengan alasan dalam
Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 telah turut serta sebagai whistleblower (bekerja sama dengan
penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana lain).
Perbedaan konsep
standar tuntutan hukum antara KPK dan institusi penegakan hukum lain
menyulitkan proses pemberantasan korupsi. Di satu sisi, KPK berusaha untuk
bekerja secara maksimal melakukan pembuktian tindakan korupsi yang dilakukan
para penyelenggara negara atau warga negara yang merugikan keuangan negara.
Di sisi lain, ada semangat untuk `mengakomodasi' berbagai hak-hak tersangka
secara maksimal pula.
Hak tersangka
ditafsirkan secara berbeda-beda oleh setiap oknum di lembaga-lembaga
penegakan hukum (yang ada di yudikatif dan eksekutif) sehingga menjadi faktor
yang menyulitkan gerakan pemberantasan korupsi. Seperti ada anggapan bahwa
gerakan pemberantasan korupsi ialah gerakan yang dilakukan KPK semata.
Gerakannya masih
bersifat sporadis, segmentatif, dan parsial. Gerakannya belum mencerminkan
suatu langkah yang sistematis. Itu disebabkan, pertama, belum ada kekuatan
nilai yang terpola (patterned) pada
suatu gerakan sehingga nilai-nilai antikorupsi bersifat `gamang' dipahami dan
tidak terinternalisasi ke para pihak yang terlibat dalam gerakan
pemberantasan korupsi. Nilai-nilai yang ada selama ini masih dalam tataran
nilai-nilai `penindakan' dari nilai-nilai pemberantasan, belum menjadi nilai
yang terinternalisasi dalam sebuah karakter `menolak, tidak senang, dan
memerangi'.
Kedua, belum ada
institusi yang memiliki wewenang untuk dapat membangun suatu kekuatan
antikorupsi secara masif dan powerful.
Institusi tersebut melakukan berbagai langkah-langkah yang dapat dijalankan
secara bersamasama guna mencapai suatu tujuan politik dekonstruksi kejahatan
korupsi. Ketiga, harus menetapkan pelaku kejahatan korupsi sebagai pihak yang
tidak diberi keleluasaan (loss of
independence) dalam memperoleh hak-haknya jika dibandingkan dengan pelaku
kejahatan lain. Yang terjadi justru para pelaku mendapatkan keleluasaan untuk
dapat berkomunikasi dengan dunia luar, bahkan `diberi kesempatan' untuk
membuat pencitraan.
Keempat, pelaku
kejahatan korupsi harus diperlakukan sebagai pihak incapacitation (pihak yang
tidak berdaya). Kenyataan yang ada, para pelaku kejahatan korupsi yang ada di
rumah tahanan (rutan) atau di LP justru dianggap memberi `berkah' bagi para
oknum sipir atau pegawai institusi yang bersangkutan.
Beda irama
Perbedaan di atas
disebabkan adanya perbedaan irama dan spirit penegakan hukum antara KPK dan
kekuasaan kehakiman lain. KPK berusaha mempertanggungjawabkan pemberantasan
kepada publik. Sementara itu, kekuasaan kehakiman lain keputusannya, lebih
banyak pertanggungjawabannya diarahkan kepada `atasan'.
Berbedanya falsafah
pemidanaan yang dianut setiap lembaga dalam memberikan sanksi berdampak
terhadap semangat dan inspirasi dalam penetapan keputusan. KPK lebih
menonjolkan semangat untuk membuktikan secara yuridis (meskipun hanya sebagai
pintu masuk pembuktian adanya kejahatan korupsi), sedangkan adakalanya para
penegak hukum lain menganggap tidak terlalu penting.
Perbedaan moralitas
kerja antara aparat KPK dan aparat penegak hukum lain disebab kan proses
pembentukan awal lembaga. KPK dibentuk dari desakan publik untuk melakukan
suatu perubahan mendasar sebagai konsekuensi adanya UU Tindak Pidana Korupsi,
sedangkan aparat penegak hukum lain memiliki pandangan sebagai `pekerja
hukum' yang harus membuktikan adanya pelanggaran atau tindak pidana korupsi
sebagaimana tertuang dalam hukum materiil.
Perbedaan derajat
intervensi menimbulkan spirit yang berbeda dalam mengambil keputusan dari
setiap lembaga penegakan hukum. KPK diintervensi keluhan masyarakat,
sedangkan lembaga penegakan hukum lain lebih banyak dipengaruhi politik
kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, wajar saja di masa lalu ada berbagai
putusan hakim yang mendapat penolakan dari masyarakat seperti kasus kematian
aktivis Munir, Fuad Muhammad Syafruddin (wartawan Bernas), dan Dice
Budimulyono.
Dari berbagai
penjelasan di atas, tampaknya korupsi masih sulit untuk dapat diberantas
karena dari segi kebijakan (pengambilan keputusan) dari berbagai lembaga penegakan
hukum masih memiliki paham yang berbeda tentang sikap dan pemberian sanksi
yang efektif untuk para koruptor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar