Horor
Pendidikan Tinggi
Teuku Kemal Fasya ;
Antropolog dan Pendidik;
Anggota Asosiasi Antropologi
Indonesia
|
KOMPAS,
24 September 2014
KASUS bunuh diri mahasiswa kedokteran Universitas
Syiah Kuala, Banda Aceh (Serambi Indonesia, 24/8/2014) membuka mata kita
bahwa pengelolaan pendidikan tinggi masih bermasalah. Kasus serupa terjadi di
Kendal, Jawa Tengah: mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan bunuh diri
karena skripsi tidak kunjung selesai (Kompas.com, 14/4/2014).
Kasus di atas, meskipun ada banyak motif lain
yang bisa dianalisis terkait pilihan bunuh diri, adalah akumulasi dua hal:
tingginya biaya pendidikan dan tekanan saat menempuh pendidikan.
Problem komersialisasi pendidikan bukan hanya
milik perguruan tinggi swasta, melainkan juga perguruan tinggi negeri.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang
menyederhanakan satuan pembiayaan kuliah, disebut uang kuliah tunggal (UKT),
ternyata bukan jawaban tuntas.
Istilah UKT digunakan untuk pembiayaan kompleks
dengan sistem yang dikatakan subsidi silang. Masyarakat mampu menyubsidi yang
tidak mampu dengan membayar lebih mahal dan sebaliknya ada yang tidak mampu.
Betulkah begitu praktiknya?
Komersialisasi
Beberapa waktu lalu saya mengajar di prodi
kedokteran untuk mata kuliah Komunikasi Lintas Budaya dan Etnik. Saya iseng
mengecek, berapa banyak siswa di kelas tersebut yang membayar uang kuliah
termurah (Rp 500.000). Hanya seorang yang tunjuk tangan.
Untuk level kedua termurah (Rp 1 juta) kurang
dari lima. Demikian pula untuk UKT Rp 5 juta. Yang terbanyak membayar pada
level tinggi (Rp 8 juta) dan tertinggi (Rp 12,5 juta). Dengan biaya kuliah
yang hampir setara program doktoral, keriangan apa lagi yang diharapkan oleh
mahasiswa-mahasiswa itu?
Mahalnya biaya pendidikan tinggi membuat
mahasiswa kurang waktu untuk mengembangkan karakter dan pendewasaan
intelektual di luar kampus. Tujuan kuliah akhirnya menjadi sangat
miopis-pragmatis-teknokratis. Lulus.
Masalah lain adalah hilangnya karakter
pengajaran dan tradisi pedagogi. Pedagogi bukan saja penting bagi pendidikan
dasar dan menengah, melainkan juga pendidikan tinggi. Pedagogi menautkan
hubungan dosen dan mahasiswa, tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga di luar
kelas. Sistem pedagogi yang baik akan menjadi perjumpaan yang memperkaya
intelektualisme dan psikologi sivitas akademika.
Faktanya, hubungan dosen dan mahasiswa kerap
feodalistis dan militeristis. Dosen menjadi sosok ”pembunuh” (the killer),
merasa serba tahu, sedangkan mahasiswa adalah prajurit tamtama yang siap
menjadi kelinci percobaan.
Masa pembimbingan, seminar, dan ujian skripsi
termasuk momentum paling horor bagi mahasiswa. Tak jarang dosen berkata
kasar. Mahasiswa tidak boleh berpandangan berbeda.
Saya mencurigai dua hal. Pertama, sang dosen
memang kurang memiliki keterampilan pedagogi sehingga iklim untuk berdialog
dan membangun kebebasan akademik tidak terjadi. Kedua, ia memang tidak hidup
dalam dinamika keilmuan yang terus berkembang.
Gabungan kedua hal itu, komersialisasi dan
arogansi pendidik, melahirkan iklim dunia pendidikan tinggi yang buruk,
horor, dan jauh dari kata bahagia.
Khitah
yang hilang
Pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi mencabut UU
No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). BHP dianggap memancing
komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi. Pencabutan itu memang
merontokkan peraturan organik lainnya sehingga akhirnya pemerintah
menghadirkan UU pengganti (UU No 12/2012).
Namun, praktiknya, UU hanya jadi rumah bambu
normatif. Residu komersialisasi masih saja terjadi dengan nama baru, seperti
Badan Layanan Umum (BLU) dengan dalih otonomi perguruan tinggi. Bahkan,
mekanisme penerimaan mahasiswa baru pun berlogika komersialisasi.
Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN), misalnya, yang seharusnya menjadi proses paling ”proletar”
pun tidak terjadi. Hanya ada kuota 20 persen untuk biaya pendidikan termurah
bagi mahasiswa miskin berprestasi. Kuota dengan ”tarif atas” sebesar 60
persen hanya bisa ditanggung oleh kelas elite ekonomi atau berutang. Ini
belum lagi seleksi lain, seperti Seleksi Mahasiswa Baru Jalur Mandiri (SMBJM)
yang memang sangat ”borjuistis” dan tak jarang memerangkap kalangan ekonomi
menengah (ke bawah).
Cita-cita UU pendidikan tinggi yang
mensyaratkan aspek keterjangkauan, pemerataan, dan keadilan hanya legenda.
Khitah itu hanya menjadi catatan normatif, pelan-pelan hilang terbawa angin.
Mendidik adalah proses kultural yang hanya akan
berhasil jika memiliki kelengkapan pedagogi yang mencerahkan, emansipatif,
dan penuh harapan. Etika pendidikan yang afektif dan simpatik terhadap setiap
insan sivitas akademika harus dijadikan prinsip.
Masalahnya, problem pendidikan tinggi ini tidak
bisa diselesaikan dengan instan. Perbaikannya jelas memerlukan waktu dan
kerja saksama. Maka, yang layak menjadi menteri pendidikan tinggi, riset, dan
teknologi ke depan tetap seorang pendidik.
Ia harus bisa mempersiapkan kurikulum yang
lebih sederhana dan aplikatif bagi seluruh guru se-Nusantara. Kata Bertrand
Russel, filsuf Inggris, the pedagogical discoveries involved have required
genius, but the teachers who are to apply them do not require genius.
Pencerdasan peserta didik sangat tergantung
pada iklim pendidikan yang dibangun. Karena itu, investasi yang penting bukan
hanya untuk infrastruktur, melainkan juga pengembangan sumber daya dosen dan
insentif kepada mahasiswa dalam bentuk beasiswa dan biaya kuliah terjangkau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar