Senin, 15 September 2014

Rumah Berdebu

Rumah Berdebu

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 14 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

BERJUTA kali saya mengatakan saya ingin berbahagia, dan berjuta kali saya mengucapkan saya adalah manusia yang berbahagia. Namun dua minggu lalu, baru saya sadari bahwa perkataan itu keluar mengalir tanpa dasar yang kuat. Karena itulah ucapan itu menguap dengan mudahnya, dan kemudian diikuti dengan timbulnya babak tidak bahagia.

Bahagia itu wajib!

Kejadian itu terus berlangsung sampai sebelum seorang teman menghampiri saya dan memberi bogem mentah dengan ucapannya yang sama sekali tidak ditujukan untuk menasihati saya, tetapi merupakan bagian dari percakapan kami. ”Kalau aku nih, bahagia itu adalah sebuah kewajiban, bukan pilihan.”

Menurutnya, wajib itu mengandung keharusan yang bukan dipaksakan, tetapi dikerjakan dengan penuh kesadaran, bukan dengan penuh kebahagiaan. Karena kebahagiaan itu baru akan dicapai. Jadi mustahil menggunakan sebuah dasar yang belum tercapai.

Mendengar itu saya langsung berpikir, mungkin mengapa cita-cita saya ingin bahagia itu mudah menguap, karena saya mendasarinya dengan hal yang masih sebagai tujuan. Belum sepenuhnya ada di genggaman.

”Wajib adalah alat untuk mencapai kebahagiaan, bukan kebahagiaan alat untuk memenuhi kewajiban. Ngerti kan maksud aku,” katanya bertanya. Tentu saya tak mengerti. Saya itu paling bingung kalau disuruh mengartikan kalimat yang dibolak-balik. ”Wajib itu tidak memberi kita peluang untuk memilih,” demikian ia melanjutkan ceritanya.

”Kalau bahagia itu adalah sebuah pilihan, maka pilihan itu akan memberi banyak opsi, kebanyakan opsi memberi banyak kebingungan, dan banyaknya kebingungan pada akhirnya bisa jadi memberi kesempatan untuk tidak memilih, atau memilih dengan keliru. La wong bingung kok,” jelasnya.

Kemudian saya berusaha keras siang itu untuk mengerti. Dengan perut yang penuh sesak dengan menu makan siang yang terdiri dari urap, bakwan jagung, rujak cingur dan sayur asam, plus pengaruh IQ yang jongkok, maka saya berusaha untuk tidak bingung dan berusaha mengerti dengan berpikir seperti ini. Semoga saya tidak keliru.

Bahagia itu sebuah keadaan yang saya percayai ingin dimiliki oleh setiap orang. Sejujurnya, saya memang belum pernah mendengar ada manusia di dunia ini yang kalau ditanya apakah Anda mau bahagia, akan memberi jawaban, ”Enggak mau. Sengsara itu cool, bro.”
Nah, saya berpikir kalau saya ingin bahagia, yaa...saya wajib mengerjakan dan mengejar tujuan itu, bukan? Katakan kalau bahagia itu sebuah pilihan, maka saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya akan memilih untuk tidak bahagia?

BBS

Saya pribadi, saya ingin sekali bahagia. Jadi buat saya, yang awalnya sebuah pilihan, berakhir dengan kewajiban yang saya harus lakukan, agar yang saya pilih itu bisa saya dapati. Yaa...apa gunanya, kalau saya sudah memilih untuk bahagia, saya tidak mencapai yang saya inginkan itu, bukan?

Teman saya di atas hanya bercerita saja, dan ceritanya itu sama sekali membuat saya terkesima dan bingung, sehingga saya lupa menanyakan bagaimana caranya supaya kewajiban itu dapat dilaksanakan.

Maka saya mencari tahu dengan cara saya sendiri. Anda sudah membaca cerita saya dua minggu lalu tentang penyakit yang datang bertubi-tubi menimpa saya, bukan? Maka saya mulai bersyukur atas penyakit saya.

Saya katakan pada diri saya sendiri semacam afirmasi, bahwa sakit itu tidak enak dan menyebalkan, tetapi itu sebuah pengalaman dan saya ingin menikmati pengalaman itu. Kalau saya mendapat sopir taksi yang tak tahu jalan, saya mencoba mengatakan pada diri saya sendiri, yaaa...mungkin hari ini adalah hari pertamanya menjadi sopir.

Tetapi afirmasi-afirmasi di atas tidak berhasil membuat saya berbahagia. Beberapa minggu kemudian, teman saya itu menelepon mengajak untuk bertemu. Dalam pertemuan sore itu, saya juga tak ingat untuk menanyakan bagaimana caranya agar bisa menjalankan kewajiban, dan tiba pada tujuan menjadi bahagia.

Setelah mengobrol sekian jam, ia berkata begini. ”Elo tu kan suka sakit-sakitan ya, suka bantingin barang-barang kalau lagi emosi. Coba deh, elo belajar memaafkan. Memaafkan diri elo dan mereka yang menyakiti elo. Karena bahagia itu sebuah kewajiban, yang hanya bisa berhasil kalau dijalankan dengan hati yang bersih.”

”Memaafkan itu sebuah aktivitas yang harus dipelihara, karena elo akan bertemu orang baru yang bisa jadi akan menyakiti elo lagi. Jadi kayak bersihin rumah. Mesti rutin dilakukan. Karena bahagia itu tak akan pernah datang dari rumah yang penuh debu.”

”Kalau yang berdebu itu menjadi dasar, kamu enggak akan pernah sampai ke tujuan. Eh salah. Bisa nyampe juga sih. Tapi gak bakal bertahan lama, dan elo akan membanting barang lagi dan sakit hati lagi. Jadi hidup elo akan terengah-engah. BBS gitu,. Bahagia, banting, sakit, bahagia, banting, sakit.”

”Jadi ingat, yang dipelihara itu bukan debu, yang dipelihara itu kewajiban. Oke,?” Untuk kedua kalinya saya kena bogem mentah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar