Rabu, 10 September 2014

Jokowi, Transisi, dan Koalisi

Jokowi, Transisi, dan Koalisi  

Ridho Imawan Hanafi  ;   Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

TAK lama lagi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) akan dilantik menjadi presiden-wakil presiden periode 2014-2019. Dalam masa tenggang menjelang pelantikan, terdapat sejumlah tantangan politik bagi keduanya.

Tantangan yang bila bisa mereka lewati dengan tidak tergesa-gesa dapat menjadi pijakan positif perjalanan panjang 5 tahun capaian kepemimpinan mereka.

Jokowi, seperti banyak diberitakan media begitu dilantik ingin segera tancap gas merealisasikan sejumlah program yang dijanjikan. Dalam mempersiapkan upaya itu, Jokowi membentuk tim transisi. Sebuah tim yang khusus dipersiapkan untuk mengurus segala keperluan terkait dengan transisi kepemimpinan dari pemerintahan sebelumnya. Upaya ini bertujuan agar proses transisi kepemimpinan berlangsung dengan mulus.

Salah satu tugas tim transisi adalah mempersiapkan konsep kelembagaan pemerintahan di bawah presiden. Tantangan yang dihadapi Jokowi-JK adalah bagaimana kabinet yang hendak mereka rancang, apakah posturnya masih seperti pemerintahan saat ini atau perlu perampingan. Dalam pemberitaan memang disebutkan ada beberapa pilihan pola itu. Namun kelanjutan wacana tersebut bukan tak mungkin menemui ketidaksetujuan di antara Jokowi dan JK.

Kabinet perlu perampingan atau tidak, semestinya perlu diukur dengan mempertimbangkan program dan gaya kepemimpinan keduanya. Wacana lain mengenai kabinet yang memunculkan silang pendapat internal Jokowi-JK adalah menteri di kabinet yang harus melepaskan diri dari jabatan di parpol.

Sekilas gagasan Jokowi tersebut baik karena selain menghindari tabrakan kepentingan antara jabatan di kabinet dan posisi di parpol juga diharapkan bisa menciptakan efisiensi kinerja. Persoalannya, andai perbedaan internal Jokowi-JK tidak dikelola dengan baik bisa mengganggu komunikasi keduanya dengan parpol pendukung yang belum sepenuhnya bersepakat.

Dalam ruang penantian pelantikan dan masa-masa awal kepemimpinan Jokowi-JK, silang pendapat yang mungkin muncul di ruang publik sebaiknya harus mereka minimalisasi atau kelola. Hal guna merawat optimisme publik bahwa Jokowi-JK duet kompak, saling melengkapi, dan tak saling salip. Selain itu, menghindari pembenaran yang selama ini banyak diungkap oleh beberapa kalangan mengenai gaya kepemimpinan JK yang saat menjadi wapres memiliki riwayat dinilai ìlebih menonjolî ketimbang presidennya.

Selain mengenai postur kabinet, Jokowi-JK memiliki tantangan terkait dengan komposisi partai pendukung. Ikatan antara PDIP, Partai Nasdem, PKB, dan Hanura yang total 207 kursi di DPR terlihat timpang dibanding koalisi Merah Putih, yang terdiri atas Gerindra, PKS, Golkar, PPP, PAN, Partai Demokrat, dengan 353 kursi. Ketimpangan jumlah kursi akan berdampak pada kekhawatiran munculnya kesulitan akselerasi proses-proses politik Jokowi-JK di parlemen. Untuk itu, kekuatan tambahan di parlemen penting baginya.

Mencermati ikatan bangunan koalisi Merah Putih yang berkesan lebih didasarkan pada kepentingan politik pragmatis bukan platform politik kuat, bukan tak mungkin Jokowi-JK bisa mengupayakan menarik beberapa parpol. Apalagi di antara parpol anggota koalisi Merah Putih meskipun sering diklaim solid sejauh ini masih terjadi perdebatan internal apakah berada di luar pemerintahan atau mendukung Jokowi-JK. Dengan kata lain, sebagian parpol koalisi Merah Putih masih belum menutup diri untuk merapat.

Meyakinkan Kalkulasi

Gerindra dan PKS, dua partai ini relatif solid dan nyaris tidak ada perdebatan internal bergabung di koalisi Merah Putih. Golkar, di internal mereka tampaknya belum sepenuhnya sepakat ke mana koalisi disorongkan. Dua kubu bersilang: merapat ke Jokowi-JK atau memilih di luar. PPP, sejak pilpres belum digelar pernah mengalami geger internal untuk menentukan ke mana arah koalisi. Bahkan terjadi saling pecat di antara kader. Sekarang, seruan mendukung Jokowi-JK belum sepi dilontarkan oleh sebagian kader.

Sikap politik yang tidak jauh berbeda juga terlihat pada Partai Demokrat. Sebagai ketua umum, Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyatakan kesediaannya membantu proses transisi pemerintahan. Dengan kata lain, hal seperti itu bisa dibaca bahwa Demokrat sebenarnya ada pintu niatan mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Tinggal bagaimana hal itu tidak menjadi upaya diam di antara mereka.

Adapun sikap PAN belum terang benar kendati sejauh ini tidak menaruh posisi kontra yang berlebihan pada Jokowi-JK. Bahkan jika merujuk pernyataan Jokowi bahwa kemungkinan akan ada dua partai yang bergabung, PAN disebutnya sebagai salah satu dari dua partai tersebut. Apalagi Hatta Rajasa dan Jokowi sudah bertemu di rumah Surya Paloh, baru-baru ini.

Persoalannya, apakah di antara parpol koalisi Merah Putih bersedia mengubah haluan tanpa sebuah kalkulasi kepentingan politik yang menguntungkan mereka? Apalagi jika sejak awal Jokowi menegaskan bahwa koalisi yang ia bangun adalah koalisi tanpa syarat. Jokowi perlu meyakinkan semua kalkulasi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar