Jokowi
Versus DPRD DKI
Refly Harun ;
Pakar/Praktisi Hukum
Tatanegara
|
DETIKNEWS,
01 September 2014
Inilah
ironi yang dialami seorang Jokowi: menjadi gubernur, apalagi gubernur DKI,
tentu sulit, berdarah-darah, tetapi ketika mau mundur juga ternyata tidak
mudah. Tidak hanya menjadi, berhenti pun dari jabatan publik ternyata (bakal)
dipersoalkan. Inilah yang tersirat dari keinginan sebagian kekuatan dari DPRD
DKI yang bermaksud menghadang pengunduran diri Jokowi sebagai Gubernur
Jakarta.
Legitimasi
‘penghadang’ tersebut adalah Pasal 29 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Pasal itu berisi norma yang menyatakan bahwa
kepala daerah/wakil kepala daerah yang berhenti karena meninggal dunia,
permintaan sendiri, atau diberhentikan terlebih dulu diputuskan dalam rapat
paripurna DPRD. Kata “diputuskan” dinterpretasikan sebagai rezim izin.
Kepala
daerah/wakil kepala daerah yang diberhentikan karena salah satu dari tiga
sebab tersebut harus beroleh izin dari DPRD. Bila disetujui, pemberhentian
dapat dilangsungkan. Kalau tidak, posisi akan menggantung. Wakil Gubernur
Periode 2007-2012, Prijanto, yang hendak mundur di akhir-akhir masa tugas,
digantung nasibnya oleh DPRD DKI. Pengunduran diri ditolak, padahal yang
bersangkutan sudah tidak hendak bekerja lagi.
Perlindungan
Kepala Daerah Bagaimana dengan Jokowi? Bagaimana bila permintaan mundur
sebagai orang nomor satu di DKI ditolak? Bagaimana pula nasib pengambilan
sumpahnya sebagai presiden terpilih yang tinggal berbilang hari?
Sebelum
menjawab hal tersebut, saya ingin mengupas ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU
Pemda yang menjadi pangkal sebab. Kendati dari sisi penormaan, meninggal
dunia, mundur, dan diberhentikan berada pada keranjang yang sama, dari sisi
kualitas tentu berbeda. Berhenti karena meninggal dunia tentu tidak bisa
disamakan dengan berhenti karena mundur. Demikian pula, berhenti karena
mundur pasti berbeda dengan berhenti karena diberhentikan.
Sangat
tidak rasional bila berhenti karena meninggal dunia masih memerlukan proses
perizinan dari DPRD. Siapa yang mau meminta izin berhenti bila sang kepala
daerah sudah ke alam baka? Rezim izin mungkin bisa diterapkan terhadap yang
berhenti karena permintaan sendiri seperti kasus Jokowi, tetapi jelas tidak
rasional bila sebabnya diberhentikan. Tidak masuk akal kepala daerah minta
izin untuk diberhentikan.
Oleh
karena itu, saya berpendapat, ketentuan Pasal 29 ayat (3) tersebut bukan
berada pada wilayah ‘rezim perizinan’. Ketentuan pasal tersebut tidak bisa
dipandang dari perspektif kewenangan atau hak subyektif DPRD, melainkan harus
dipandang dari perspektif kepala daerah itu sendiri. Pasal tersebut
sesungguhnya berisi norma perlindungan bagi kepala daerah terhadap
kemungkinan kesewenang-wenangan DPRD.
Karena
berisi norma perlindungan, ketika kepala daerah meninggal dunia, sudah pasti
tidak diperlukan lagi kata “ya” atau “tidak” dari DPRD. Demikian pula
seharusnya ketika kepala daerah bermaksud mengundurkan diri, dengan alasan
apa pun, para anggota DPRD tinggal memprosesnya sebagai pilihan yang harus
dihormati.
Presiden
Soeharto ketika mengundurkan diri sebagai Presiden pada tanggal 21 Mei 1998
hanya menyatakannya ke publik dan tidak memerlukan izin dari MPR. Sebab, dari
perspektif hukum, mundur dari jabatan adalah hak pejabat publik. Tentu saja
kemunduran tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab hukum yang
bersangkutan selama menjadi pejabat publik. Demikian pula penilaian subyektif
publik soal nama baik tentu menjadi risiko yang bersangkutan – dalam kasus
Jokowi perlu digarisbawahi ia mundur karena terpilih sebagai presiden,
jabatan yang lebih tinggi dan prestisius yang dalam sejarah Republik ini
hanya dijabat oleh enam orang: Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur,
Megawati, dan SBY.
Ketika
kepala daerah hendak diberhentikan, pada saat itulah norma perlindungan
tersebut bekerja. Norma perlindungan pertama adalah bahwa pemberhentian
tersebut harus diputuskan dalam rapat paripurna. Norma selanjutnya, pemberhentian
harus dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan. UU Pemda menyebut enam
alasan bagi kepala daerah untuk diberhentikan, yaitu a. berakhir masa
jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru; b. tidak dapat melaksanakan
tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut
selama 6 bulan; c. tidak lagi memenuhi syarat; d. dinyatakan melanggar
sumpah/janji; e. tidak melaksanakan kewajiban; f. melanggar larangan.
UU
Pemda bahkan mengatur norma perlindungan lebih jauh terhadap kepala daerah
yang diberhentikan dengan tuduhan melanggar sumpah/janji dan tidak
melaksanakan kewajiban. Untuk kedua sebab tersebut harus ada putusan Mahkamah
Agung (MA) yang membenarkan pendapat DPRD. Pendapat DPRD itu sendiri harus
diambil dalam rapat yang dihadiri ¾ anggota DPRD dan keputusan didasarkan
atas kata sepakat 2/3 dari yang hadir.
Penjelasan
lanjut atas berhenti karena diberhentikan itulah yang terdapat dalam UU
Pemda. Sama sekali tidak ada elaborasi atas berhenti karena meninggal dunia
atau permintaan sendiri. Hal ini menegaskan bahwa pembentuk undang-undang
tidak berimajinasi ada rezim perizinan dalam soal berhenti karena meninggal
dunia atau permintaan sendiri.
Rangkap Jabatan
Soalnya
adalah, rezim izin tersebut pernah digunakan untuk menolak pengunduran diri
Wakil Gubernur Prijanto. Bukan tidak mungkin hal yang sama akan terjadi pula
pada Jokowi. Katakanlah skenario terburuk itu terjadi, maka Jokowi akan
menjabat sebagai Presiden RI dan sekaligus Gubernur DKI! Kalau ini terjadi,
baru pertama terjadi dalam sejarah negeri ini, dan mungkin juga sejarah
dunia, bahwa ada presiden sebagai kepala pemerintahan yang juga menjabat
gubernur.
Mereka
yang berimajinasi bila Jokowi ditolak mundur akan berimbas pada pengambilan
sumpah sebagai Presiden, pasti akan kecewa. UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) sama sekali tidak mengatur
larangan rangkap jabatan sebagaimana halnya bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Karena itu, sah-sah saja presiden merangkap jabatan lain bila kondisi
mengharuskan.
Kepala
daerah, termasuk gubernur, memang dilarang merangkap sebagai pejabat negara
lainnya sebagaimana ternyata dalam Pasal 28 huruf g UU Pemda. Namun, larangan
yang sama sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat untuk jabatan presiden.
Jokowi tetap dapat mengangkat sumpah sebagai presiden, setelahnya barulah ia
akan terhalang untuk menjabat gubernur juga karena UU Pemda melarang kepala
daerah merangkap sebagai pejabat negara lainnya. Jadi, yang dikorbankan tetap
jabatan gubernur, bukan jabatan presiden sebagaimana dibayangkan para
penghalang Jokowi.
Pembentuk
undang-undang pasti tidak pernah berpikir seorang presiden merangkap jabatan
publik lainnya. Terlebih yang dirangkap adalah jabatan gubernur sekaligus,
jabatan eksekutif yang pasti juga banyak menyita waktu bagi pemangkunya.
Namun, dengan skenario ‘kegenitan’ sebagian anggota DPRD DKI, bisa jadi hal
yang tidak terbayangkan itu terjadi.
Bersikap Positif
Lalu,
untuk apa menolak undur diri Jokowi bila tetap saja ia melaju sebagai
Presiden RI? Kepada sebagian anggota DPRD DKI, penting rasanya untuk bersikap
rasional dan menjunjung etika bernegara. Seorang warga negara bernama Jokowi
telah dipilih oleh mayoritas rakyat Indonesia sebagai Presiden ke-7. Pilihan
tersebut telah diformalisasi melalui keputusan KPU. Ini adalah fakta
demokrasi elektoral.
Keputusan
KPU tersebut juga telah dikukuhkan oleh MK dengan menolak permohonan
Prabowo-Hatta. Ini adalah fakta nomokrasi konstitusional. Harusnya kita semua
menerima kedua fakta ini sebagai kebenaran yang tak terbantahkan. Hormatilah
keputusan mayoritas rakyat Indonesia dengan tidak menjadi penghalang Jokowi
menuju tangga istana.
Lebih
baik kita menyimpan energi pertengkaran untuk mengawal pemerintahan Jokowi-JK
untuk lima tahun ke depan. Dengan cara kita masing-masing, dengan posisi dan
profesi kita masing-masing, kita kawal janji-janji kampanye Jokowi-JK. Kita
tagih janji-janji tersebut sebagai sebuah kewajiban yang harus ditunaikan.
Ini lebih bermanfaat bagai rakyat. Ini menjadikan kita lebih sportif dan
bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar