Sabtu, 20 September 2014

Politik (Tanpa) Ingkar Janji

Politik (Tanpa) Ingkar Janji

Deny Humaedi Muhammad  ;   Peneliti Muda Indonesian Culture Academy (INCA) Jakarta
OKEZONENEWS, 18 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Politik, seperti kata Aristoteteles, merupakan medan yang mulia untuk mencapai kesejahteraan bersama. Politik bisa bikin masyarakat menikmati kebahagiaan yang dicita. Di dalam politik tersimpan keikhlasan luar biasa. Para pejuang politik tidak pernah meminta pamrih atas kerjanya. Yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana sebisa dan semaksimal mungkin berbuat sesuatu untuk kepentingan orang banyak.

Egosentrisme yang melekat dalam diri mereka sejenak dilepas demi kepentingan bersama. Kesejahteraan merupakan kata kunci yang hendak diberikan kepada rakyat. Tetapi, nyatanya konsep mulia dari politik sudah memudar dewasa ini. Kita sudah tidak bisa melihat cita-ita ideal dari perjuangan politik. Korupsi, gontok-gontokan demi dapat proyek, praktek pencucian uang, money politic, janji-janji suci, sampai kasus perselingkuhan tampaknya lebih banyak menghiasi wajah politik kita  ketimbang perjuangan demi kemajuan yang didamba.

Potret buram politik demikian  seolah membenarkan premis bahwa politik itu jahat. Politik tidak pernah membicarakan “kita”, tetapi “aku”. Kata “kita” hanya dijadikan lips service demi mengukuhkan eksistensi pribadi. Jadi ada benarnya sebagian masyarakat mengklaim bahwa politik itu bulshit. Non sens. Bahkan, beberapa kawan terlihat nyinyir ketika mendengar kata politik. Apalagi menyebutnya. Miris.

Tempat Mencari Uang

Melihat geliat aktivisme politik negara kita dewasa ini, kita patut berbangga seiring banyaknya tokoh muda cerdas yang muncul ke publik. Dengan spirit progresif, kecerdasan luar biasa, dan kenyang organisasi seakan memunculkan harapan publik akan potensi mereka sebagai pengganti para senior. Mereka adalah pemimpin Indonesia kelak.

Namun, harapan memang selalu ditakdirkan, seperti kata pepatah lama, ibarat panggang jauh dari api. Idealisme tokoh muda potensial meluruh ketika berhadapan dengan kenyataan politik yang memang beringas. Arena politik yang tegang tengah mematahkan cita-cita semula. Malahan mereka ikut-ikutan hajar sana hajar sini untuk dapat proyek. Bila gagal dapat jatah, korupsi dijadikan alternatif terakhir untuk dapat duit. Politik, yang mulanya adalah wadah ideal perjuangan, menjadi lahan basah untuk memperkaya diri.

Akhirnya kita hanya disuguhkan drama basi seperti sinetron yang ceritanya itu-itu saja. Monoton. Sirkulasi ini yang selalu terjadi berulang-ulang dalam politik kita. Pun, politik kita pada akhirnya tidak pernah memunculkan tokoh mumpuni. Apalagi negarawan brilian.

Karena itu, tak perlu heran jika masyarakat sedikit apatis dengan kondisi bangsa kita. Harapan, yang awalnya menggebu, kian pudar akibat ulah para elit. Ujung-ujungnya kita hanya bisa mencaci maki para elit yang alpa pada janji idealisme semula.

Jika demikian, benarkah dunia politik kita selalu menyuguhkan tentang kisah para elit yang selalu ingkar janji?

Keteladanan

Politik merupakan perjuangan mulia. Kemuliaannya tidak boleh dikotori oleh perbuatan kebinatangan. Perkara mulia harus diiringi dengan perilaku mulia juga. Sebab manakala perkara yang mulia disi dengan perilaku kotor, kejahatan yang akhirnya akan nampak ke permukaan.

Karena itu, kunci untuk mengembalikan kemuliaan politik bisa dipulihkan dengan keteladanan para elit, yang memang belakangan ini tidak pernah kita jumpai. Keteladanan harus menyentuh wajah politik kita yang panas-beringas.

Menyoal  keteladanan, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pernah menyebut hilangnya keteladanan dalam politik berbangsa kita tersebab keengganan menegok kembali kepada Pancasila. Padahal, dalam Pancasila tersaji ideal and great values yang bisa dijadikan kawah candradimuka dalam melihat masa depan.

Yudi Latif dalam buku “Mata Air Keteladanan: Pancasila Dalam Perbuatan” mengungkap bahwa nilai-nilai Pancasila dapat dipraktikan dalam keseharian para politik tokoh bangsa, penyelenggara negara, para politisi, aktivis, dan masyrakat umum. Pancasila adalah basis keteladanan dalam perbuatan.

Keteladanan tidak boleh berhenti pada sebatas kata belaka, tetapi harus bermetamorfosa dalam tindak dan laku. Keteladanan harus tampil all out dalam eskalasi politik kita.

Kita berharap hasil dari Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang baru saja selesai akan menghasilkan para elit yang memiliki keteladanan luar biasa. Sebab dalam keteladan ada komitmen kuat, integritas, kapasitas, cita, dan kualitas yang memiliki potensi untuk menciptakan bangsa  Indonesia yang maju kelak.

Dengan demikian, patut kita meyakini politik kita ke depan akan jauh dari ingkar janji. Wajah trengginas politik berubah menjadi keteduhan dan keramahan. Perilaku korup, bagi-bagi proyek, dan perselingkuhan dengan sendirinya akan pudar. Itu yang kita harapkan. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar