Jebakan
Suku Bunga Tinggi
FX Sugiyanto ;
Guru
Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)
Universitas
Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 17 September 2014
INDUSTRI
perbankan Indonesia pada saat ini berisiko terjebak situasi suku bunga tinggi
karena dua penyebab. Pertama; faktor eksternal karena tingkat inflasi yang
tinggi, dan kedua; faktor internal karena inefisiensi industri perbankan. Ada
beberapa parameter yang menunjukkan fenomena risiko keterjebakan itu.
Pertama;
masih tingginya BI rate dan belum bersedianya Bank Indonesia (BI)
menurunkannya. Saat ini BI rate masih berada pada tingkat 7,5% setelah
meningkat terus sejak Mei 2013 sebesar 5,75%. Kedua; tingkat bunga pinjaman
yang bertengger pada posisi masih sangat tinggi. Tingkat bunga pinjaman pada
bank umum saat ini berkisar 12,10%-13,5%, dan pada BPR lebih tinggi lagi.
Dibanding tingkat bunga pinjaman rata-rata di negara lain, di Indoneisa jauh
lebih tinggi. Di AS misalnya, tingkat bunga prime rate, sebagai indikator
suku bunga pinjaman, hanya 3,5%, Jepang 1,15%, dan Singapura 5,5%. Ketiga;
spread tingkat bunga relatif masih sangat tinggi. Bank-bank umum juga
menikmati spread yang cukup tinggi.
Dibanding
BI rate, spread itu rata-rata antara 5,0% dan 6,50%. Adapun dibanding bunga
deposito atau simpanan, spread itu rata-rata antara 5,0% dan 7,5%. Dari
faktor ekternal, pemicu tinggginya suku bunga perbankan adalah tingginya BI
rate. Di satu sisi, sebagai acuan industri perbankan, meningkatnya BI rate
menyebabkan makin mahalnya biaya penghimpunan dana dan mendorong naiknya suku
bunga pinjaman.
Di
sisi lain, karena BI rate merupakan instrumen jangkar untuk mengendalikan
kurs rupiah sekaligus inflasi maka selama BI menyakini penurunan nilai rupiah
dan peningkatan inflasi masih akan terjadi, selama itu pula BI rate masih
dipertahankan pada kondisi tinggi. Saat ini nilai tukar rupiah sekitar Rp
11.- 700, sedikit menguat dibanding awal Agustus lalu. Posisi ini sedikit di
bawah kurs paritas rupiah jangka panjang sekitar Rp 11.950 per dolar AS.
Sementara tingkat inflasi (y.o.y) 3,99%, atau lebih rendah dari target
inflasi 2014 sebesar 4,5%-5,5%. Dibanding kurs paritas tingkat bunga, yang
lebih menggambarkan keseimbangan kurs jangka pendek, angka itu pada Rp 10.653
per dolar AS. Sampai kapan BI mempertahankan situasi ini? Posisi Rupiah
Apabila mempertimbangkan indikator moneter, baik domestik maupun luar negeri,
semestinya BI sudah harus menurunkan BI rate.
Dari
sisi domestik, laju inflasi sampai Agustus 3,99%. Dengan inflasi sebesar itu,
posisi rupiah jangka panjang sekitar Rp 11.560. Jika inflasi bisa
dipertahankan pada tingkat di bawah 4% seharusnya BI berani menurunkan BI
rate tanpa khawatir rupiah akan jauh melemah. Hal itu mengingat saat ini posisi
rupiah sudah lebih rendah dari paritas jangka panjangnya.
Pada
saat ini, para pemegang aset finansial jangka pendek menikmati premi di atas
normal. Dari faktor luar negeri, inflasi di AS diperkirakan masih pada
tingkat 2% walau ada kecenderungan permintaan aggregate di negara itu meningkat mengingat saat ini sedang
terjadi pemulihan perekonomian. Pada kuartal II, GDP AS tumbuh 4,2% dengan
demikian ada ruang yang cukup bagi BI untuk menurunkan BI rate.
Dari
faktor internal, tingginya tingkat bunga pinjaman dan spread juga merupakan indikator masih tingginya inefisiensi industri
perbankan. Spread merupakan gabungan
dari banyak faktor biaya intermediasi seperti perkiraan inflasi, risiko kredit,
dan risiko lainnya, serta laba perusahaan, beban kerugian masa lalu, dan berbagai
macam biaya intermediasi.
Dibanding
industri perbankan di AS dengan spread
rata-rata hanya 3,0%, Indonesia terhitung masih sangat tinggi. Karena itu,
dengan melakukan berbagai efisiensi, risiko spread tersebut mestinya masih bisa diturunkan mengingat spread yang tinggi menyebabkan tingkat
bunga pinjaman menjadi sangat tinggi.
Turunkan Suku Bunga
Saat
ini BI sangat berhati-hati, dan lebih memilih mempertahankan bunga tinggi. Kebijakan
ini bisa dipandang sebagai upaya mengantisipasi kemungkinan kenaikan harga
BBM yang akibatnya dipastikan memicu inflasi. Berdasarkan analisis dampak kenaikan
harga BBM selama ini, dampak dari kenaikan harga itu akan terasakan sampai
4-6 bulan kemudian.
Padahal
kapan keputusan menaikkan harga BBM belum bisa dipastikan. Dalam
ketidakpastian itu akan lebih baikbila BI menempuh pelonggaran moneter dengan
menurunkan BI rate. Jika tidak, jebakan bunga tinggi justru sangat merugikan
perekonomian. Penurunan BI rate setidak-tidaknya mengurangi dampak negatif
atau memperkecil opportunity cost
yang terjadi. Tingginya suku bunga menghambat pertumbuhan kredit investasi
dan modal kerja.
Hasil
pengujian secara ekonometik yang penulis lakukan menunjukkan tingkat bunga
pinjaman merupakan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan kredit
investasi dan modal kerja. Artinya, perkembangan aktivitas sektor riil akan terhambat
jika tingkat bunga tetap dipertahankan pada level tinggi seperti saat ini.
Membiarkan
suku bunga tetap tinggi, sama halnya dengan menghilangkan kesempatan memacu
perkembangan investasi atau aktivitas sektor riil. Lebih baik mendorong
pertumbuhan sektor riil dengan melonggarkan sektor moneter ketimbang
membiarkan ketidakpastian dan berjaga-jaga dengan suku bunga tinggi. Jebakan
suku bunga tinggi seharusnya dihindari supaya terhindar dari jebakan yang
lebih dalam lagi sewaktu pemerintah nanti menaikkan harga BBM. Bank Indonesia
sudah seharusnya mengambil sikap dengan menurunkan BI rate, dan bila nanti
situasi mengharuskan untuk kembali menaikkan, itu pun bukan hal “haram”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar