Selasa, 02 September 2014

Jadi Rektor Itu Mudah

Jadi Rektor Itu Mudah

L Tri Setyawanta R  Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

JADI rektor itu mudah. Pernyataan saya itu pasti akan distigma berkonotasi sinis dan dianggap tidak realistis memandang kontestasi jabatan rektor. Andai menjadi rektor itu mudah, mengapa ”dipersulit” dengan kemungkinan terjadi kericuhan dalam proses dan hasil pemilihan? Dari perspektif politis, untuk menjadi pemimpin level apa pun memang dikodratkan dikompetisikan.

Secara demokratis atau cara lain, kompetisi itu hanyalah sarana untuk dapat meraihnya dan sejarah mencatatnya. Rektor adalah pemimpin di perguruan tinggi dan bukanlah jabatan politis seperti pemimpin pemerintahan. Rektor juga bukanlah jabatan karier, meskipun rekam jejak yang baik dan bersih dapat menjadi kunci keberhasilan sebagai pemimpin, di samping aspek lain.

Jabatan rektor hanyalah tugas tambahan seorang dosen, yang mempunyai tugas pokok melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi. Meski bukan jabatan politis, untuk bisa menduduki kursi rektor mau tidak mau harus melalui mekanisme politis, yaitu penggunaan hak dipilih dan memilih. Pemilihan rektor, khususnya di PTN, mendasarkan Permendikbud Nomor 33 Tahun 2012.

Kewajiban PTN se-Indonesia adalah membuat aturan implementasi secara internal berupa peraturan rektor. Hak untuk dipilih sebagai rektor diwujudkan dalam daftar persyaratan untuk bisa diangkat sebagai pimpinan PTN. Secara limitatif, tiap dosen tetap PTN yang memenuhi persyaratan tersebut punya hak untuk dipilih, asal mengisi dan mengembalikan formulir kesediaan jadi calon rektor, beserta kelengkapannya.

Dua langkah di depan, yaitu menjadi calon rektor dan kemudian menjadi rektor ditentukan oleh mereka yang punya hak memilih, yaitu senat dan wakil dari Kemendikbud. Pada dasarnya, hak memilih dengan sistem perwakilan lebih sederhana ketimbang pemilihan langsung oleh civitas academika.

Dengan sistem perwakilan, siapa pun peserta kompetisi yang bisa merebut simpati dan empati anggota senat dan wakil kementerian yang jumlahnya tidak perlu dihitung dengan kalkulator, bisa dengan mudah melengang menjadi rektor. Memang banyak varian dari kemunculan simpati dan empati itu, tapi biasanya lebih sederhana dari proses politik di luar kampus. Kesederhanaan itu terlihat dari kriteria saat hak untuk memilih itu digunakan. Mungkin hanya karena kenal baik atau karena memang dikenal, apalagi bila sebelumnya diminta mendukung.

Artinya yang dipilih memang acceptable di lingkungan para pemilihnya karena dipandang punya kapabilitas mengelola organisasi dan sederet kelebihan lain. Tak ada istilah ìmenghalalkan cara-cara yang tidak halalî dalam merebut simpati dan empati untuk mendapatkan suara. Apalagi sampai menerapkan politik uang dan politik transaksional. Semua masih berjalan secara alamiah sebagai komunitas ilmiah sehingga statemen ”menjadi rektor itu mudah” bukanlah sesuatu yang sinistis melainkan justru realistis.

Mekanisme Politik

Realitas yang selama ini terjadi di lingkungan elite kampus mana pun bisa saja membalikkan asumsi tersebut. Politik praktis secara tersamar dan semu ternyata telah memasuki dunia kampus. Tiap suksesi kepemimpinan di kampus, sudah jamak menjadi ajang pertarungan antarkekuatan politik semu dengan kepentingan masing-masing.

Padahal, kenyataannya tak ada partai politik di kampus. Disadari atau tidak, komunitas ilmiah di kampus terjebak dalam mekanisme politik yang berlaku secara umum. Mereka seakanakan sejenak melupakan takdir sebagai komunitas ilmiah, demi berpolitik sesuai aturan. Rapat tertutup dari masing-masing kelompok jadi prioritas utama yang menyita energi, pikiran, waktu, dan dana.

Eksistensi king maker selalu jadi titik sentral sebagai yang dituakan. Sekaligus mengomandoi suatu kelompok tertentu untuk bisa tampil sebagai pimpinan dan pengendali perguruan tinggi. Trik-trik politik setengah vulgar, bak politikus ulung digunakan untuk mendekati para senator demi mendulang suara. Politik tingkat langit yang tidak terbayangkan mekanismenya pun terpaksa dijalani untuk mendapatkan suara dari kementerian.

Pada dasarnya pertarungan politik di kampus untuk menduduki posisi puncak, lebih cenderung hanya antardua kekuatan yang punya riwayat sejarah dan berakar sebelumnya. Kemunculan kekuatan baru tidak akan pernah bisa menembus dan menebus kisah sukses atau pahit dari masing-masing kekuatan. Pendatang baru hanya sebagai pelengkap penderita formal dari aturan politik pemilihan yang bisa berubah sesuai kebutuhan.

Itulah kenapa masa pemilihan rektor sering kali jadi sepi dari animo pendaftar. Kalaupun ada pendaftar baru hanya karena memang masih ada ”idealis lugu atau nekat tanpa mau tahu-menahu”. Sifatnya tidak lebih hanya sebagai orang yang tidak tahu dan dia tidak tahu bahwa dirinya itu tidak tahu, sehingga berpura-pura menjadi tahu. Andai itu yang terjadi, pandangan yang sinis terhadap statemen ”menjadi rektor itu mudah” akan mendapatkan justifikasinya. Ternyata untuk menjadi rektor itu tidak semudah yang dibayangkan.

Mereka yang terlibat sekaligus harus terjun mempraktikkan politik praktis, sebagai personal best practice. Rektor terpilih pun belum tentu menjadi the right man in the right place and time, tetapi justru bisa menjadi the wrong man in the right place and time hanya karena kehidupan di kampus must go on seperti budayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar