Politik
(Tanpa) Ingkar Janji
Deny Humaedi Muhammad ;
Peneliti
Muda Indonesian Culture Academy (INCA) Jakarta
|
OKEZONENEWS,
18 September 2014
Politik, seperti kata Aristoteteles, merupakan
medan yang mulia untuk mencapai kesejahteraan bersama. Politik bisa bikin
masyarakat menikmati kebahagiaan yang dicita. Di dalam politik tersimpan
keikhlasan luar biasa. Para pejuang politik tidak pernah meminta pamrih atas
kerjanya. Yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana sebisa dan semaksimal
mungkin berbuat sesuatu untuk kepentingan orang banyak.
Egosentrisme yang melekat dalam diri mereka
sejenak dilepas demi kepentingan bersama. Kesejahteraan merupakan kata kunci
yang hendak diberikan kepada rakyat. Tetapi, nyatanya konsep mulia dari
politik sudah memudar dewasa ini. Kita sudah tidak bisa melihat cita-ita
ideal dari perjuangan politik. Korupsi, gontok-gontokan demi dapat proyek,
praktek pencucian uang, money politic,
janji-janji suci, sampai kasus perselingkuhan tampaknya lebih banyak
menghiasi wajah politik kita ketimbang
perjuangan demi kemajuan yang didamba.
Potret buram politik demikian seolah membenarkan premis bahwa politik itu
jahat. Politik tidak pernah membicarakan “kita”, tetapi “aku”. Kata “kita”
hanya dijadikan lips service demi
mengukuhkan eksistensi pribadi. Jadi ada benarnya sebagian masyarakat
mengklaim bahwa politik itu bulshit. Non sens. Bahkan, beberapa kawan
terlihat nyinyir ketika mendengar kata politik. Apalagi menyebutnya. Miris.
Tempat
Mencari Uang
Melihat geliat aktivisme politik negara
kita dewasa ini, kita patut berbangga seiring banyaknya tokoh muda cerdas
yang muncul ke publik. Dengan spirit progresif, kecerdasan luar biasa, dan
kenyang organisasi seakan memunculkan harapan publik akan potensi mereka
sebagai pengganti para senior. Mereka adalah pemimpin Indonesia kelak.
Namun, harapan memang selalu ditakdirkan,
seperti kata pepatah lama, ibarat panggang jauh dari api. Idealisme tokoh
muda potensial meluruh ketika berhadapan dengan kenyataan politik yang memang
beringas. Arena politik yang tegang tengah mematahkan cita-cita semula.
Malahan mereka ikut-ikutan hajar sana hajar sini untuk dapat proyek. Bila
gagal dapat jatah, korupsi dijadikan alternatif terakhir untuk dapat duit.
Politik, yang mulanya adalah wadah ideal perjuangan, menjadi lahan basah
untuk memperkaya diri.
Akhirnya kita hanya disuguhkan drama basi
seperti sinetron yang ceritanya itu-itu saja. Monoton. Sirkulasi ini yang
selalu terjadi berulang-ulang dalam politik kita. Pun, politik kita pada
akhirnya tidak pernah memunculkan tokoh mumpuni. Apalagi negarawan brilian.
Karena itu, tak perlu heran jika masyarakat
sedikit apatis dengan kondisi bangsa kita. Harapan, yang awalnya menggebu,
kian pudar akibat ulah para elit. Ujung-ujungnya kita hanya bisa mencaci maki
para elit yang alpa pada janji idealisme semula.
Jika demikian, benarkah dunia politik kita
selalu menyuguhkan tentang kisah para elit yang selalu ingkar janji?
Keteladanan
Politik merupakan perjuangan mulia.
Kemuliaannya tidak boleh dikotori oleh perbuatan kebinatangan. Perkara mulia
harus diiringi dengan perilaku mulia juga. Sebab manakala perkara yang mulia
disi dengan perilaku kotor, kejahatan yang akhirnya akan nampak ke permukaan.
Karena itu, kunci untuk mengembalikan
kemuliaan politik bisa dipulihkan dengan keteladanan para elit, yang memang
belakangan ini tidak pernah kita jumpai. Keteladanan harus menyentuh wajah
politik kita yang panas-beringas.
Menyoal
keteladanan, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pernah menyebut
hilangnya keteladanan dalam politik berbangsa kita tersebab keengganan
menegok kembali kepada Pancasila. Padahal, dalam Pancasila tersaji ideal and great values yang bisa
dijadikan kawah candradimuka dalam melihat masa depan.
Yudi Latif dalam buku “Mata Air
Keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan” mengungkap bahwa nilai-nilai
Pancasila dapat dipraktikan dalam keseharian para politik tokoh bangsa,
penyelenggara negara, para politisi, aktivis, dan masyrakat umum. Pancasila
adalah basis keteladanan dalam perbuatan.
Keteladanan tidak boleh berhenti pada
sebatas kata belaka, tetapi harus bermetamorfosa dalam tindak dan laku.
Keteladanan harus tampil all out dalam eskalasi politik kita.
Kita berharap hasil dari Pemilihan
Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang baru saja selesai
akan menghasilkan para elit yang memiliki keteladanan luar biasa. Sebab dalam
keteladan ada komitmen kuat, integritas, kapasitas, cita, dan kualitas yang
memiliki potensi untuk menciptakan bangsa
Indonesia yang maju kelak.
Dengan demikian, patut kita meyakini
politik kita ke depan akan jauh dari ingkar janji. Wajah trengginas politik
berubah menjadi keteduhan dan keramahan. Perilaku korup, bagi-bagi proyek,
dan perselingkuhan dengan sendirinya akan pudar. Itu yang kita harapkan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar