Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia
Rokhmin Dahuri ;
Ketua DPP
PDI Perjuangan; Bidang Maritim dan Perikanan
|
MEDIA
INDONESIA, 09 September 2014
KITA bersyukur kondisi
makroekonomi Indonesia selama 10 tahun terakhir lumayan gemilang. Pertumbuhan
ekonomi rata-rata sebesar 5,4% per tahun dan Indonesia masuk kelompok negara
G-20 dengan PDB sekitar US$1,2 triliun, terbesar ke-16 di dunia.
Namun, sudah 69 tahun
merdeka, Indonesia masih sebagai negara berkembang berpendapatan
menengah-bawah (GNP per kapita US$5.400) dengan angka pengangguran dan
kemiskinan yang tinggi, kesenjangan kelompok penduduk kaya versus miskin
semakin melebar, dan daya saing ekonomi yang rendah. Tingkat kemajuan dan
kemakmuran Indonesia jauh di bawah negara-negara tetangga yang modal dasar
pembangunannya sangat terbatas, seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan
dengan pendapatan (GNP) per kapita di atas US$12 ribu sejak rentang
1977-1995.Indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia pun hanya menempati
peringkat 6 di kawasan ASEAN di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand,
dan Filipina.
Padahal, Indonesia
merupakan negara yang memiliki modal dasar terlengkap untuk menjadi bangsa
yang maju, sejahtera, dan berdaulat. Pertama berupa 250 juta orang penduduk,
terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India, dan AS. Jumlah penduduk
usia produktif lebih banyak ketimbang yang berusia tidak produktif (bonus
demografi), dengan jumlah kelas menengah yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Kedua ialah kekayaan alam yang melimpah dan beragam di darat ataupun
lautan. Ketiga, posisi geoekonominya yang sangat strategis, di jantung pusat
perdagangan global. Sekitar 45% dari seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan
di dunia dengan nilai US$1.500 triliun per tahun diangkut melalui laut
Indonesia (UNCTAD, 2010).
Banyak faktor
menyebabkan Indonesia tertinggal, mulai sistem politik yang menyuburkan
budaya instan dan tidak kondusif bagi terbentuknya masyarakat meritokrasi
sampai dengan lemahnya penguasaan dan penerapan iptek. Salah satu yang
terpenting ialah karena kita belum punya visi pembangunan yang tepat dan
benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan. Visi pembangunan Indonesia
sejak zaman penjajahan hingga sekarang berorientasi pada daratan.
Padahal,
Indonesia ialah negara kepulauan terbesar di dunia yang 75% wilayahnya berupa
laut. Tekad presiden dan wapres terpilih Jokowi dan JK untuk menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia merupakan pilihan kebijakan yang sangat
tepat.
Kerugian negara
Akibat mengabaikan
nilai strategis laut, setiap tahun sedikitnya Rp300 triliun kekayaan negara
menguap melalui illegal fishing,
illegal mining, illegal logging, penyelundupan BBM, dan berbagai kegiatan
ekonomi ilegal lainnya. Lebih dari 80% barang yang kita ekspor harus melalui
pelabuhan Singapura. Ongkos untuk mengangkut satu peti kemas (kontainer) dari
Jakarta ke Surabaya dua kali lipat biaya pengiriman dari Singapura ke Los
Angeles. Begitu buruknya konektivitas maritim kita sehingga biaya logistik di
Indonesia mencapai 27% PDB, termahal di dunia. Bandingkan biaya logistik di
Singapura yang hanya 6% PDB; Thailand, Vietnam, dan Tiongkok hanya 7% PDB;
serta Malaysia 8% PDB. Buruknya konektivitas maritim juga telah menyebabkan
perbedaan harga barang yang sangat besar. Contohnya, harga satu sak semen di
Pulau Jawa Rp65 ribu, sedangkan di Papua Rp500 ribu. Harga solar di Pulau
Jawa Rp6.500/ liter, di Pulau Miangas dan Pulau Rote Rp15 ribu per liter.
Potensi ekonomi kelautan
Posisi Indonesia
sebagai `gerbang tol utama' perdagangan global (the global supply chain system) yang menghubungkan Samudra
Pasifik dengan Samu dra Hindia dan Benua Asia dengan Australia mestinya
mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar. Alih-alih, sejak 1987 Indonesia
malah menghamburkan devisa ratarata US$16 miliar per tahun untuk membayar
jasa kapal asing yang mengangkut barang yang diekspor dan diimpor dari dan ke
Indonesia. Indonesia menjadi pasar empuk dari berbagai jenis produk dan jasa
bangsa-bangsa lain.
Paradigma pembangunan
berbasis daratan juga telah mengakibatkan disparitas pembangunan antarwilayah
yang sangat tinggi. Jawa dan Bali yang luasnya hanya 7% total wilayah NKRI
menyumbangkan 62,3% terhadap PDB nasional, Sumatra 21,2%, Kalimantan 8,5%,
NTB dan NTT 1,4%, Sulawesi 4,9%, Maluku dan Maluku Utara 0,3%, dan Papua 1,4%
(BPS dan Bappenas, 2013).
Kekayaan SDA dan
jasa-jasa lingkungan kelautan dapat kita daya gunakan untuk kemajuan dan
kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan; 1) perikanan
tangkap, 2) perikanan budi daya, 3) industri pengolahan hasil perikanan, 4)
industri bioteknologi kelautan, 5) pertambangan dan energi, 6) pariwisata
bahari, 7) hutan mangrove, 8) perhubungan laut, 9) sumber daya wilayah
pulau-pulau kecil, 10) industri dan jasa maritim, dan 11) SDA
nonkonvensional. Total nilai ekonomi dari ke-11 sektor ekonomi kelautan itu
diperkira kan mencapai US$1,2 triliun per tahun dan dapat menyediakan
lapangan kerja un tuk 40 juta orang. Sampai sekarang, potensi ekonomi
kelautan yang luar biasa besar itu belum dimanfaatkan secara produktif dan
optimal, baru sekitar 20% dari total potensinya.
Raksasa yang tertidur
Sekadar ilustrasi,
betapa besarnya potensi ekonomi kelautan ialah sektor perikanan budi daya di
perairan payau dan di perairan laut (mariculture),
untuk budi daya udang, kepiting, bandeng, kerapu, dan rumput laut sekitar 2
juta hektare dengan potensi produksi sekitar 15 juta ton/tahun. Sampai
sekarang yang baru dimanfaatkan sekitar 350 ribu ha dengan total produksi 7
juta ton. Perairan laut dangkal yang sesuai untuk budi daya laut sekitar 12
juta ha dan laut lepas (offshore
aquaculture) sekitar 13 juta ha dengan potensi total produksi sekitar 50
juta ton/tahun.
Dengan rata-rata produktivitas
dan harga jual saat ini, bila dalam lima tahun ke depan kita mampu
mengusahakan 600 ribu ha tambak untuk budi daya udang vannamei, udang windu,
dan rumput laut, total pendapatan kotornya mencapai US$75 miliar per tahun
dan jumlah tenaga kerja (on-farm)
sekitar 8 juta orang dengan pendapatan bersih Rp3 juta¬Rp15 juta/ ha/bulan.
Agenda pembangunan
Wujud Indonesia se bagai poros maritim du nia ialah Indonesia sebagai negara
maritim yang besar, maju, adil-makmur, dan berdaulat yang menjadi rujukan masyarakat
dunia dalam hal kemajuan iptek, kemakmuran, keadilan, dan perdamaian di
antara bangsa-bangsa di wilayah lautan. Pada intinya dimensi ekonomi mencakup
empat kelompok kebijakan dan program pembangunan. Pertama ialah revitalisasi
sektorsektor ekonomi kelautan yang selama ini sudah berjalan, seperti
perikanan tangkap, perikanan budi daya, pertambangan dan energi, pariwisata
bahari, transportasi laut, dan industri dan jasa maritim.
Kedua, pengembangan
sektor-sektor ekonomi kelautan yang baru, seperti industri bioteknologi
kelautan, industri air laut dalam, offshore aquaculture, energi terbarukan
dari laut (pasang surut, gelombang, biofuel dari alga laut, dan OTEC); dan
sumber daya kelautan nonkonvensional lainnya (semua sumber daya alam dan
jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan yang belum
bisa dimanfaatkan karena belum tersedia teknologi pemanfaatannya atau karena
secara ekonomi belum menguntungkan).
Ketiga, pengembangan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru berbasis industri yang inovatif dan
ramah lingkungan di kawasankawasan pesisir di sepanjang alur laut kepulauan
Indonesia, pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan. Keempat, pengembangan
konektivitas kelautan (tol laut) terdiri dari pengembangan armada kapal,
pelabuhan, dan industri galangan kapal. Sistem regular liner services
(RLS) seyogianya digunakan dalam penguatan dan pengembangan armada angkutan
laut. Setiap pelabuhan harus dihubungkan dengan wilayah darat (hulu) melalui
berbagai moda transportasi, baik sungai, darat, maupun udara. Di setiap
pelabuhan utama juga harus dibangun basis logistik dan kawasan industri
modern.
Untuk mendukung
pembangunan ekonomi kelautan semacam itu, diperlukan lembaga perbankan khusus
untuk pembiayaan sektor-sektor ekonomi kelautan dengan suku bunga relatif
rendah dan persyaratan pinjam yang relatif lunak seperti halnya di
negara-negara ASEAN dan emerging
economies lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar