Jadi
Rektor Itu Mudah
L Tri Setyawanta R ; Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 01 September 2014
JADI rektor itu mudah.
Pernyataan saya itu pasti akan distigma berkonotasi sinis dan dianggap tidak
realistis memandang kontestasi jabatan rektor. Andai menjadi rektor itu
mudah, mengapa ”dipersulit” dengan kemungkinan terjadi kericuhan dalam proses
dan hasil pemilihan? Dari perspektif politis, untuk menjadi pemimpin level
apa pun memang dikodratkan dikompetisikan.
Secara demokratis atau
cara lain, kompetisi itu hanyalah sarana untuk dapat meraihnya dan sejarah
mencatatnya. Rektor adalah pemimpin di perguruan tinggi dan bukanlah jabatan
politis seperti pemimpin pemerintahan. Rektor juga bukanlah jabatan karier,
meskipun rekam jejak yang baik dan bersih dapat menjadi kunci keberhasilan
sebagai pemimpin, di samping aspek lain.
Jabatan rektor
hanyalah tugas tambahan seorang dosen, yang mempunyai tugas pokok melaksanakan
Tri Darma Perguruan Tinggi. Meski bukan jabatan politis, untuk bisa menduduki
kursi rektor mau tidak mau harus melalui mekanisme politis, yaitu penggunaan
hak dipilih dan memilih. Pemilihan rektor, khususnya di PTN, mendasarkan
Permendikbud Nomor 33 Tahun 2012.
Kewajiban PTN
se-Indonesia adalah membuat aturan implementasi secara internal berupa
peraturan rektor. Hak untuk dipilih sebagai rektor diwujudkan dalam daftar
persyaratan untuk bisa diangkat sebagai pimpinan PTN. Secara limitatif, tiap
dosen tetap PTN yang memenuhi persyaratan tersebut punya hak untuk dipilih,
asal mengisi dan mengembalikan formulir kesediaan jadi calon rektor, beserta
kelengkapannya.
Dua langkah di depan,
yaitu menjadi calon rektor dan kemudian menjadi rektor ditentukan oleh mereka
yang punya hak memilih, yaitu senat dan wakil dari Kemendikbud. Pada
dasarnya, hak memilih dengan sistem perwakilan lebih sederhana ketimbang
pemilihan langsung oleh civitas academika.
Dengan sistem
perwakilan, siapa pun peserta kompetisi yang bisa merebut simpati dan empati
anggota senat dan wakil kementerian yang jumlahnya tidak perlu dihitung
dengan kalkulator, bisa dengan mudah melengang menjadi rektor. Memang banyak
varian dari kemunculan simpati dan empati itu, tapi biasanya lebih sederhana dari
proses politik di luar kampus. Kesederhanaan itu terlihat dari kriteria saat
hak untuk memilih itu digunakan. Mungkin hanya karena kenal baik atau karena
memang dikenal, apalagi bila sebelumnya diminta mendukung.
Artinya yang dipilih
memang acceptable di lingkungan para pemilihnya karena dipandang punya
kapabilitas mengelola organisasi dan sederet kelebihan lain. Tak ada istilah
ìmenghalalkan cara-cara yang tidak halalî dalam merebut simpati dan empati
untuk mendapatkan suara. Apalagi sampai menerapkan politik uang dan politik
transaksional. Semua masih berjalan secara alamiah sebagai komunitas ilmiah
sehingga statemen ”menjadi rektor itu mudah” bukanlah sesuatu yang sinistis
melainkan justru realistis.
Mekanisme Politik
Realitas yang selama
ini terjadi di lingkungan elite kampus mana pun bisa saja membalikkan asumsi
tersebut. Politik praktis secara tersamar dan semu ternyata telah memasuki
dunia kampus. Tiap suksesi kepemimpinan di kampus, sudah jamak menjadi ajang
pertarungan antarkekuatan politik semu dengan kepentingan masing-masing.
Padahal, kenyataannya
tak ada partai politik di kampus. Disadari atau tidak, komunitas ilmiah di
kampus terjebak dalam mekanisme politik yang berlaku secara umum. Mereka
seakanakan sejenak melupakan takdir sebagai komunitas ilmiah, demi berpolitik
sesuai aturan. Rapat tertutup dari masing-masing kelompok jadi prioritas
utama yang menyita energi, pikiran, waktu, dan dana.
Eksistensi king maker selalu jadi titik sentral
sebagai yang dituakan. Sekaligus mengomandoi suatu kelompok tertentu untuk
bisa tampil sebagai pimpinan dan pengendali perguruan tinggi. Trik-trik
politik setengah vulgar, bak politikus ulung digunakan untuk mendekati para
senator demi mendulang suara. Politik tingkat langit yang tidak terbayangkan
mekanismenya pun terpaksa dijalani untuk mendapatkan suara dari kementerian.
Pada dasarnya
pertarungan politik di kampus untuk menduduki posisi puncak, lebih cenderung
hanya antardua kekuatan yang punya riwayat sejarah dan berakar sebelumnya.
Kemunculan kekuatan baru tidak akan pernah bisa menembus dan menebus kisah
sukses atau pahit dari masing-masing kekuatan. Pendatang baru hanya sebagai
pelengkap penderita formal dari aturan politik pemilihan yang bisa berubah
sesuai kebutuhan.
Itulah kenapa masa
pemilihan rektor sering kali jadi sepi dari animo pendaftar. Kalaupun ada
pendaftar baru hanya karena memang masih ada ”idealis lugu atau nekat tanpa
mau tahu-menahu”. Sifatnya tidak lebih hanya sebagai orang yang tidak tahu
dan dia tidak tahu bahwa dirinya itu tidak tahu, sehingga berpura-pura
menjadi tahu. Andai itu yang terjadi, pandangan yang sinis terhadap statemen
”menjadi rektor itu mudah” akan mendapatkan justifikasinya. Ternyata untuk
menjadi rektor itu tidak semudah yang dibayangkan.
Mereka yang terlibat
sekaligus harus terjun mempraktikkan politik praktis, sebagai personal best practice. Rektor
terpilih pun belum tentu menjadi the
right man in the right place and time, tetapi justru bisa menjadi the wrong man in the right place and time
hanya karena kehidupan di kampus must
go on seperti budayanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar