Selasa, 02 September 2014

Haji dan Kapitalisasi Habitus Keberagamaan

Haji dan Kapitalisasi Habitus Keberagamaan

Zuly Qodir  Sosiolog dan Peneliti Senior Maarif Institute
KOMPAS, 02 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

”TIDAK ada lagi alasan bagi Kementerian Agama untuk menyelewengkan kuota haji karena Sistem Komputerisasi Haji Terpadu memiliki data  terpadu berdasarkan teknologi informasi”. (Busyro Muqoddas, ”Kompas”, 26/7/2014)

Selama ini para pejabat negara tanpa harus antre dapat berangkat ke Tanah Suci. Sementara, di sisi lain, ribuan anggota jemaah calon haji harus rela antre selama bertahun-tahun untuk menjalankan ibadah yang memerlukan biaya dan tenaga besar itu.

Ini sungguh sebuah fenomena keagamaan yang sarat kekuasaan dan kapital, yang di negeri Muslim terbesar di dunia ini dapat dikatakan senantiasa bermasalah. Inilah komodifikasi dan komersialisasi keberagamaan yang terus berlangsung di Indonesia setiap musim haji tiba.

Terhitung sejak 1 September 2014, jemaah calon haji Indonesia diberangkatkan dari sejumlah embarkasi, seperti Tangerang, Surabaya, dan Bandung. Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan jemaah calon haji, seperti periksa kesehatan terakhir, periksa kehamilan, dan kelengkapan bekal perjalanan haji.

Jika tidak lolos, ada kemungkinan mengalami penundaan keberangkatan. Inilah liku-liku jemaah haji Indonesia yang hendak menghadap Tuhannya. Agak berbeda dengan jemaah para pejabat birokrasi Indonesia, yang sering mendapatkan banyak kemudahan fasilitas.

Komodifikasi religiositas

Persoalan komodifikasi dan komersialisasi sering kali dekat, bahkan identik, dengan yang kita kenal ”pertarungan identitas kelas sosial”. Oleh karena itu, semua artikulasi perilaku keagamaan sebenarnya akan dapat dibaca dalam perspektif ”pertarungan identitas kelas” sosial dalam masyarakat kaum beragama. Hal yang juga menarik adalah persoalan komoditas yang mengarah pada masalah kekuatan ekonomi sebagai kapital dalam melakukan kapitalisasi beragamaan (prayer and economic power) seperti dikatakan Birgit Meyer (2004).

Kajian tentang pertarungan identitas kelas sosial telah demikian banyak dilakukan para sosiolog agama dan antropolog sosial, semacam Gayatri Spivak (2010) ataupun Arjun Apadurrai (2004). Bahwa, menurut mereka, sesungguhnya telah terjadi pertarungan kelas sosial terpinggirkan dan kelas sosial menengah yang jauh lebih mapan secara ekonomi, kekuasaan, dan kultural. Hal itu karena kelas-kelas sosial ini memiliki bekal-bekal yang memadai dalam menguasai wilayah yang dipertarungkan sebagai ranah publik.

Bahkan, dalam perkembangannya, yang kita kenal sebagai ranah publik atau ranah sosial sejatinya memang tidak pernah sepi dari pertarungan. Baik oleh kelompok keagamaan, kelompok etnis, kelompok aktivis jender, aktivis lingkungan, maupun kelompok kepentingan politik. Semua bertarung ”memperebutkan ruang publik sosial” untuk ditaklukkan menjadi bagian dari gagasan besar yang tengah diusung sekalipun harus melawan banyak tradisi yang telah mapan dalam masyarakat. Semua bertujuan saling menundukkan dengan strategi-strategi yang dikemas dalam bermacam aktivitas gerakan untuk memengaruhinya (Habermas, 2002).

Pertarungan tersebut menunjuk pada adanya pertarungan kelas dan identitas sebagai bagian dari globalisasi. Pertarungan identitas dan kelas merupakan salah satu problem globalisasi, dinyatakan oleh sebagian sosiolog agama, termasuk Jeremy Stolow (2010). Dikatakan bahwa globalisasi dunia lewat media yang demikian masif akan membawa masyarakat pada dunia yang  ”sekuler” sehingga akan terjadi pertarungan gagasan ideal normatif keagamaan berhadapan dengan gagasan kontekstualisasi keagamaan yang menjadi bagian dari kehidupan.

Akan tetapi, suatu hal yang juga harus diingat adalah kehadiran ”dunia sekuler” akan melahirkan yang dinamakan profesionalisasi dalam hal pemerintahan, politik, pekerjaan, kedisiplinan, serta hal-hal yang bersifat teknis yang lain menjadi berkembang. Semua itu memberikan gambaran bahwa sumber daya nalar manusia selalu mengimajinasikan hal yang baru (Stolow, 2010).

Religiositas habitus

Perkembangan media telekomunikasi, seperti internet, Twitter, dan Facebook, juga turut memberikan warna atas pertumbuhan Islam Indonesia yang semakin variatif. Kemunculan Islam selebritas, misalnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari kehadiran ber-Islam sebagai fashion, bukan sekadar beragama secara saleh, melainkan beragama sekaligus fashionable atas perkembangan dunia modeling yang sekarang tidak tertolakkan kehadirannya.

Saat ini banyak muslimah berusaha dapat tampil secara maksimal sesuai dengan fashion yang sedang berkembang (sedang populer), tetapi sekaligus hadir sebagai seorang muslimah yang ”tampak saleh” dalam berpakaian, berkerudung, berjilbab, dan berkendaraan. Inilah suatu model Islam fashionable yang sedang ditawarkan Muslim kelas menengah sebagai bagian dari Muslim gaya baru.

Kita dengan mudah mendapatkan berbagai macam agen biro perjalanan yang menawarkan ibadah haji dan umrah di kalangan kelas menengah Muslim perkotaan dan orang kaya baru yang hadir di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, Muslim kelas menengah perkotaan—karena telah mapan secara keuangan, sebagian belum berkeluarga—pun beramai-ramai menjalankan ibadah umrah yang biayanya tidak kurang dari Rp 25 juta dengan tawaran beragam fasilitas yang menyenangkan. Sebutlah seperti hotel bintang empat, perjalanan yang menyenangkan ke lokasi-lokasi (bersejarah) di Timur Tengah dan Eropa, sekaligus mendapatkan bimbingan dari seorang pemimpin rombongan yang populer.

Semua itu bukan sekadar persoalan ibadah dan bermunajat kepada Tuhan. Lebih dari itu, dalam perspektif sosiologi kontemporer dan sosiologi kritis adalah bagian dari ”pembentukan citra identitas” diri yang berlatar belakang sosial keagamaan.

Ibadah haji dan umrah yang sekarang demikian ramainya di Indonesia, jika diperiksa dalam perspektif sosiologi kritis, adalah bagian tak terpisahkan korelasi religiositas sebagai bagian dari ekspresi keimanan (faith expression) dan lembaga keimanan (faith institution) dengan ekonomi pasar yang selalu dekat dengan pengamalan keagamaan yang tidak dapat dilepaskan dari tradisi-tradisi keagamaan yang bersifat privat.

Jika sudah berhubungan dengan ekonomi pasar, pengalaman dan perjalanan keagamaan sesungguhnya telah hadir sebagai keagamaan yang bersifat publik yang rawan dengan komodifikasi (Pattana Kitiarsa, 2010). Hal yang sama juga dikerjakan para pengikut agama, seperti juga penganut Islam, secara tidak sadar ataupun secara sadar sebenarnya telah menjalankan yang disebut religious habitus yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari keimanan yang dimilikinya (A Mellor, 2010).

Perlu direspons

Fenomena lain yang sangat dekat dengan kita adalah kehadiran kelompok-kelompok jemaah pengajian ”para artis” dan ”ustaz selebritas” yang dikepung dengan iklan berbagai produk kecantikan dan kesehatan masyarakat. Beragam tawaran iklan produk kecantikan perempuan serta media kesehatan masyarakat ditawarkan di sela-sela pengajian yang dipandu artis atau aktor.

Seorang aktris atau aktor sekaligus pemakai produk fashion tertentu, yang selalu ditayangkan di awal acara pengajian, menjadi tontonan yang sering kali lebih disukai pemirsa ketimbang mengikuti pengajian-pengajian klasikal. Entah itu diselenggarakan Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama ataupun jemaah pengajian lain yang bersifat klasikal. Meski jemaah yang datang berjubel, daya pikatnya akan berbeda ketika dihadiri seorang aktor atau aktris sebagai pembawa acara atau pemberi materi pengajian.

Oleh karena itu, kondisi globalisasi yang menghadirkan banyak situasi perlu mendapatkan respons dari kalangan umat Islam. Baik dari kalangan akademisi, aktivis sosial, aktivis lembaga keagamaan (termasuk Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama), pengambil kebijakan,  aktivis lingkungan, pemilik media, organisasi perdagangan, bahkan aktivis gerakan sosial untuk mendefinisikan kembali berbagai aktivitas, kategori, dan posisi sehingga sesuai. Hal itu karena identifikasi model konservatif telah kehilangan daya sentuhnya terhadap masyarakat kontemporer (Tsing, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar