Hidupkan
Kekayaan Maritim
YB Haryono ; Pengelola Balai Budaya di
Rejosari Kabupaten Kudus
|
SUARA
MERDEKA, 01 September 2014
Bagi pencinta sejarah
maritim, ada baiknya melongok (bekas) Benteng Portugis di pinggir pantai
Donorojo, Jepara. Memang tak ada bangunan kokoh, menara pengawas, meriam
besar atau galangan kapal. Pun tak ada kisah petualangan laut heroik seperti
wiracarita La Galigo di Bugis atau Hikayat Hang Tuah di Melayu. Bukankah
kesusastraan Jawa jarang mengangkat pujian petualangan laut?
Namun berdiri di bekas
benteng itu, bisa menghidupkan imaji kejayaan maritim Nusantara. Kini di atas
bukit itu, tinggal reruntuhan tembok berbentuk persegi empat. Di tengah ada
lahan kosong dengan beberapa pohon peneduh. Di utara terdapat bangunan kusam
dan beberapa replika meriam. Penamaan Portugis sendiri menarik perhatian.
Seorang tokoh lokal
meyakini benteng itu peninggalan bangsa Portugis. Benteng dibangun untuk
menjamin keamanan perdagangan dari saingan dan mengawasi perompak yang kerap
melintasi. Andai benar, itu berarti ada persinggungan perdagangan, budaya,
ataupun militer Nusantara dengan Portugis di Jawa. Sumber lain mengaitkan
keberadaan benteng dengan Raja Mataram yang menyerang Belanda tahun 1628 dan
1629.
Merasa terusik berkait
jatuhnya kota Jayakarta ke tangan Belanda, Sultan Agung mempersiapkan
angkatan perang. Menyadari Belanda bisa dikalahkan lewat serangan darat dan
laut secara bersamaan, sementara Mataram tidak memiliki armada laut kuat, ia
meminta bantuan pihak yang berseteru dengan VOC, yaitu Portugis. Namun
peneliti seperti Denys Lombard lebih berhati-hati.
Dalam buku Nusa Jawa,
dia mengatakan, di Jawa muncul kenangan akan bangsa Portugis. Kemunculannya
dalam bentuk historiografi rakyat; meriam tua atau reruntuhan benteng yang
menurut tradisi setempat berasal dari zaman Portugis kendati sebenarnya dari
zaman Belanda.
Inilah gema dari
historiografi kolonial yang membesar-besarkan wiracarita Portugis. Siapa pun
pembangunnya, benteng 45 km di timur laut kota Jepara secara geografis
strategis untuk kepentingan militer. Bila pada masanya tembakan meriamnya
mencapai 2-3 km, selat di depan benteng berada di bawah kendali meriam
benteng sehingga berpengaruh pada pelayaran kapal dari Jepara ke Indonesia
bagian timur atau sebaliknya.
Keharuman Jepara
Bangsa kita pun
sebenarnya punya wiracarita. Jepara memiliki nama harum dalam dunia maritim.
Sebagaimana dikatakan Denys Lombard bahwa Portugis pun mengakui armada
istimewa buatan Jawa. Bangsa penakluk lautan itu mengakui kapal buatan Jepara
itu merupakan yang terbesar yang mereka kenal. Mereka mengetahui kapal hebat
Jawa itu karena pada Januari 1513 Pati Unus dari Jepara mengirim pasukan ke
Malaka. Konon ada 100 kapal, 40 jung, dan 60 lancara, paling kecil berbobot
200 ton.
Pati Unus dikatakan
memerlukan waktu 5 tahun untuk membangunnya di galangan-galangan di pesisir.
Waktu itu kehebatan kapal-kapal Jawa dilukiskan, ìKapal itu merupakan kapal
tempur amat besar dengan papan berpelapisan di semua sisi yang terbentuk dari
papan 7 lapis direkat satu sama lain dengan turap beraspal, bagaikan benteng
tebal. Pati Unus mengandalkannya sebagai benteng apung sesungguhnya (en modo de fortaleza) guna memblokir
daerah sekeliling Malaka.”
Sesudah perang, Kapten
Ferenao Peres de Andrade yang harus bertahan dari penyerbuan Pati Unus
menyurati Albuquerque. Dia mengisahkan jung besar itu mengangkut kira-kira
1.000 pejuang dan, ”peluru meriam kita yang paling besar pun tidak berhasil
menerobos badan kapal itu,” tulisnya. Dari reruntuhan Benteng Portugis kita
diingatkan kejayaan bangsa ini. Bangsa lain mengagumi Indonesia lantaran
kehebatan teknologi perkapalan kita.
Bangsa lain datang ke
Nusantara lantaran kekayaan dan keunikan kita. Kalau bangsa kita merindu
wiracarita kehebatan bangsa, kita perlu makin banyak menggali. Kita bisa
menemukan kisah kepahlawanan, penemuan mengagumkan yang membuat bangga.
Kekayaan tak hanya datang dari bangsa lain tapi dari negeri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar