Jokowi,
Transisi, dan Koalisi
Ridho Imawan Hanafi ;
Peneliti
dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 09 September 2014
TAK
lama lagi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) akan dilantik menjadi
presiden-wakil presiden periode 2014-2019. Dalam masa tenggang menjelang
pelantikan, terdapat sejumlah tantangan politik bagi keduanya.
Tantangan
yang bila bisa mereka lewati dengan tidak tergesa-gesa dapat menjadi pijakan
positif perjalanan panjang 5 tahun capaian kepemimpinan mereka.
Jokowi,
seperti banyak diberitakan media begitu dilantik ingin segera tancap gas
merealisasikan sejumlah program yang dijanjikan. Dalam mempersiapkan upaya
itu, Jokowi membentuk tim transisi. Sebuah tim yang khusus dipersiapkan untuk
mengurus segala keperluan terkait dengan transisi kepemimpinan dari
pemerintahan sebelumnya. Upaya ini bertujuan agar proses transisi
kepemimpinan berlangsung dengan mulus.
Salah
satu tugas tim transisi adalah mempersiapkan konsep kelembagaan pemerintahan
di bawah presiden. Tantangan yang dihadapi Jokowi-JK adalah bagaimana kabinet
yang hendak mereka rancang, apakah posturnya masih seperti pemerintahan saat
ini atau perlu perampingan. Dalam pemberitaan memang disebutkan ada beberapa
pilihan pola itu. Namun kelanjutan wacana tersebut bukan tak mungkin menemui
ketidaksetujuan di antara Jokowi dan JK.
Kabinet
perlu perampingan atau tidak, semestinya perlu diukur dengan mempertimbangkan
program dan gaya kepemimpinan keduanya. Wacana lain mengenai kabinet yang
memunculkan silang pendapat internal Jokowi-JK adalah menteri di kabinet yang
harus melepaskan diri dari jabatan di parpol.
Sekilas
gagasan Jokowi tersebut baik karena selain menghindari tabrakan kepentingan
antara jabatan di kabinet dan posisi di parpol juga diharapkan bisa
menciptakan efisiensi kinerja. Persoalannya, andai perbedaan internal
Jokowi-JK tidak dikelola dengan baik bisa mengganggu komunikasi keduanya
dengan parpol pendukung yang belum sepenuhnya bersepakat.
Dalam
ruang penantian pelantikan dan masa-masa awal kepemimpinan Jokowi-JK, silang
pendapat yang mungkin muncul di ruang publik sebaiknya harus mereka
minimalisasi atau kelola. Hal guna merawat optimisme publik bahwa Jokowi-JK
duet kompak, saling melengkapi, dan tak saling salip. Selain itu, menghindari
pembenaran yang selama ini banyak diungkap oleh beberapa kalangan mengenai
gaya kepemimpinan JK yang saat menjadi wapres memiliki riwayat dinilai ìlebih
menonjolî ketimbang presidennya.
Selain
mengenai postur kabinet, Jokowi-JK memiliki tantangan terkait dengan
komposisi partai pendukung. Ikatan antara PDIP, Partai Nasdem, PKB, dan
Hanura yang total 207 kursi di DPR terlihat timpang dibanding koalisi Merah
Putih, yang terdiri atas Gerindra, PKS, Golkar, PPP, PAN, Partai Demokrat,
dengan 353 kursi. Ketimpangan jumlah kursi akan berdampak pada kekhawatiran
munculnya kesulitan akselerasi proses-proses politik Jokowi-JK di parlemen.
Untuk itu, kekuatan tambahan di parlemen penting baginya.
Mencermati
ikatan bangunan koalisi Merah Putih yang berkesan lebih didasarkan pada
kepentingan politik pragmatis bukan platform politik kuat, bukan tak mungkin
Jokowi-JK bisa mengupayakan menarik beberapa parpol. Apalagi di antara parpol
anggota koalisi Merah Putih meskipun sering diklaim solid sejauh ini masih
terjadi perdebatan internal apakah berada di luar pemerintahan atau mendukung
Jokowi-JK. Dengan kata lain, sebagian parpol koalisi Merah Putih masih belum
menutup diri untuk merapat.
Meyakinkan Kalkulasi
Gerindra
dan PKS, dua partai ini relatif solid dan nyaris tidak ada perdebatan
internal bergabung di koalisi Merah Putih. Golkar, di internal mereka
tampaknya belum sepenuhnya sepakat ke mana koalisi disorongkan. Dua kubu
bersilang: merapat ke Jokowi-JK atau memilih di luar. PPP, sejak pilpres
belum digelar pernah mengalami geger internal untuk menentukan ke mana arah
koalisi. Bahkan terjadi saling pecat di antara kader. Sekarang, seruan
mendukung Jokowi-JK belum sepi dilontarkan oleh sebagian kader.
Sikap
politik yang tidak jauh berbeda juga terlihat pada Partai Demokrat. Sebagai
ketua umum, Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyatakan kesediaannya membantu
proses transisi pemerintahan. Dengan kata lain, hal seperti itu bisa dibaca
bahwa Demokrat sebenarnya ada pintu niatan mendukung pemerintahan Jokowi-JK.
Tinggal bagaimana hal itu tidak menjadi upaya diam di antara mereka.
Adapun
sikap PAN belum terang benar kendati sejauh ini tidak menaruh posisi kontra
yang berlebihan pada Jokowi-JK. Bahkan jika merujuk pernyataan Jokowi bahwa
kemungkinan akan ada dua partai yang bergabung, PAN disebutnya sebagai salah
satu dari dua partai tersebut. Apalagi Hatta Rajasa dan Jokowi sudah bertemu
di rumah Surya Paloh, baru-baru ini.
Persoalannya,
apakah di antara parpol koalisi Merah Putih bersedia mengubah haluan tanpa
sebuah kalkulasi kepentingan politik yang menguntungkan mereka? Apalagi jika
sejak awal Jokowi menegaskan bahwa koalisi yang ia bangun adalah koalisi
tanpa syarat. Jokowi perlu meyakinkan semua kalkulasi itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar