Kamis, 04 September 2014

Etika Kebersamaan dalam Keberagaman

Etika Kebersamaan dalam Keberagaman

Thomas Koten  ;   Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 03 September 2014
                                      
                                                      

Setiap kali lahir pemimpin baru, bersamaan dengan itu pula tersembul harapan-harapan baru. Harapannya tidak lain adalah perubahan menuju kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan hukum. Realitas menunjukkan, harapan publik setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 ini begitu tinggi.

Harapan-harapan tersebut kini digantungkan di pundak pasangan pemimpin terpilih yakni Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Dari sekian harapan itu, salah satu harapan kita adalah tetap lestarinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan semakin harmonisnya hidup dalam kebersamaan sebagai bangsa dan negara multikultural di bawah kepemimpinan baru.

Karena Indonesia yang tercatat dalam “Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia” (terbitan Ditjen Kebudayaan Depdikbud, 1945), memiliki sekitar 450-500 etnis suku bangsa yang menempati sekitar 17.000 pulau, tantangan ke depan yang dihadapi Indonesia bersama pemimpinnya tidaklah ringan.

Tantangan yang tidak ringan ini sejak awal kemerdekaan RI pun sudah disadari para pendiri republik. Jadi, pada 1951 para pendiri menciptakan rangkaian kata Bhinneka Tunggal Ika dan diletakkan di bawah kaki burung Garuda, lambang negara Indonesia.

Masyarakat Terbelah

 Maksud para pendiri republik dengan merangkaikan kata Bhinneka Tunggal Ika, lalu diletakkan di bawah kaki burung Garuda, tidak lain untuk menjelaskan kepada seluruh warga bangsa akan realitas diri Indonesia yang secara niscaya, merupakan negara bangsa yang multietnik dan/atau multikultural.

Oleh karena itu, apa pun alasannya, multikultural atau keberagaman itu harus diterima, dirawat, dan dilestarikan agar tidak menjadi momok yang dapat merusak kebersamaan. Namun, untuk membangun dan mengembangkan masyarakat yang multikultural ini jelas tidak mudah. Tidak pelak selalu melahirkan komplikasi sosial yang rumit, yang sedikit banyak menciptakan peluang tercabik-cabiknya kebinekaan.

Realitas menunjukkan, semangat kebersamaan dalam keberagaman yang selalu dibanggakan itu ternyata sangat rawan oleh konflik kepentingan antaragama, antaretnis, dan antarbudaya. Jadi, dalam kebersamaan itu masih terus menyimpan noda yang dapat merusak keberagaman. Kemudian, yang terpotret adalah wajah bangsa yang selama ini kerap dibanggakan sebagai bangsa yang sopan, ramah, murah senyum, ternyata masih mudah terprovokasi dan terkesan sangat emosional.

Fenomena riil masyarakat yang kadang-kadang mudah terprovokasi itulah yang kemudian mencuatkan kegelisahan tentang lahirnya konflik yang bisa terjadi pada pilpres belum lama ini, jika kondisi politik tidak bisa dikendalikan. Lihat bagaimana kampanye hitam yang begitu mengganas pada Pilpres 2014.

Panggung politik telah menjelma menjadi semacam arena bagi para “gladiator” politik untuk bertarung, lengkap dengan para penggembiranya. Misalnya, terlihat “perang komentar” antarpendukung capres-cawapres di media sosial yang saling menjatuhkan. Tanpa beban, para pengguna media sosial partisan melontarkan komentar apa saja demi katarsis politik.

Itulah yang kemudian membuat wajah politik masyarakat Indonesia pascapilpres dapat digambarkan sebagai masyarakat terbelah yang dapat menjurus pada tercabiknya-cabiknya kebinekaan. Untunglah sengketa pilpres yang dilakukan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hata Rajasa di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berkepanjangan.

Namun persoalannya, bagaimana supaya “keretakan-keretakan” dalam masyarakat yang terjadi pada seputar Pilpres 2014 bisa dirajut kembali. Bagaimana supaya dapat merajut kembali etika kebersamaan yang telah terkoyak akibat preferensi dukungan dalam sosok kampanye hitam yang dilancarkan secara bombastis yang tentu sangat mengancam rusaknya sendi-sendi kebinekaan.

Etika Kebersamaan

Untuk mencegah konflik yang terjadi akibat permusuhan yang terpicu kampanye hitam selama masa kampanye pilpres ataupun benturan kepentingan dalam kehidupan masyarakat beragam, tidak ada jalan lain yang lebih efektif selain segera mengembalikan etika kebersamaan yang humanis. Itu dimulai dengan, pertama, membangun kultur sportivitas untuk menerima kekalahan sebagai proses menuju kemenangan yang tertunda.

Sikap sportif dan/atau kultur sportivitas ini hendaknya terbangun terus dalam kehidupan sehari-ahri dalam masyarakat, seperti sikap sportif dalam menerima kelebihan dan kekurangan orang lain, supaya tidak tumbuh rasa sirik, dengki, dan iri dalam kehidupan masyarakat nan beragam ini. Karena sikap sirik, dengki, dan iri adalah sumber terdalam lahirnya konflik dalam masyarakat plural yagn memiliki banyak perbedaan seperti kegagalan dan keberhasilan yang diraih secara individu dan kelompok dalam masyarakat yang beragam.

Masih berkaitan dengan pilpres, misalnya, perlu membangun pemahaman bersama tentang pilpres sebagai bagian dari kultur demokrasi untuk mewujudkan kesejahteraan kolektif. Kultur demokrasi yang berbasis pada etika, moral, dan etos kebersamaan yang tidak lain demi kehidupan bersama sebagai bangsa yang lebih bersahaja.

Sebagaimana Haryatmoko (2003) etika politik dalam masyarakat plural adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama, dan untuk orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga masyarakat atau kelompok dari perbuatan-perbuatan yang merusak kebersamaan.

Dalam hal ini, pendidikan etika, moral, budi pekerti, terutama pendidikan agama menjadi sangat penting. Karena semua aspek pendidikan tersebut, khususnya agama, setiap agama selalu mengajarkan kebaikan, kedamaian, dan keharmonisan antarumat beragama.

Ajaran agama mana pun pasti mendorong semua orang untuk berbuat baik dan menjauhkan diri dari kejahatan, hawa nafsu, sirik, dengki, dan iri, yang merusak kebersamaan yang tentu dapat menodai Bhinneka Tunggal Ika. Agama memotivasi setiap pemeluknya untuk mengamalkan kebaikan kepada sesama dalam semangat pengabdian dan pemuliaan kepada Yang Maha Kuasa.

Perlu disadari secara terus-menerus, bangsa Indonesia lahir dari keberagaman, yang terdiri dari sekitra 17.000 pulau, dengan banyak etnis, keyakinan, dan cara pandang. Perbedaan tersebut hanya dapat diterima dengan penuh syukur dan semua memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan melestarikannya. Jadi, membangun kebersamaan atau membangun kembali etika kebersamaan dengan prinsip menghargai hak manusia dalam beraktivitas merupakan keharusan. Bhinneka Tunggal Ika mesti dijaga dan dilestarikan.

Itu semua menjadi tugas sekaligus catatan bagi presiden dan wakil presiden terpilih, yaitu bagaimana supaya kebersamaan masyarakat dalam kebinekaan bangsa ini tetap terbangun, bahkan semakin kokoh dan kian lestari. Pertama kali, pemimpin baru harus segera menunjukkan bahwa kepemimpinannya tidak berpihak pada kelompok agama, etnis, atau ras tertentu, tetapi benar-benar untuk seluruh warga bangsa tanpa kecuali. Di sini, pemimpin baru harus segera mengarahkan seluruh warga bangsa kepada hidup yang bersahaja dengan merajut kembali etika kebersamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar