Minggu, 07 September 2014

Berhaji Cukup Sekali Saja

Berhaji Cukup Sekali Saja

Maksun  ;   Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang
KORAN JAKARTA, 06 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Hari-hari ini, ratusan ribu calon jemaah haji (calhaj) Indonesia meninggalkan Tanah Air menuju Mekah al-Mukarramah menunaikan ibadah haji. Sebagai rukun Islam kelima, haji merupakan ibadah sangat populer dan begitu digandrungi elite hartawan Islam Indonesia.

Mereka rela antre bertahun-tahun untuk bisa mendapat seat karena keterbatasan kuota. Data Kemenag per Juli 2014, jumlah antrean haji sudah mencapai lebih dari 2,2 juta orang. Yang mengherankan sekaligus memprihatinkan, ternyata dari jutaan orang yang masuk daftar tunggu (waiting list) terdapat ratusan bahkan ribuan calhaj yang sudah berhaji.

Mereka rela membelanjakan jutaan rupiah untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali. Bahkan, anak-anak mereka yang masih muda pun ikut dibawa. Tidak hanya itu, di luar musim haji, mereka juga amat antusias menunaikan umrah hingga puluhan kali.

Mereka tak menyadari bahwa di belakang banyak orang tua yang antre untuk memperoleh jatah haji. Mereka juga tak menyadari bahwa di sekitar banyak orang miskin dan anak yatim melarat. Mereka lalai atau pura-pura lupa bahwa dana haji-umrah berkali-kali itu jika dikumpulkan untuk membantu orang-orang miskin tentu lebih bermakna dan berpengaruh positif.

Wajar jika lalu mengemuka wacana “pemakruhan” bahkan ”pengharaman” haji ulang (lebih dari sekali). Munculnya “gugatan moral” ini terkait antusiasme sebagian umat Islam untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali di saat kondisi sosial masyarakat terpuruk dalam kemiskinan. Sayangnya, pemerintah dan ulama seolah-olah “buta” terhadap fenomena yang sebenarnya sudah lama berlangsung ini.

Pertanyaan yang kemudian muncul, bila saja ada 10.000 calhaj ulang (kemaruk naik haji berkali-kali) bersepakat mendayagunakan dana haji ulangnya sehingga terkumpul cash money sekitar 300 miliar rupiah (asumsi ONH 30 juta), lalu dana itu dimanfaatkan untuk mengentaskan dan memberdayakan rakyat miskin, apakah pahalanya sama dengan haji mabrur?

Ada sebuah kisah spiritual bernuansa sufistik yang cukup relevan dan menarik untuk dikaji lebih lanjut, sekaligus patut direnungkan oleh orang-orang yang kemaruk menunaikan ibadah haji, dikaitkan penderitaan saudara-saudara yang hidup dalam kemiskinan.

Al-Yafi bercerita, Abu Abdullah al-Jauhary ketika tertidur di Padang Arafah telah bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit. Salah satunya berkata, “Berapa orang yang wukuf di Arafah tahun ini?” Jawab malaikat lainnya, “Enam ratus ribu orang, tetapi wukuf mereka tidak diterima semua kecuali enam orang. Setiap orang telah membebaskan seratus orang.”

Seketika al-Jauhary bermaksud menampar mukanya sendiri dan menyesali diri. Ia pun bangun dan berusaha mencari setiap orang yang telah membebaskan enam ratus ribu orang itu. Kemudian, dia bertemu dan bertanya kepada orang yang sedang istirahat di Masjidil Haram. Orang tersebut berkata, yang dicari tinggal di Yaman (tidak sedang ibadah haji), bernama Ibnu Muaffaq.

Diriwayatkan, Ibnu Muaffaq telah menjalankan ibadah haji enam puluh kali, dan tidak pernah merasa pas dan puas. Ketika hendak berangkat haji yang keenam puluh satu, tiba-tiba istrinya jatuh sakit dan ingin makan sekerat daging. Untuk memenuhi keinginan istrinya yang kebetulan sedang hamil muda itu, Ibnu Muaffaq berkeliling kota mencari daging. Dalam sebuah perjalanan, dia mencium bau menyengat dari daging yang tengah direbus. Ia pun berusaha mendekati dan memasuki rumah tempat di mana bau menyengat itu berasal.

Di rumah tersebut, dijumpai seorang tua renta dan beberapa anak yatim. Berkatalah orang tua itu kepada Ibnu Muaffaq, daging itu haram bagimu. Mendengar “vonis” yang di luar dugaan itu, Ibnu Muaffaq pulang dan ketika sampai di rumah ternyata istrinya telah sembuh. Seketika itu pula, ia menyerahkan dana haji keenam puluh satunya kepada orang tua yang mengasuh anak yatim tadi. Kemudian, Allah menjadikan haji mabrur.

Pengulangan

Pengulangan pelaksanaan ibadah haji karena belum sah. Ada beberapa syarat dan rukunnya yang mungkin tidak sempat (lupa) dijalankan. Atau haji pertama telah memenuhi syarat dan rukunnya secara sempurna, tapi merasa belum pas karena ibadahnya tidak dilakukan dengan khusyuk. Kemudian, karena semata-mata untuk memperbanyak amalan sunah.

Selama ini, masyarakat menganggap hukum ibadah haji itu wajib, dan sunah bagi mereka yang ingin mengulangi. Wajib dan sunah mendasarkan pemikiran pada Alquran yang dianggap qath i (pasti). Sementara penetapan hukum sunah haji ulang didasarkan pada hadis yang bersifat zanny (belum pasti) sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad, “Barangsiapa ingin menambah atau mengulangi ibadah haji, itu hukumnya sunah.”

Meskipun demikian, ada seorang ahli fikih asal Irak, Ibrahim bin Yazid al-Nakha i, yang pernah mengeluarkan fatwa hukum bahwa sedekah itu lebih baik daripada haji sunah. Artinya, mengulangi ibadah haji hukumnya makruh. Lalu, apa yang dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum haji makruh tersebut?

Dalam menetapkan hukum Islam, jika mujtahid memperoleh petunjuk dalam nash, operasionalisasi kaidah-kaidah kebahasaan menjadi perhatian utama seperti hukum wajibnya. Tetapi, hukum dasar wajib seperti tersurat dalam Alquran bisa berubah ketika dijumpai illat (alasan hukum) yang dapat memengaruhi hukum dasar itu. Dari sini lalu muncul sebuah kaidah hukum: ada atau tidaknya suatu hukum sangat bergantung pada sebab-sebab yang memengaruhinya.

Berdasarkan kaidah tersebut, bisa saja ibadah haji yang pada asalnya wajib bagi umat Islam yang mampu berubah menjadi haram, misalnya, apabila pelaksanaan justru akan menghancurkan sisi kemaslahatan sebagai landasan pokok pembentukan sebuah rumusan hukum Islam. Contoh, mengadakan biaya naik haji dengan utang, sementara potensi untuk membayar tidak ada. Demikian juga bila biaya haji itu komponen fundamental bagi kelangsungan hidup dan keluarga, sementara tidak ada sumber lain yang dapat dijadikan sarana meraih kebutuhan primer.

Kemiskinan

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengkritik para calhaj, terutama yang berkehendak mengulanginya untuk kedua dan seterusnya. Dengan menukil sebuah kisah spiritual bernuansa sufistik, dia menyebut orang-orang yang lebih antusias menjalankan haji ulang daripada bersedekah kepada tetangga yang menggelepar kelaparan dan miskin sebagai orang teperdaya (ghurur) karena mengabaikan skala prioritas dalam beribadah.

Pada masa pemerintahan Bani Umayah, ulama Ibrahim bin Yazid al-Nakha i mengeluarkan fatwa, sedekah lebih baik ketimbang berhaji kedua kali dan seterusnya. Maka, para ulama Indonesia dapat mengeluarkan fatwa seperti itu. Intinya, melarang setidaknya membatasi umat Islam menunaikan haji lebih dari sekali, tanpa alasan hukum jelas.

Pertimbangannya, dalam kondisi objektif masyarakat yang dilanda keprihatinan, mengulang ibadah haji merupakan pekerjaan sia-sia (menghambur-hamburkan uang) dan mengabaikan kepedulian sosial. Dia mengambil tempat atau kesempatan orang lain yang belum pernah ibadah haji karena kuota dan memperpanjang daftar tunggu. Selain itu, mengulang cenderung menyuburkan egoisme dan gengsi beribadah dan menafikan ibadah social. Ini sekaligus akan mempertajam tingkat kecemburuan sosial masyarakat. Fatwa “haram” ini sangat penting untuk menumbuhkan etika berhaji umat Islam.

Sudah semestinya, di tengah kondisi kemiskinan yang makin menggunung, calon dapat menahan diri beribadah haji yang kedua atau kesekian kalinya. Alihkan dananya untuk membantu saudara yang miskin dan kelaparan. Nabi telah memberi teladan, berhaji cukup sekali seumur hidup.

Andai berhaji tiga kali, lalu meninggal, tidak ada lagi nilai tambahnya. Lain bila berhaji sekali, kemudian dana berhaji dua kali, misalnya, untuk mengentaskan rakyat miskin, menciptakan lapangan kerja, atau beasiswa anak-anak putus sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar