Demokrasi
Dunia Maya
Asriatun ;
Mahasiswi
Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, Siswa Sekolah Demokrasi
Aceh Utara (SDAU) Angkatan IV; Ketua Komunitas Menulis Butuh
|
OKEZONENEWS,
17 September 2014
Judul itu saya pilih setelah beberapa waktu
lalu, media ramai membicarakan Florence Sihombing. Yang mengemparkan dunia
maya melalui jejaring sosialnya. Dia mengungkapkan kekesalan terhadap kota
Yogyakarta yang memiliki gelar kota pelajar. Kekesalannya diawali ketika dia
harus mengantre begitu lama di sebuah SPBU.
Antrean panjang membuat gadis yang sedang
menempuh pendidikan S-2 Fakultas Hukum UGM berpindah ke antrean mobil. Sayang
dia merasa tidak mendapatkan perlakuan baik dari petugas SPBU. Akhirnya dia
mengungkapkan kekesalannya melalui jejaring sosial Path.
Jerat
Hukum
Tulisan Florence yang berisi kata-kata
menghina Yogyakarta di media sosial Path berbuntut panjang. Selain terkena bully di media sosial, Florence juga
dilaporkan ke polisi. Sesuai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE), ketika ada seseorang menulis unsur penghinaan, pelecehan, atau
kesusilaan, maka ia dapat diancam secara pidana. (Kompas.com, 28/8/2014)
Florence bahkan resmi ditahan di rumah
tahanan Polda DIY. Dia dijerat Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 1, Pasal 28
ayat 2 jo Pasal 45 ayat 2 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008. Sementara untuk KUHP,
dia dijerat Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP. (Kompas.com, 30 Agustus 2014)
Jejaring
Sosial dan Kekecewaan
Jika kita cermati secara dalam, status
jejaring Florence biasa saja. Hal yang wajar ketika media sosial digunakan
sebagai pelampiasan amarah atau kekesalan. Namun komentar kritis yang
dilontarkan pada Florence oleh masyarakat juga saya anggap wajar. Florence
merasa kecewa atas perlakuan petugas SPBU yang menurutnya sangat
diskrimintaif. Maka kemudian, dia melampiaskan.
Komentar pedas dan penuh kutukan menunjukan
bukti betapa masyarakat begitu kritis. Ketika menghadapi tanahnya atau daerah
domisili mereka dihina. Yogyakarta memang terkenal sebagai kota pelajar.
Heran saja ketika seorang yang menempuh pendidikan di salah satu universitas
di sana mengutuk daerah tersebut.
Kasus
Lama
Mungkin kita masih ingat bagaimana Prita
Mulyasari dianggap melakukan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni
International. Prita awalnya diperkarakan setelah mengirim e-mail berisi
komplain atas pelayanan buruk di RS Omni International. Dia bahkan sempat
ditahan selama proses penyidikan. Kasus ini memicu upaya advokasi dan
perlawanan atas upaya intervensi negara dalam kebebasan berekspresi di
Internet. (Tempo.co, 17/9/2012)
Dua-duanya sebenarnya memiliki kesamaan.
Mereka sama-sama merasa mendapat perlakuan tidak layak, sehingga membuat
pernyataan yang sama-sama hebohnya. Bedanya, kasus Prita mendapat dukungan
masyarakat dan berhasil lolos dari sanksi hukum. Publik juga bersimpati pada
perjuanganya dan memunculkah gerakan "Koin untuk Prita". Gerakan
ini menjadi inspirasi gerakan koin-koin yang lain dan diyakini sebagai
representasi perjuangan masyarakat kecil.
Hal ini bertolak belakang dengan kasus
Florence Sihombing yang justru dituntut oleh Lembaga Swadaya Masayarakat
(LSM) dan mendapat banyak kecaman. Agak heran rasanya seorang mahasiswi FH
UGM bisa dengan mudah ditindak pidana dengan kasus semacam ini.
Banyak sekali argumentasi yang timbul
seiring mencuatnya kasus ini. Namun yang membuat saya heran mengapa kasus ini
cenderung dibesar-besarkan. Sebagai negara yang demokrasi, tentu tindakan
Florence boleh jadi sebagai ekpresi kekecewaannya terhadap proses distribusi
BBM yang lamban.
Etika
Dunia Maya
Media sosial, kini menjadi trending baru.
Bahkan dalam penggunaan internet, muncul istilah Netizen. Netizen sendiri
dapat diartikan sekumpulan atau penduduk dunia maya yang memiliki
keterlibatan aktif dalam komunitas online dan biasa menggunakan internet di
rumah, di kantor maupun sekolah untuk kegiatan sosial.
Tidak sedikit, jejaring sosial di kalangan
anak muda seolah menjadi kebutuhan hidup. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya
jejaring sosial dimanfaatkan?
Jejaring sosial harusnya dapat dimanfaatkan
sepositif mungkin. Kembali pada kasus Prita, jejaring sosial dapat digunakan
untuk menggalang dukungan bukan hanya dukungan finansial namun juga moril.
Jejaring sosial dapat menumbuhkan rasa simpati terhadapnya.
Hal ini justru berbeda dengan kasus
Florence, dia dianggap salah dalam pemanfaatan jejaring sosial miliknya.
Walhasil iya bukan hanya mendapat sanksi sosial tetapi juga sanksi hukum.
Saya rasa, kita akan sangat setuju pada
dasarnya dunia maya tetaplah suatu yang nyata ketika para penggunanya adalah
manusia. Ketika berbicara tentang manusia dan interaksinnya, kita juga harus
faham bahwa manusia memiliki etika. Etika yang harus tetap dijaga. Etika dan
moral adalah hal utama yang djunjung tinggi di Indonesia. Tapi jangan mengira
saya sebagai seorang yang sedang “dimabuk” moral.
Pemerintahan kita dan bangsa Indonesia
secara umum tentu saja belum tahan kritik. Apa lagi ketika kritiknya menjurus
pada penghinaan, pelecehan dan lainnya. Tentu akan ada banyak produk hukum
yang dapat menjerat kita.
Saya akan sangat kecewa jika ada yang
beranggapan tidak ada demokrasi di dunia maya. Justru dunia dunia maya atau
jejaring sosial merupakan lahan paling demokratis. Atau jangan sembarang
update status yang mengkritik pemerintah atau menghujat kegagalan pemrintah.
Jejaring sosial justru dapat digunakan sebagai ruang diskusi.
Saya yakin, semua kita boleh jadi memiliki
keluhan yang sama seperti Florence. Sebagian memilih melampiaskan melalui
demo, sebagian memilih menulis opini, sebagian lagi memanfaatkan jejaring
sosial mereka. Ini negara demokratis, semua orang berhak bicara. Yang penting
santun tapi jangan hilang unsur kritiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar