Berhaji
Cukup Sekali Saja
Maksun ; Dosen
Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang
|
KORAN
JAKARTA, 06 September 2014
Hari-hari ini, ratusan ribu calon jemaah haji
(calhaj) Indonesia meninggalkan Tanah Air menuju Mekah al-Mukarramah
menunaikan ibadah haji. Sebagai rukun Islam kelima, haji merupakan ibadah
sangat populer dan begitu digandrungi elite hartawan Islam Indonesia.
Mereka rela antre bertahun-tahun untuk bisa
mendapat seat karena keterbatasan kuota. Data Kemenag per Juli 2014, jumlah
antrean haji sudah mencapai lebih dari 2,2 juta orang. Yang mengherankan
sekaligus memprihatinkan, ternyata dari jutaan orang yang masuk daftar tunggu
(waiting list) terdapat ratusan bahkan ribuan calhaj yang sudah berhaji.
Mereka rela membelanjakan jutaan rupiah untuk
menunaikan ibadah haji berkali-kali. Bahkan, anak-anak mereka yang masih muda
pun ikut dibawa. Tidak hanya itu, di luar musim haji, mereka juga amat
antusias menunaikan umrah hingga puluhan kali.
Mereka tak menyadari bahwa di belakang banyak
orang tua yang antre untuk memperoleh jatah haji. Mereka juga tak menyadari
bahwa di sekitar banyak orang miskin dan anak yatim melarat. Mereka lalai
atau pura-pura lupa bahwa dana haji-umrah berkali-kali itu jika dikumpulkan
untuk membantu orang-orang miskin tentu lebih bermakna dan berpengaruh
positif.
Wajar jika lalu mengemuka wacana “pemakruhan”
bahkan ”pengharaman” haji ulang (lebih dari sekali). Munculnya “gugatan
moral” ini terkait antusiasme sebagian umat Islam untuk menunaikan ibadah
haji berkali-kali di saat kondisi sosial masyarakat terpuruk dalam
kemiskinan. Sayangnya, pemerintah dan ulama seolah-olah “buta” terhadap
fenomena yang sebenarnya sudah lama berlangsung ini.
Pertanyaan yang kemudian muncul, bila saja ada
10.000 calhaj ulang (kemaruk naik haji berkali-kali) bersepakat
mendayagunakan dana haji ulangnya sehingga terkumpul cash money sekitar 300
miliar rupiah (asumsi ONH 30 juta), lalu dana itu dimanfaatkan untuk mengentaskan
dan memberdayakan rakyat miskin, apakah pahalanya sama dengan haji mabrur?
Ada sebuah kisah spiritual bernuansa sufistik
yang cukup relevan dan menarik untuk dikaji lebih lanjut, sekaligus patut
direnungkan oleh orang-orang yang kemaruk menunaikan ibadah haji, dikaitkan
penderitaan saudara-saudara yang hidup dalam kemiskinan.
Al-Yafi bercerita, Abu Abdullah al-Jauhary
ketika tertidur di Padang Arafah telah bermimpi melihat dua malaikat yang
turun dari langit. Salah satunya berkata, “Berapa orang yang wukuf di Arafah
tahun ini?” Jawab malaikat lainnya, “Enam ratus ribu orang, tetapi wukuf
mereka tidak diterima semua kecuali enam orang. Setiap orang telah
membebaskan seratus orang.”
Seketika al-Jauhary bermaksud menampar mukanya
sendiri dan menyesali diri. Ia pun bangun dan berusaha mencari setiap orang
yang telah membebaskan enam ratus ribu orang itu. Kemudian, dia bertemu dan
bertanya kepada orang yang sedang istirahat di Masjidil Haram. Orang tersebut
berkata, yang dicari tinggal di Yaman (tidak sedang ibadah haji), bernama
Ibnu Muaffaq.
Diriwayatkan, Ibnu Muaffaq telah menjalankan
ibadah haji enam puluh kali, dan tidak pernah merasa pas dan puas. Ketika
hendak berangkat haji yang keenam puluh satu, tiba-tiba istrinya jatuh sakit
dan ingin makan sekerat daging. Untuk memenuhi keinginan istrinya yang
kebetulan sedang hamil muda itu, Ibnu Muaffaq berkeliling kota mencari
daging. Dalam sebuah perjalanan, dia mencium bau menyengat dari daging yang
tengah direbus. Ia pun berusaha mendekati dan memasuki rumah tempat di mana
bau menyengat itu berasal.
Di rumah tersebut, dijumpai seorang tua renta
dan beberapa anak yatim. Berkatalah orang tua itu kepada Ibnu Muaffaq, daging
itu haram bagimu. Mendengar “vonis” yang di luar dugaan itu, Ibnu Muaffaq
pulang dan ketika sampai di rumah ternyata istrinya telah sembuh. Seketika
itu pula, ia menyerahkan dana haji keenam puluh satunya kepada orang tua yang
mengasuh anak yatim tadi. Kemudian, Allah menjadikan haji mabrur.
Pengulangan
Pengulangan pelaksanaan ibadah haji karena
belum sah. Ada beberapa syarat dan rukunnya yang mungkin tidak sempat (lupa)
dijalankan. Atau haji pertama telah memenuhi syarat dan rukunnya secara
sempurna, tapi merasa belum pas karena ibadahnya tidak dilakukan dengan
khusyuk. Kemudian, karena semata-mata untuk memperbanyak amalan sunah.
Selama ini, masyarakat menganggap hukum ibadah
haji itu wajib, dan sunah bagi mereka yang ingin mengulangi. Wajib dan sunah
mendasarkan pemikiran pada Alquran yang dianggap qath i (pasti). Sementara penetapan hukum sunah haji ulang
didasarkan pada hadis yang bersifat zanny
(belum pasti) sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad, “Barangsiapa ingin menambah atau mengulangi ibadah haji, itu hukumnya
sunah.”
Meskipun demikian, ada seorang ahli fikih asal
Irak, Ibrahim bin Yazid al-Nakha i, yang pernah mengeluarkan fatwa hukum
bahwa sedekah itu lebih baik daripada haji sunah. Artinya, mengulangi ibadah
haji hukumnya makruh. Lalu, apa yang dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum haji makruh tersebut?
Dalam menetapkan hukum Islam, jika mujtahid
memperoleh petunjuk dalam nash, operasionalisasi kaidah-kaidah kebahasaan
menjadi perhatian utama seperti hukum wajibnya. Tetapi, hukum dasar wajib
seperti tersurat dalam Alquran bisa berubah ketika dijumpai illat (alasan hukum)
yang dapat memengaruhi hukum dasar itu. Dari sini lalu muncul sebuah kaidah
hukum: ada atau tidaknya suatu hukum sangat bergantung pada sebab-sebab yang
memengaruhinya.
Berdasarkan kaidah tersebut, bisa saja ibadah
haji yang pada asalnya wajib bagi umat Islam yang mampu berubah menjadi
haram, misalnya, apabila pelaksanaan justru akan menghancurkan sisi
kemaslahatan sebagai landasan pokok pembentukan sebuah rumusan hukum Islam.
Contoh, mengadakan biaya naik haji dengan utang, sementara potensi untuk membayar
tidak ada. Demikian juga bila biaya haji itu komponen fundamental bagi
kelangsungan hidup dan keluarga, sementara tidak ada sumber lain yang dapat
dijadikan sarana meraih kebutuhan primer.
Kemiskinan
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengkritik
para calhaj, terutama yang berkehendak mengulanginya untuk kedua dan
seterusnya. Dengan menukil sebuah kisah spiritual bernuansa sufistik, dia
menyebut orang-orang yang lebih antusias menjalankan haji ulang daripada
bersedekah kepada tetangga yang menggelepar kelaparan dan miskin sebagai
orang teperdaya (ghurur) karena
mengabaikan skala prioritas dalam beribadah.
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, ulama
Ibrahim bin Yazid al-Nakha i mengeluarkan fatwa, sedekah lebih baik ketimbang
berhaji kedua kali dan seterusnya. Maka, para ulama Indonesia dapat
mengeluarkan fatwa seperti itu. Intinya, melarang setidaknya membatasi umat
Islam menunaikan haji lebih dari sekali, tanpa alasan hukum jelas.
Pertimbangannya, dalam kondisi objektif
masyarakat yang dilanda keprihatinan, mengulang ibadah haji merupakan
pekerjaan sia-sia (menghambur-hamburkan uang) dan mengabaikan kepedulian
sosial. Dia mengambil tempat atau kesempatan orang lain yang belum pernah
ibadah haji karena kuota dan memperpanjang daftar tunggu. Selain itu,
mengulang cenderung menyuburkan egoisme dan gengsi beribadah dan menafikan
ibadah social. Ini sekaligus akan mempertajam tingkat kecemburuan sosial
masyarakat. Fatwa “haram” ini sangat penting untuk menumbuhkan etika berhaji
umat Islam.
Sudah semestinya, di tengah kondisi kemiskinan
yang makin menggunung, calon dapat menahan diri beribadah haji yang kedua
atau kesekian kalinya. Alihkan dananya untuk membantu saudara yang miskin dan
kelaparan. Nabi telah memberi teladan, berhaji cukup sekali seumur hidup.
Andai berhaji tiga kali, lalu meninggal, tidak
ada lagi nilai tambahnya. Lain bila berhaji sekali, kemudian dana berhaji dua
kali, misalnya, untuk mengentaskan rakyat miskin, menciptakan lapangan kerja,
atau beasiswa anak-anak putus sekolah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar