Etika
Kebersamaan dalam Keberagaman
Thomas Koten ; Direktur
Social Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 03 September 2014
Setiap
kali lahir pemimpin baru, bersamaan dengan itu pula tersembul harapan-harapan
baru. Harapannya tidak lain adalah perubahan menuju kehidupan yang lebih baik
secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan hukum. Realitas menunjukkan,
harapan publik setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 ini begitu tinggi.
Harapan-harapan
tersebut kini digantungkan di pundak pasangan pemimpin terpilih yakni Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Dari sekian harapan itu, salah satu harapan
kita adalah tetap lestarinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
semakin harmonisnya hidup dalam kebersamaan sebagai bangsa dan negara
multikultural di bawah kepemimpinan baru.
Karena
Indonesia yang tercatat dalam “Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia”
(terbitan Ditjen Kebudayaan Depdikbud, 1945), memiliki sekitar 450-500 etnis
suku bangsa yang menempati sekitar 17.000 pulau, tantangan ke depan yang
dihadapi Indonesia bersama pemimpinnya tidaklah ringan.
Tantangan
yang tidak ringan ini sejak awal kemerdekaan RI pun sudah disadari para
pendiri republik. Jadi, pada 1951 para pendiri menciptakan rangkaian kata
Bhinneka Tunggal Ika dan diletakkan di bawah kaki burung Garuda, lambang
negara Indonesia.
Masyarakat Terbelah
Maksud para pendiri republik dengan
merangkaikan kata Bhinneka Tunggal Ika, lalu diletakkan di bawah kaki burung
Garuda, tidak lain untuk menjelaskan kepada seluruh warga bangsa akan
realitas diri Indonesia yang secara niscaya, merupakan negara bangsa yang
multietnik dan/atau multikultural.
Oleh
karena itu, apa pun alasannya, multikultural atau keberagaman itu harus
diterima, dirawat, dan dilestarikan agar tidak menjadi momok yang dapat
merusak kebersamaan. Namun, untuk membangun dan mengembangkan masyarakat yang
multikultural ini jelas tidak mudah. Tidak pelak selalu melahirkan komplikasi
sosial yang rumit, yang sedikit banyak menciptakan peluang tercabik-cabiknya
kebinekaan.
Realitas
menunjukkan, semangat kebersamaan dalam keberagaman yang selalu dibanggakan
itu ternyata sangat rawan oleh konflik kepentingan antaragama, antaretnis,
dan antarbudaya. Jadi, dalam kebersamaan itu masih terus menyimpan noda yang
dapat merusak keberagaman. Kemudian, yang terpotret adalah wajah bangsa yang
selama ini kerap dibanggakan sebagai bangsa yang sopan, ramah, murah senyum,
ternyata masih mudah terprovokasi dan terkesan sangat emosional.
Fenomena
riil masyarakat yang kadang-kadang mudah terprovokasi itulah yang kemudian
mencuatkan kegelisahan tentang lahirnya konflik yang bisa terjadi pada
pilpres belum lama ini, jika kondisi politik tidak bisa dikendalikan. Lihat
bagaimana kampanye hitam yang begitu mengganas pada Pilpres 2014.
Panggung
politik telah menjelma menjadi semacam arena bagi para “gladiator” politik
untuk bertarung, lengkap dengan para penggembiranya. Misalnya, terlihat
“perang komentar” antarpendukung capres-cawapres di media sosial yang saling
menjatuhkan. Tanpa beban, para pengguna media sosial partisan melontarkan
komentar apa saja demi katarsis politik.
Itulah
yang kemudian membuat wajah politik masyarakat Indonesia pascapilpres dapat
digambarkan sebagai masyarakat terbelah yang dapat menjurus pada
tercabiknya-cabiknya kebinekaan. Untunglah sengketa pilpres yang dilakukan
pasangan capres-cawapres Prabowo-Hata Rajasa di Mahkamah Konstitusi (MK)
tidak berkepanjangan.
Namun
persoalannya, bagaimana supaya “keretakan-keretakan” dalam masyarakat yang
terjadi pada seputar Pilpres 2014 bisa dirajut kembali. Bagaimana supaya
dapat merajut kembali etika kebersamaan yang telah terkoyak akibat preferensi
dukungan dalam sosok kampanye hitam yang dilancarkan secara bombastis yang
tentu sangat mengancam rusaknya sendi-sendi kebinekaan.
Etika Kebersamaan
Untuk
mencegah konflik yang terjadi akibat permusuhan yang terpicu kampanye hitam
selama masa kampanye pilpres ataupun benturan kepentingan dalam kehidupan
masyarakat beragam, tidak ada jalan lain yang lebih efektif selain segera
mengembalikan etika kebersamaan yang humanis. Itu dimulai dengan, pertama,
membangun kultur sportivitas untuk menerima kekalahan sebagai proses menuju
kemenangan yang tertunda.
Sikap
sportif dan/atau kultur sportivitas ini hendaknya terbangun terus dalam
kehidupan sehari-ahri dalam masyarakat, seperti sikap sportif dalam menerima
kelebihan dan kekurangan orang lain, supaya tidak tumbuh rasa sirik, dengki,
dan iri dalam kehidupan masyarakat nan beragam ini. Karena sikap sirik,
dengki, dan iri adalah sumber terdalam lahirnya konflik dalam masyarakat
plural yagn memiliki banyak perbedaan seperti kegagalan dan keberhasilan yang
diraih secara individu dan kelompok dalam masyarakat yang beragam.
Masih
berkaitan dengan pilpres, misalnya, perlu membangun pemahaman bersama tentang
pilpres sebagai bagian dari kultur demokrasi untuk mewujudkan kesejahteraan
kolektif. Kultur demokrasi yang berbasis pada etika, moral, dan etos
kebersamaan yang tidak lain demi kehidupan bersama sebagai bangsa yang lebih
bersahaja.
Sebagaimana
Haryatmoko (2003) etika politik dalam masyarakat plural adalah mengarahkan ke
hidup baik, bersama, dan untuk orang lain dalam rangka memperluas lingkup
kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Institusi yang adil
memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga masyarakat atau
kelompok dari perbuatan-perbuatan yang merusak kebersamaan.
Dalam
hal ini, pendidikan etika, moral, budi pekerti, terutama pendidikan agama
menjadi sangat penting. Karena semua aspek pendidikan tersebut, khususnya
agama, setiap agama selalu mengajarkan kebaikan, kedamaian, dan keharmonisan
antarumat beragama.
Ajaran
agama mana pun pasti mendorong semua orang untuk berbuat baik dan menjauhkan
diri dari kejahatan, hawa nafsu, sirik, dengki, dan iri, yang merusak
kebersamaan yang tentu dapat menodai Bhinneka Tunggal Ika. Agama memotivasi
setiap pemeluknya untuk mengamalkan kebaikan kepada sesama dalam semangat
pengabdian dan pemuliaan kepada Yang Maha Kuasa.
Perlu
disadari secara terus-menerus, bangsa Indonesia lahir dari keberagaman, yang
terdiri dari sekitra 17.000 pulau, dengan banyak etnis, keyakinan, dan cara
pandang. Perbedaan tersebut hanya dapat diterima dengan penuh syukur dan
semua memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan melestarikannya. Jadi,
membangun kebersamaan atau membangun kembali etika kebersamaan dengan prinsip
menghargai hak manusia dalam beraktivitas merupakan keharusan. Bhinneka
Tunggal Ika mesti dijaga dan dilestarikan.
Itu
semua menjadi tugas sekaligus catatan bagi presiden dan wakil presiden
terpilih, yaitu bagaimana supaya kebersamaan masyarakat dalam kebinekaan
bangsa ini tetap terbangun, bahkan semakin kokoh dan kian lestari. Pertama
kali, pemimpin baru harus segera menunjukkan bahwa kepemimpinannya tidak
berpihak pada kelompok agama, etnis, atau ras tertentu, tetapi benar-benar
untuk seluruh warga bangsa tanpa kecuali. Di sini, pemimpin baru harus segera
mengarahkan seluruh warga bangsa kepada hidup yang bersahaja dengan merajut
kembali etika kebersamaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar