Mengapa
Bukan Saya…
Bre Redana ;
Kolumnis
“Catatan Minggu” Kompas
|
KOMPAS,
14 September 2014
Rasanya
hal terpenting yang disampaikan oleh Pak Jakob Oetama, pemimpin Kompas Gramedia,
ketika menerima gelar Doktor Kehormatan alias Doktor Honoris Causa dari
Universitas Sebelas Maret di Jakarta beberapa waktu lalu adalah pertanyaan:
mengapa saya?
Itulah
yang kemudian dijawab Mendikbud M Nuh. Dengan segar, menteri yang berlatar pendidikan
sains ini mencontohkan rumus matematika, untuk sampai ke kesimpulan mengenai
bukti kepantasan tersebut.
Masih
dengan agak kocak, ia menyebut Pak Jakob sebagai ”guru”. Ia jelaskan
pengertian guru secara etimologis. ”Gu
itu artinya kegelapan. The darkness of ignorance. Saya tidak
mau menggunakan istilah kebodohan.
Dalam kegelapan itu ada ru yang
berarti light, sebuah cahaya yang
memberi penerangan,” begitu kurang lebih ucapan M Nuh.
Ketika
menyebut media massa sebagai dunia yang digeluti oleh Pak Jakob, ia juga
menafsirkan pengertian massa dalam ranah sains. Di tengah pengertian massa
seperti itu, ia sempat menyebut media sebagai semacam endocrine.
Meski
seperti main-main, dengan itu sebetulnya telah ditunjukkan pengertian media
yang kompleks, berhubungan dengan kesadaran (conscious mind) manusia. Endocrine
adalah zat yang berhubungan dengan kegiatan hormonal dalam tubuh manusia.
Melalui kegiatan hormonal ini, tubuh (body)
dan otak (mind) terlibat secara
terus-menerus dalam suatu interaksi yang melahirkan kesadaran.
Studi
neuroscience menjelaskan,
implementasi otak berupa pikiran bisa menyebabkan situasi emosi yang
implementasinya lewat tubuh. Sebaliknya, tubuh pun bisa mengubah lanskap
otak, yang artinya juga mengubah substansi pikiran. Keadaan otak, yang
berhubungan dengan situasi mental, berpengaruh pada tubuh. Situasi tubuh
terpetakan kembali oleh otak, yang lalu menghasilkan situasi mental. Begitu
interaksi tubuh dan otak berlangsung secara terus-menerus, seperti tari
tango.
Perubahan
sedikit saja pada otak bisa memengaruhi tubuh (dalam hal ini bayangkan,
lepasnya hormon tertentu karena panah asmara misalnya, menyebabkan jantung
berdebar-debar). Atau sebaliknya, perubahan kecil pada tubuh, taruhlah gigi
Anda lepas, akan berpengaruh besar pada otak, begitu otak menerima dan
memetakannya sebagai rasa sakit luar biasa.
Interaksi
antara tubuh dan otak terjadi lewat perantara kelenjar-kelenjar tertentu,
seperti endocrine, yang di dalamnya mengandung organisme yang lebih kompleks
lagi. Sederhananya, zat-zat perantara itu bisa disebut sebagai media.
Tafsir
media semacam ini sungguh tidak main-main. Bahkan di dalam tubuh manusia
sendiri, yang oleh sebagian sistem kepercayaan diyakini sebagai bagian dari
dunia (istilahnya dunia kecil, mikrokosmos), media itulah yang menentukan
segala-galanya. Dari situ, orang yang berkesadaran, eling, merasa selalu perlu untuk menjaga baik pikiran maupun
tingkah laku.
Dalam
bahasa Pak Jakob yang sangat diakrabi oleh seluruh anak buahnya adalah kesanggupan dan kemampuan untuk berterima
kasih dan bersyukur.
”Praci dina,” begitu Pak Jakob
mengutip bahasa Jawa, yang artinya tiada hari tanpa syukur dan terima kasih.
Ia melanjutkan, dalam hidup kita tidak ada kata kebetulan, tetapi selalu
dalam penyelenggaraan Ilahi (Providentia dei).
Menjaga
tingkah laku, menjaga kesantunan, atau secara lebih luas kontrol atas tubuh,
adalah bagian dari menjaga otak dan pikiran. Selalu ada pergulatan antara
kontrol versus pengumbaran nafsu tubuh, seperti disimbolkan dengan sangat
bagus dalam jagat pewayangan lewat keberadaan Pandawa versus Kurawa.
Pengumbaran
nafsu tubuh ini dalam masyarakat kontemporer memanifestasi dalam bentuk apa
saja, dari konsumsi berlebihan, bermewah-mewah kelewat batas, sampai ke
hasrat atas kekuasaan yang membabi buta dan tak tahu malu.
Bagi
kalangan ini, pertanyaannya bukan mengapa saya, melainkan mengapa bukan
saya.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar