Senin, 15 September 2014

Hikayat Polisi

Hikayat Polisi

Riki Dhamparan Putra  ;   Menulis puisi, artikel budaya dan sastra; Beberapa tulisan pernah tersiar di beberapa surat kabar; Kini tinggal di Jakarta
KOMPAS, 14 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

POLISI jadi sasaran kritik masyarakat sudah terjadi  sejak awal kemunculannya pada zaman Hindia Belanda. Karena kritik-kritik itu pula, pemerintah kolonial beberapa kali melakukan reformasi lembaga kepolisian. Namun, upaya yang sungguh-sungguh untuk menciptakan polisi yang profesional tampaknya tidak dilakukan oleh pemerintah. Berbeda dengan dalam dunia sastra. Itulah yang bisa kita lihat dari roman Hikajat Kadiroen (1920), yang dikarang oleh salah seorang organisator dan pemikir modern Indonesia, Semaoen.
Seorang Mantri Polisi telah berbeda pikiran dengan atasannya, Tuan Asisten Wedono dari onderdistrik Semongan, dalam kasus kecurian ayam yang menimpa Tuan Zoetsuiker, administratur pabrik gula Semongan. Kejadiannya berlangsung pada 6 Februari 19.... Demikian penanggalannya, seperti tertulis pada bab satu roman Hikajat Kadiroen. Pada saat Tuan Administratur itu hendak meninggalkan kediaman Asisten Wedono, datang pula Soeket, warga miskin dari Desa Wonokoyo yang kehilangan kerbau pada hari yang sama.

Karena kisah ini terjadi akhir abad ke-19 (CE), tentu Soeket tak ditanggapi oleh Asisten Wedono yang sedang menumpahkan perhatiannya pada musibah Tuan Administratur. Anak buahnya, Mantri Polisi yang masih muda, mulai memprotes kejanggalan itu. Apabila Asisten Wedono memeriksa kasus tersebut berdasarkan  keterangan Nyonya Administratur, Mantri Polisi justru menduga ayam itu kemungkinan dimakan garangan (musang). Mantri Polisi muda tak yakin ayam itu dicuri karena hanya seekor yang hilang. Lagi pula, mana ada pencuri berani masuk halaman belakang rumah Tuan Administratur yang punya penjaga dan banyak pelayan pula di situ.

Argumen Mantri Polisi tampaknya kurang menyenangkan Nyonya Administratur. Khawatir Nyonya Administratur lebih kesal lagi, Asisten Wedono buru-buru minta maaf atas tanggapan anak buahnya. Ketika mereka kembali ke kediaman Asisten Wedono, di situ masih menunggu Soeket yang hendak mengadukan perihal kerbaunya yang hilang dicuri orang. Bahkan Soeket mendapat suara malam-malam agar ia memberikan tebusan seharga f 2,25 untuk menebus kerbaunya. Namun, pengaduannya itu tidak ditanggapi Asisten Wedono. Mantri Polisi yang iba hatinya kepada Soeket lalu memberikan uang kepada Soeket dan tanpa diketahui atasannya ia bekerja mengintai pencuri kerbau Soeket.

Akan halnya Asisten Wedono, demi menjaga reputasinya di depan Tuan Administratur, lalu sengaja menyewa dua mata-mata seharga f 2,25 agar mau membuat keterangan palsu. Mereka kemudian menangkap seseorang yang bernama Soekoer dan dipaksa untuk mengaku bahwa ia telah mencuri ayam peliharaan Nyonya Administratur.

Cerita ini, secara teknis dan gaya bahasa, tampaknya tidak menggunakan standar Volkslectuur.  Mungkin karena dibuat dengan tujuan propaganda untuk menggambarkan keburukan aparatur kolonial di Hindia Belanda. Bahasa Melayu yang digunakan lebih dekat pada  bahasa Melayu pasaran. Gaya bahasa, alur, tokoh, dan cara menjalin peristiwa demi peristiwa cenderung membosankan. Beberapa hal tampaknya juga terlalu diada-adakan. Gambaran kenyataan yang menonjol pada seluruh cerita adalah kenyataan yang bersifat propagandis dan ideologis sehingga kadang-kadang abai pada realitas yang sebenarnya berlaku pada masa akhir-akhir kekuasaan kolonial Belanda awal abad ke-20 itu.  Seperti dalam cerita itu pengarang beropini soal polisi desa yang mudah menyiksa dan membunuh warga dengan mencari-cari kesalahan. Padahal kalau berdasarkan hasil kajian-kajian akademis perihal situasi akhir abad ke-19 (CE) di Hindia Belanda, keadaan itu seperti tidak ada. Bahkan dalam undang-undang perpolisian Pemerintah Hindia Belanda, desapolitie (gardu ronda, polisi desa) sama sekali tidak punya wewenang memenjarakan, kecuali delapan kali pukulan rotan.

Peran Asisten Wedono dan mantri polisinya hanyalah sebagai pembantu inspektur polisi. Peran seperti ini antara lain diungkapkan dalam studi Marieke Bloombergen mengenai polisi Hindia Belanda. Memang ada indikasi represi pada masa itu. Namun seperti dikatakan Benedict Richard O’Gorman Anderson dalam Kosmopolitanisme Kolonial, itu tidak berakhir dengan eksekusi dan jarang sekali terjadi penyiksaan. Justru pada akhir abad ke-19 ini, Pemerintah Hindia Belanda berupaya merombak struktur organisasi kepolisiannya agar menjadi lebih modern, dengan harapan itu akan meningkatkan kepercayaan rakyat pada pemerintah kolonial.

Namun, lemahnya unsur gaya bahasa dalam Hikajat Kadiroen tidak mengurangi segi visioner yang dibangun lewat tokoh utamanya, yakni Kadiroen, si mantri polisi. Figur ini, sebagai tampak dari sejak awal cerita, pada hakikatnya merupakan eksperimen untuk menciptakan polisi yang modern di Tanah Hindia Belanda. Suatu hal yang dalam realitas waktu itu gagal dilakukan pemerintah kolonial. Patut dipertimbangkan, setting cerita Hikajat Kadiroen adalah masa-masa reformasi kepolisian sedang diupayakan Pemerintah Hindia-Belanda sejak 1897. Walaupun secara formal, menurut Marieke Bloombergen, modernisasi struktur kelembagaan kepolisian itu baru dilaksanakan pada tahun 1910.

Istimewa

Keistimewaan Hikajat Kadiroen adalah mencoba membangun harapan baru yang menggambarkan kelayakan dan kemampuan seorang bumiputra untuk menjadi figur polisi yang sesuai reformasi kepolisian masa itu. Figur yang dimaksud adalah yang bisa bekerja dengan standar-standar kepolisian modern, yang melakukan penyelidikan secara benar, tidak ambil muka, tidak korup, seperti yang dilakukan Kadiroen pada bab satu roman karangan pentolan kalangan Marxis-Leninis Indonesia ini. Itu dapat dipandang sebagai sebuah ”proposal” untuk polisi yang modern, yang berasal dari kalangan bumiputra. Pada waktu itu tentulah, Kadiroen merupakan antitesa bagi sistem perekrutan Belanda yang hanya memercayakan jabatan inspektur kepada polisi berkebangsaan asli Belanda.

Adanya tendensi rasial dalam kebijakan pemerintah kolonial itu ditantang oleh Hikajat Kadiroen dengan modernisme itu sendiri, yakni sikap rasional dan profesional. Sebaliknya, petugas hasil didikan Pemerintah Belanda justru tampak kebodohan-kebodohan dan keburukannya. Seperti tergambar dalam sosok asisten wedana Semongan. Dengan cara demikian, roman ini mengidentifikasi bagian-bagian yang rusak dari tubuh kemasyarakatan itu akibat dari proses kolonialisme. Dan Kadiroen sejak awal sudah dipersiapkan sebagai penggantinya.

Pengarang sendiri tampaknya tidak menyembunyikan maksud itu. Sebagaimana sejak permulaan cerita, Kadiroen telah dipromosikan sebagai sosok yang langka. ”...amat jarang terjadi di tanah Jawa. Dari sekitar 10.000 orang, hanya ada satu...” Sementara pada alinea sebelumnya telah dikatakan bahwa seorang asisten wedana membawahkan onderdistrik yang didiami oleh 10.000 orang. Jadi prinsipnya, pada tiap onderdistrik, hanya ada satu kemungkinan figur ideal seperti Kadiroen. Dengan kata lain pula, pengarang tampaknya melihat masa akhir abad ke-19 sebagai masa tanpa SDM di Hindia Belanda. Hal yang menurut hemat kita mengingkari kenyataan, karena faktanya, SDM terbaik bangsa Indonesia muncul dari dekade akhir abad ke-19 (CE) itu.

Mungkin pengingkaran semacam ini memang wajar terjadi sebagai risiko tak disadari dalam karya-karya bernuansa propaganda ideologis. Sebagaimana Kadiroen kemudian terkesan hanya menjadi boneka untuk mengantar hikayat ini ke hikayat yang menjadi tujuan utamanya. Yakni hikayat PK (Partai Komunis) Hindia Belanda dengan Semaoen adalah tokoh utama dan pendirinya. Itu terlihat pada bagian-bagian akhir yang isinya ternyata lebih banyak memuat pidato tokoh-tokoh PK dan propaganda PK sebagai satu-satunya sarana perjuangan yang paling merakyat.

Selanjutnya, dalam bab ”Sukar Memilih”,  Kadiroen yang telah makin naik posisi mulai diberi azab lewat keragu-raguannya antara memilih pada pergerakan PK atau mempertahankan jabatan dan kepercayaan pemerintah berkuasa. Jadi bagian ini sebenarnya membatalkan karakter tegas Kadiroen yang telah diciptakan pengarang sendiri pada bagian awal cerita. Mengecewakan memang bagi pembaca, terutama karena ada inkonsistensi antara karakter awal dan karakter yang muncul di bagian belakang cerita itu. Dan itu terjadi karena munculnya sebuah ”perwakilan rakjat” bernama PK. Yang antara depan dan belakangnya ternyata beda. Untunglah kisah ini hanya hikayat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar