Selasa, 02 September 2014

Jokowi Versus DPRD DKI

Jokowi Versus DPRD DKI

Refly Harun  ;   Pakar/Praktisi Hukum Tatanegara
DETIKNEWS, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Inilah ironi yang dialami seorang Jokowi: menjadi gubernur, apalagi gubernur DKI, tentu sulit, berdarah-darah, tetapi ketika mau mundur juga ternyata tidak mudah. Tidak hanya menjadi, berhenti pun dari jabatan publik ternyata (bakal) dipersoalkan. Inilah yang tersirat dari keinginan sebagian kekuatan dari DPRD DKI yang bermaksud menghadang pengunduran diri Jokowi sebagai Gubernur Jakarta.

Legitimasi ‘penghadang’ tersebut adalah Pasal 29 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Pasal itu berisi norma yang menyatakan bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah yang berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan terlebih dulu diputuskan dalam rapat paripurna DPRD. Kata “diputuskan” dinterpretasikan sebagai rezim izin.

Kepala daerah/wakil kepala daerah yang diberhentikan karena salah satu dari tiga sebab tersebut harus beroleh izin dari DPRD. Bila disetujui, pemberhentian dapat dilangsungkan. Kalau tidak, posisi akan menggantung. Wakil Gubernur Periode 2007-2012, Prijanto, yang hendak mundur di akhir-akhir masa tugas, digantung nasibnya oleh DPRD DKI. Pengunduran diri ditolak, padahal yang bersangkutan sudah tidak hendak bekerja lagi.

Perlindungan Kepala Daerah Bagaimana dengan Jokowi? Bagaimana bila permintaan mundur sebagai orang nomor satu di DKI ditolak? Bagaimana pula nasib pengambilan sumpahnya sebagai presiden terpilih yang tinggal berbilang hari?

Sebelum menjawab hal tersebut, saya ingin mengupas ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU Pemda yang menjadi pangkal sebab. Kendati dari sisi penormaan, meninggal dunia, mundur, dan diberhentikan berada pada keranjang yang sama, dari sisi kualitas tentu berbeda. Berhenti karena meninggal dunia tentu tidak bisa disamakan dengan berhenti karena mundur. Demikian pula, berhenti karena mundur pasti berbeda dengan berhenti karena diberhentikan.

Sangat tidak rasional bila berhenti karena meninggal dunia masih memerlukan proses perizinan dari DPRD. Siapa yang mau meminta izin berhenti bila sang kepala daerah sudah ke alam baka? Rezim izin mungkin bisa diterapkan terhadap yang berhenti karena permintaan sendiri seperti kasus Jokowi, tetapi jelas tidak rasional bila sebabnya diberhentikan. Tidak masuk akal kepala daerah minta izin untuk diberhentikan.

Oleh karena itu, saya berpendapat, ketentuan Pasal 29 ayat (3) tersebut bukan berada pada wilayah ‘rezim perizinan’. Ketentuan pasal tersebut tidak bisa dipandang dari perspektif kewenangan atau hak subyektif DPRD, melainkan harus dipandang dari perspektif kepala daerah itu sendiri. Pasal tersebut sesungguhnya berisi norma perlindungan bagi kepala daerah terhadap kemungkinan kesewenang-wenangan DPRD.

Karena berisi norma perlindungan, ketika kepala daerah meninggal dunia, sudah pasti tidak diperlukan lagi kata “ya” atau “tidak” dari DPRD. Demikian pula seharusnya ketika kepala daerah bermaksud mengundurkan diri, dengan alasan apa pun, para anggota DPRD tinggal memprosesnya sebagai pilihan yang harus dihormati.
Presiden Soeharto ketika mengundurkan diri sebagai Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 hanya menyatakannya ke publik dan tidak memerlukan izin dari MPR. Sebab, dari perspektif hukum, mundur dari jabatan adalah hak pejabat publik. Tentu saja kemunduran tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab hukum yang bersangkutan selama menjadi pejabat publik. Demikian pula penilaian subyektif publik soal nama baik tentu menjadi risiko yang bersangkutan – dalam kasus Jokowi perlu digarisbawahi ia mundur karena terpilih sebagai presiden, jabatan yang lebih tinggi dan prestisius yang dalam sejarah Republik ini hanya dijabat oleh enam orang: Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY.

Ketika kepala daerah hendak diberhentikan, pada saat itulah norma perlindungan tersebut bekerja. Norma perlindungan pertama adalah bahwa pemberhentian tersebut harus diputuskan dalam rapat paripurna. Norma selanjutnya, pemberhentian harus dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan. UU Pemda menyebut enam alasan bagi kepala daerah untuk diberhentikan, yaitu a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan; c. tidak lagi memenuhi syarat; d. dinyatakan melanggar sumpah/janji; e. tidak melaksanakan kewajiban; f. melanggar larangan.

UU Pemda bahkan mengatur norma perlindungan lebih jauh terhadap kepala daerah yang diberhentikan dengan tuduhan melanggar sumpah/janji dan tidak melaksanakan kewajiban. Untuk kedua sebab tersebut harus ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang membenarkan pendapat DPRD. Pendapat DPRD itu sendiri harus diambil dalam rapat yang dihadiri ¾ anggota DPRD dan keputusan didasarkan atas kata sepakat 2/3 dari yang hadir.

Penjelasan lanjut atas berhenti karena diberhentikan itulah yang terdapat dalam UU Pemda. Sama sekali tidak ada elaborasi atas berhenti karena meninggal dunia atau permintaan sendiri. Hal ini menegaskan bahwa pembentuk undang-undang tidak berimajinasi ada rezim perizinan dalam soal berhenti karena meninggal dunia atau permintaan sendiri.
                                               
Rangkap Jabatan

Soalnya adalah, rezim izin tersebut pernah digunakan untuk menolak pengunduran diri Wakil Gubernur Prijanto. Bukan tidak mungkin hal yang sama akan terjadi pula pada Jokowi. Katakanlah skenario terburuk itu terjadi, maka Jokowi akan menjabat sebagai Presiden RI dan sekaligus Gubernur DKI! Kalau ini terjadi, baru pertama terjadi dalam sejarah negeri ini, dan mungkin juga sejarah dunia, bahwa ada presiden sebagai kepala pemerintahan yang juga menjabat gubernur.

Mereka yang berimajinasi bila Jokowi ditolak mundur akan berimbas pada pengambilan sumpah sebagai Presiden, pasti akan kecewa. UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) sama sekali tidak mengatur larangan rangkap jabatan sebagaimana halnya bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD. Karena itu, sah-sah saja presiden merangkap jabatan lain bila kondisi mengharuskan.

Kepala daerah, termasuk gubernur, memang dilarang merangkap sebagai pejabat negara lainnya sebagaimana ternyata dalam Pasal 28 huruf g UU Pemda. Namun, larangan yang sama sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat untuk jabatan presiden. Jokowi tetap dapat mengangkat sumpah sebagai presiden, setelahnya barulah ia akan terhalang untuk menjabat gubernur juga karena UU Pemda melarang kepala daerah merangkap sebagai pejabat negara lainnya. Jadi, yang dikorbankan tetap jabatan gubernur, bukan jabatan presiden sebagaimana dibayangkan para penghalang Jokowi.

Pembentuk undang-undang pasti tidak pernah berpikir seorang presiden merangkap jabatan publik lainnya. Terlebih yang dirangkap adalah jabatan gubernur sekaligus, jabatan eksekutif yang pasti juga banyak menyita waktu bagi pemangkunya. Namun, dengan skenario ‘kegenitan’ sebagian anggota DPRD DKI, bisa jadi hal yang tidak terbayangkan itu terjadi.

Bersikap Positif

Lalu, untuk apa menolak undur diri Jokowi bila tetap saja ia melaju sebagai Presiden RI? Kepada sebagian anggota DPRD DKI, penting rasanya untuk bersikap rasional dan menjunjung etika bernegara. Seorang warga negara bernama Jokowi telah dipilih oleh mayoritas rakyat Indonesia sebagai Presiden ke-7. Pilihan tersebut telah diformalisasi melalui keputusan KPU. Ini adalah fakta demokrasi elektoral.

Keputusan KPU tersebut juga telah dikukuhkan oleh MK dengan menolak permohonan Prabowo-Hatta. Ini adalah fakta nomokrasi konstitusional. Harusnya kita semua menerima kedua fakta ini sebagai kebenaran yang tak terbantahkan. Hormatilah keputusan mayoritas rakyat Indonesia dengan tidak menjadi penghalang Jokowi menuju tangga istana.

Lebih baik kita menyimpan energi pertengkaran untuk mengawal pemerintahan Jokowi-JK untuk lima tahun ke depan. Dengan cara kita masing-masing, dengan posisi dan profesi kita masing-masing, kita kawal janji-janji kampanye Jokowi-JK. Kita tagih janji-janji tersebut sebagai sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Ini lebih bermanfaat bagai rakyat. Ini menjadikan kita lebih sportif dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar