Jumat, 19 September 2014

Jebakan Suku Bunga Tinggi

Jebakan Suku Bunga Tinggi

FX Sugiyanto  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)
Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

INDUSTRI perbankan Indonesia pada saat ini berisiko terjebak situasi suku bunga tinggi karena dua penyebab. Pertama; faktor eksternal karena tingkat inflasi yang tinggi, dan kedua; faktor internal karena inefisiensi industri perbankan. Ada beberapa parameter yang menunjukkan fenomena risiko keterjebakan itu.

Pertama; masih tingginya BI rate dan belum bersedianya Bank Indonesia (BI) menurunkannya. Saat ini BI rate masih berada pada tingkat 7,5% setelah meningkat terus sejak Mei 2013 sebesar 5,75%. Kedua; tingkat bunga pinjaman yang bertengger pada posisi masih sangat tinggi. Tingkat bunga pinjaman pada bank umum saat ini berkisar 12,10%-13,5%, dan pada BPR lebih tinggi lagi. Dibanding tingkat bunga pinjaman rata-rata di negara lain, di Indoneisa jauh lebih tinggi. Di AS misalnya, tingkat bunga prime rate, sebagai indikator suku bunga pinjaman, hanya 3,5%, Jepang 1,15%, dan Singapura 5,5%. Ketiga; spread tingkat bunga relatif masih sangat tinggi. Bank-bank umum juga menikmati spread yang cukup tinggi.

Dibanding BI rate, spread itu rata-rata antara 5,0% dan 6,50%. Adapun dibanding bunga deposito atau simpanan, spread itu rata-rata antara 5,0% dan 7,5%. Dari faktor ekternal, pemicu tinggginya suku bunga perbankan adalah tingginya BI rate. Di satu sisi, sebagai acuan industri perbankan, meningkatnya BI rate menyebabkan makin mahalnya biaya penghimpunan dana dan mendorong naiknya suku bunga pinjaman.

Di sisi lain, karena BI rate merupakan instrumen jangkar untuk mengendalikan kurs rupiah sekaligus inflasi maka selama BI menyakini penurunan nilai rupiah dan peningkatan inflasi masih akan terjadi, selama itu pula BI rate masih dipertahankan pada kondisi tinggi. Saat ini nilai tukar rupiah sekitar Rp 11.- 700, sedikit menguat dibanding awal Agustus lalu. Posisi ini sedikit di bawah kurs paritas rupiah jangka panjang sekitar Rp 11.950 per dolar AS. Sementara tingkat inflasi (y.o.y) 3,99%, atau lebih rendah dari target inflasi 2014 sebesar 4,5%-5,5%. Dibanding kurs paritas tingkat bunga, yang lebih menggambarkan keseimbangan kurs jangka pendek, angka itu pada Rp 10.653 per dolar AS. Sampai kapan BI mempertahankan situasi ini? Posisi Rupiah Apabila mempertimbangkan indikator moneter, baik domestik maupun luar negeri, semestinya BI sudah harus menurunkan BI rate.

Dari sisi domestik, laju inflasi sampai Agustus 3,99%. Dengan inflasi sebesar itu, posisi rupiah jangka panjang sekitar Rp 11.560. Jika inflasi bisa dipertahankan pada tingkat di bawah 4% seharusnya BI berani menurunkan BI rate tanpa khawatir rupiah akan jauh melemah. Hal itu mengingat saat ini posisi rupiah sudah lebih rendah dari paritas jangka panjangnya.

Pada saat ini, para pemegang aset finansial jangka pendek menikmati premi di atas normal. Dari faktor luar negeri, inflasi di AS diperkirakan masih pada tingkat 2% walau ada kecenderungan permintaan aggregate di negara itu meningkat mengingat saat ini sedang terjadi pemulihan perekonomian. Pada kuartal II, GDP AS tumbuh 4,2% dengan demikian ada ruang yang cukup bagi BI untuk menurunkan BI rate.

Dari faktor internal, tingginya tingkat bunga pinjaman dan spread juga merupakan indikator masih tingginya inefisiensi industri perbankan. Spread merupakan gabungan dari banyak faktor biaya intermediasi seperti perkiraan inflasi, risiko kredit, dan risiko lainnya, serta laba perusahaan, beban kerugian masa lalu, dan berbagai macam biaya intermediasi.

Dibanding industri perbankan di AS dengan spread rata-rata hanya 3,0%, Indonesia terhitung masih sangat tinggi. Karena itu, dengan melakukan berbagai efisiensi, risiko spread tersebut mestinya masih bisa diturunkan mengingat spread yang tinggi menyebabkan tingkat bunga pinjaman menjadi sangat tinggi.

Turunkan Suku Bunga

Saat ini BI sangat berhati-hati, dan lebih memilih mempertahankan bunga tinggi. Kebijakan ini bisa dipandang sebagai upaya mengantisipasi kemungkinan kenaikan harga BBM yang akibatnya dipastikan memicu inflasi. Berdasarkan analisis dampak kenaikan harga BBM selama ini, dampak dari kenaikan harga itu akan terasakan sampai 4-6 bulan kemudian.

Padahal kapan keputusan menaikkan harga BBM belum bisa dipastikan. Dalam ketidakpastian itu akan lebih baikbila BI menempuh pelonggaran moneter dengan menurunkan BI rate. Jika tidak, jebakan bunga tinggi justru sangat merugikan perekonomian. Penurunan BI rate setidak-tidaknya mengurangi dampak negatif atau memperkecil opportunity cost yang terjadi. Tingginya suku bunga menghambat pertumbuhan kredit investasi dan modal kerja.

Hasil pengujian secara ekonometik yang penulis lakukan menunjukkan tingkat bunga pinjaman merupakan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan kredit investasi dan modal kerja. Artinya, perkembangan aktivitas sektor riil akan terhambat jika tingkat bunga tetap dipertahankan pada level tinggi seperti saat ini.

Membiarkan suku bunga tetap tinggi, sama halnya dengan menghilangkan kesempatan memacu perkembangan investasi atau aktivitas sektor riil. Lebih baik mendorong pertumbuhan sektor riil dengan melonggarkan sektor moneter ketimbang membiarkan ketidakpastian dan berjaga-jaga dengan suku bunga tinggi. Jebakan suku bunga tinggi seharusnya dihindari supaya terhindar dari jebakan yang lebih dalam lagi sewaktu pemerintah nanti menaikkan harga BBM. Bank Indonesia sudah seharusnya mengambil sikap dengan menurunkan BI rate, dan bila nanti situasi mengharuskan untuk kembali menaikkan, itu pun bukan hal “haram”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar