Kiat
RS Sambut MEA
Syahrial Faza ;
Staf
Humas Rumah Sakit Islam (RSI) Sultan Agung Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 17 September 2014
Indonesia
segera memasuki ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang berarti memfasilitasi
perpindahan secara bebas barang, modal, dan jasa/tenaga kerja berkait era
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA, ASEAN Economic Community) 2015. Terbentuknya
komunitas itu merupakan kesepakatan 10 negara anggota ASEAN untuk mendukung
kawasan bebas perdagangan.
Kesepakatan
itu juga dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional dan
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. Indonesia yang memiliki kurang
lebih dua per lima dari total penduduk ASEAN menjadi pasar potensial
pertukaran barang, modal, dan jasa, termasuk jasa pelayanan rumah sakit (RS).
Situs berita nasional memberitakan, ada lima jaringan rumah sakit
internasional yang siap ”menginvasi” Indonesia, yaitu Mount Elizabeth
Hospital, Raffles Hospital Singapura, Kumpulan Perubatan Johor Medica
Indonesia, RS Mitra International, dan MMC Malaysia. Sebagai penyelenggaraan
pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan, rumah sakit di Indonesia, harus
bertahan. Bagaimana andai tidak siap berkompetisi dengan rumah sakit asing?
Itulah
sebabnya mulai saat ini, rumah sakit di Indonesia, termasuk di Jateng, perlu
menyiapkan strategi supaya bisa bertahan, bahkan tetap unggul dalam
pelayanan, Ada beberapa strategi untuk mendukung keterwujudan itu. Pertama;
rumah sakit harus mengintegrasikan pelayanan kesehatan terkait aspek
biologis, psikologis, kultural, dan spiritual, dan semata-mata demi
kesembuhan pasien. Orang Indonesia (khususnya yang beragama Islam) memercayai
sakit bukan musibah melainkan sunnatullah dan takdir Allah. Sakit dianggap
ujian untuk mendapatkan kasih sayang luar biasa dari-Nya. Dengan demikian,
mereka lebih nyaman memilih rumah sakit yang memiliki nuansa pelayanan yang
tidak hanya kesehatan fisik tapi ada unsur pendukung, seperti jaminan
kesehatan jasmani dan rohani saat perawatan. Kedua; menerapkan strategi
pemasaran dengan menggandeng komunitas yang saat ini banyak bermunculan.
Berkait
kesehatan, ada Persatuan Diabetes Indonesia, Klub Jantung Sehat, kelompok car
free day. Di luar kesehatan, ada komunitas Indonesia Mengajar, Tangan di Atas
(TDA), Bike to Work, dan sebagainya. Kerja sama itu bersifat take and give.
Rumah sakit bisa memberikan produk atau jasa khusus dengan keuntungan
tertentu untuk komunitas. Rumah sakit bisa mengadakan sebuah kegiatan yang
khusus mendukung nilai-nilai komunitas tersebut. Imbalannya, rumah sakit
mendapatkan partisipasi maksimal dari anggota komunitas itu. Respek dan
Empati Salah satu ciri MEA adalah kebebasan seseorang (termasuk pasien)
mendapatkan informasi dan pengetahuan.
Bahkan
masyarakat bisa menyatukan suara dan tindakan untuk melawan perlakuan yang
tak mengenakkan tatkala mendapat perawatan. Brkaca pada kasus Prita
Mulyasari, ke depan rumah sakit harus lebih inklusif dan horisontal dalam
berhubungan dengan pasien. Caranya?
Manajemen
rumah sakit lewat pelatihan customer service excellent bagi petugas front line harus menumbuhkan rasa
respek dan empati kepada pasien. Respek merupakan penghargaan pasien karena
pada dasarnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Respek merupakan
prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk
dihargai. Adapun empati adalah kemampuan untuk mendengar atau mengerti lebih
dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh pihak lain.
Dengan
lebih dulu mendengarkan dan memahami orang lain, kita bisa membangun
keterbukaan dan kepercayaan yang diperlukan guna membangun kerja sama dengan
orang lain. Rumah sakit di Indonesia, termasuk di Jateng harus optimistis
menyambut MEA 2015. Tak perlu gentar ”berkompetisi” dengan rumah sakit asing.
Justru perlu menjadikan kehadiran komunitas baru itu sebagai pelecut untuk
berlomba-lomba memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat yang membutuhkan
pelayanan kesehatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar