Analisis
Pilkada, Siapa Untung Siapa Buntung?
Herdi Sahrasad ;
Pengamat
Politik
|
INILAH.COM,
16 September 2014
Polemik RUU Pilkada kian memanas seiring
munculnya wacana mengembalikan pemilihan melalui DPRD. Sejumlah debat publik
dan protes di kalangan akar rumput bermunculan dengan berpijak pada dua
argumen yang saling berlawanan satu sama lain. Ada apa gerangan?.
Kita mencatat, Pertama, ada argumen yang
pro terhadap Pilkada langsung—dipilih oleh rakyat; dan kedua argumen yang
anti Pilkada langsung—dipilih melalui DPRD.
Mohamad Nabil, Direktur Riset Freedom
Foundation menuturkan bahwa argumen pertama merujuk pada hilangnya hak-hak
konstitusi dari masyarakat untuk memilih pemimpin yang mereka inginkan bila
Pilkada langsung ditiadakan. Dan hal itu hanya meneguhkan oligarki partai
politik di mana calon Gubernur, Bupati dan Walikota bisa ditentukan dari
pusat (Jakarta). Dengan demikian, pola ini dianggap tak akan menghasilkan
pemimpin yang dekat dengan rakyat, tetapi dekat dengan DPRD dan orang-orang
partai di tingkat pusat.
Argumen kedua, kata Nabil, berpijak pada
carut-marut Pilkada langsung yang selama ini memunculkan konflik dan korupsi.
Data yang dihimpun sejumlah lembaga, termasuk Kementerian Dalam Negeri,
Pilkada langsung memakan ongkos yang sangat mahal tidak hanya dalam soal
biaya, tetapi juga solidaritas sosial antarpendukung menjadi pecah dan
korbannya sudah banyak. Realitas ini semakin menyeramkan ketika kasus korupsi
menjerat ratusan Kepala Daerah gara-gara ingin mengembalikan modal yang
dikeluarkan saat Pilkada.
Pada dua pokok argumen inilah dilema
muncul: ke mana pilihan harus diarahkan? Karena kedua argumen tersebut
memiliki plus-minusnya masing-masing. Meski Pemilihan Umum Daerah (Pilkada)
merupakan wujud kedaulatan rakyat, tapi faktor biaya dan tujuan yang tidak
optimal menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi dan mengubahnya menjadi tak
langsung.
Pilkada langsung jadi dilematis karena
negara dan pasangan calon sudah mengeluarkan banyak uang tapi hasilnya tidak
optimal. Yang dimaksud dengan tidak optimal adalah target yang tidak sesuai
harapan.
Anggaran Pilkada langsung di Indonesia bisa
menelan biaya sebesar Rp41 triliun. Jika Pilkada bisa diubah menjadi Pilkada
tak langsung makan biaya bisa dialihkan untuk pembangunan infrastruktur di
Indonesia yang keadaannya sangat menyedihkan. Apalagi, jumlah itu belum
termasuk biaya yang dikeluarkan oleh pasangan kepala daerah, kadang harus
mengeluarkan dana puluhan sampai ratusan miliar. Sehingga dengan pilkada
melalui DPRD, segala biaya itu bisa dihemat.
Ketidakoptimalan Pilkada itu kelihatan dari
banyaknya kepala daerah yang masuk penjara karena berbagai pelanggaran. Para
bupati banyak yang melakukan korupsi dan hal negatif lainnya karena mereka
harus ‘kembali modal’ ketika mencalonkan menjadi bupati atau gubernur. Tak
bisa dipungkiri ketika mencalonkan diri mereka melakukan politik uang untuk
menarik massa memilih mereka.
Sehingga, dengan cara Pilkada tak langsung,
maka money politics bisa dilokalisir. Di sini peran seluruh masyarakat dan
perangkat negara seperti KPK untuk mengawasi calon dan DPRD. Dan kontrol dari
keduanya harus bersifat massif terhadap calon yang akan bertarung di pilkada.
“Jika perlu mereka dikarantina,” kata Nabil.
Menurut Mohamad Nabil (Direktur Riset
Freedom Foundation), bila kita refleksi ke belakang, Pilkada secara langsung
bisa dikatakan pencapaian reformasi yang ”tak terkendali.” Disebut demikian
karena Pilkada langsung diberlakukan di seluruh tempat dan wilayah tanpa
mempertimbangkan aspek lokalnya. Karena itu keberhasilannya pun masih sangat
terbatas dan bergantung pada kesiapan aspek-aspek di tingkat lokal. Banyak
sekali data yang memperkuat argumen ini.
Pilkada langsung adalah eksperimen
demokrasi liberal di mana para penganjurnya berharap akan muncul kekuatan
politik masyarakat madani (civil
society) di tingkat lokal. Meski tujuan Pilkada langsung baik, yaitu
untuk memperkuat partisipasi politik masyarakat di tingkat lokal, namun masih
banyak kelemahannya karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek lainnya. Akan
tetapi niat baik saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan. Niat baik
tanpa pemahaman yang baik justru bisa membawa malapetaka yang lebih gawat.
Celakanya, kenyataan seperti itulah yang diperagakan oleh banyak Pilkada
langsung selama ini.
Di satu sisi, Pilkada langsung dimaksudkan
untuk memperkuat demokrasi di tingkat lokal dan mempersempit praktek money
politics (politik uang). Tapi di sisi lain, karena tanpa pemahaman yang memadai,
Pilkada langsung malah memperluas praktek politik uang dan meneguhkan kembali
konflik identitas di kalangan masyarakat. Tak hanya itu, biaya Pilkada
langsung yang sangat mahal justru menjadi penyubang terbanyak pada tumbuh
suburnya korupsi di tingkat lokal.
Karena itu, pada beberapa level, capain
reformasi kita dalam konteks Pilkada langsung, bukan hanya “reformasi”, tapi
justru “revolusi” yang tak terkendali. Hal itu terbukti dengan produk Pilkada
langsung yang secara serempak diberlakukan di seluruh Indonesia tanpa
mempertimbangkan kapasitas lokal.
Padahal, untuk negara-negara maju saja,
seperti Amerika, Inggris, Jerman, Prancis, Jepang dan Korea Selatan misalnya,
masih melihat kapasitas lokalnya. Jadi, ada tempat-tempat tertentu di sana
yang pemilihan kepala daerahnya dilakukan secara langsung, namun ada pula
yang dipilih tidak secara langsung—melalui Dewan Kota, atau sejenis DPRD di
Indonesia.
Sementara di negeri ini, mulai dari ujung
timur Irian Jaya hingga ujung barat Nanggoroe Aceh Darussalam yang baru
keluar dari konflik akut juga diberlakukan Pilkada langsung. Alhasil, Pilkada
langsung tidak hanya melahirkan korupsi, tetapi juga meneguhkan kembali
konflik dan semangat tribalisme.
Di daerah-daerah seperti Papua, Pilkada
langsung malah menumbuhkan kembali identitas politik antarsuku, yang pada
dasarnya bertentangan dengan cita-cita dan semangat baru. Bahkan mengulang
seluruh sejarah perjuangan para misionari yang berusaha menghapus ketegangan
antarsuku berabad-abad lamanya.
Atas dasar itu pula, di dalam demokrasi
juga tidak ada pilihan yang one send
for all, yaitu satu pilihan yang diberlakukan untuk semua. Dalam konteks
Pilkada langsung, tidak serta-merta harus diberlakukan untuk seluruh daerah
tanpa mempertimbangkan kapasitas lokal. Mentang-mentang ada Pilkada langsung,
maka di seluruh tempat dan wilayah harus Pilkada langsung juga?
Menengahi polemik argumentasi dua kutub di
atas yang kian hari kian memanas, Presiden SBY sebagai pengusul RUU Pilkada
datang dengan ide mempertahankan Pilkada langsung dengan sejumlah revisi yang
layak dipertimbangkan.
Beberapa idenya antara lain: 1) Setuju
Pilkada langsung dengan catatan ada penegasan secara eksplisit dalam UU
Pilkada terkait kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pendukung, maka yang
kena delik hukum adalah calon yang didukungnya. 2) Terkait money politics
harus tercantum jelas sebagai delik pelanggaran yang dibebankan kepada calon
yang didukung. 3) Varian tawaran SBY Gubernur dipilih DPRD, Bupati/Wali Kota
dipilih secara langsung karena bersentuhan langsung dengan masyarakat,
sementara Gubernur dipilih melalui DPRD mengingat kapasitasnya berada dalam
posisi antara: penyambung pusat ke daerah sekaligus penyambung daerah ke
pusat.
Tawaran ini merupakan terobosan yang baik
dalam menutup kelemahan Pilkada langsung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar