Kemendag
Digabung?
Carunia Mulya Firdausy ; Profesor
Riset LIPI dan Guru Besar Ekonomi Untar
|
REPUBLIKA,
06 September 2014
Suara berisik menyangkut penggabungan beberapa
kementerian dan atau beberapa instansi pemerintah di lingkungan kementerian
dan nonkementerian dalam pemerintahan Jokowi-JK mendatang nyaring terdengar
belakangan ini. Diskusi dan pembahasan soal ini tidak saja berkembang di
media massa (Republika, 26 Agustus 2014), tetapi juga di kantin atau warung
kopi kantor pemerintahan.
Khusus untuk penggabungan pada tingkat
kementerian, salah satunya suara penggabungan kembali Kemen terian
Perdagangan (Kemendag) dengan Kementerian Perindustrian seperti pada era
Presiden Soeharto. Tanpa bermaksud "merecoki" keputusan
pemerintahan baru mendatang mengenai hal ini, ada catatan pikiran yang saya
ingin bagi berikut ini.
Efek ganda Kementerian Perdagangan, menurut
saya, merupakan institusi yang memiliki peran berefek ganda atau sering
disebut sebagai mesin pertumbuhan (engine
of growth). Efek ganda tersebut dapat dilihat, misalnya, dari dampak
defisit perdagangan dua tahun terakhir yang berimbas tidak hanya pada
pengurasan devisa, melainkan juga terhadap pengeluaran pemerintah, depresiasi
rupiah, investasi dalam negeri, dan beban utang sehingga menimbulkan
perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, menariknya, perlambatan pertumbuhan
ekonomi yang terjadi tidak menjadi "terjun bebas" dan menimbulkan
hantu kembar (twin evils)
pengangguran dan inflasi di satu pihak dan penurunan pendapatan masyarakat
yang akhirnya menurunkan konsumsi secara keseluruhan dan investasi di lain
pihak (ADB, 2014). Mengapa demikian?
Ini suka atau tidak suka tentu karena adanya
peran Kementerian Perdagangan dalam menjaga dan mengelola pasar agar tidak
terdistorsi, baik melalui pengaturan jalannya mekanisme pasar untuk
kestabilan pasokan, distribusi, kecukupan barang-barang penting dan bahan
pokok, serta pengelolaan ke pentingan "produsen?
pedagang? konsumen" maupun pembentukan harga yang wajar di pasar.
Bahkan, juga dimungkinkan karena perannya dalam hal pengembang an
infrastruktur perdagangan, seperti pa sar, gudang, resi gudang, bursa
komoditas, kemetrologian, informasi nasional perdagangan, standar mutu, dan
langkah perlindungan konsumen.
Hal yang sama juga berlaku dalam pengelolaan
pasar global untuk menyeimbangkan antara kepentingan pelaku usaha dan
konsumen di dalam negeri dengan kepentingan negara mitra dagang dan
kesesuaian dengan peraturan WTO dan lainnya. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi
hanya diperlambat tanpa diikuti inflasi dan pengangguran dan seterusnya.
Beberapa bukti legal formal pendukung hal di
atas, antara lain, (1) UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, (2) UU No 2
Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, (3) UU No 9 Tahun 2011 tentang Sistem
Resi Gudang, (4) UU No 3 Tahun 82 tentang Wajib Daftar Perusahaan, (5) UU No
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (6) UU No 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agre ement Establishing the World Trade Organization, (7) UU No 32
Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, dan (8) UU tentang
Pergudangan untuk menyebut beberapa saja.
Dalam konteks investasi, Kementerian
Perdagangan secara tidak langsung berperan menjaga iklim investasi agar tetap
kondusif. Peran tersebut dimainkan melalui koordinasi berbagai kepentingan
sektor di dalam negeri pada penyusunan posisi runding di forum internasional,
baik tingkat bilateral, regional, maupun internasional untuk men cegah dampak
negatif yang merugikan produsen lokal, investor, maupun konsumen dalam
negeri. Apalagi dalam waktu dekat ini akan ada implementasi Masyarakat
Ekonomi ASEAN pada 2015 dan tindak lanjut kesepakatan Paket Bali serta
penjajakan dan evaluasi FTA dengan berbagai negara dan kawasan ekonomi di
dunia, seperti Uni Eropa dan APEC yang juga berpotensi mendatangkan investasi
ke Indonesia.
Belum lagi bicara tindakan negara di dunia
yang semakin berlomba menerapkan kebijakan nontarif (NTM) dalam wujud Trade Remedies untuk melindungi produsen
dan pasar domestik mereka.
Pada Oktober 2012 hingga November 2013 saja
terdapat 407 kebijakan restriksi dan inisiasi tindakan penanganan perdagangan
(trade remedies) baru dan berdampak
sekitar 1,3 persen impor dunia atau setara 240 miliar dolar AS (Overview of Developments In The
International Trading Environment WTO). Semua ini tentu memerlukan
Kementerian Perdagangan secara khusus.
Pikir matang Memperhatikan catatan di atas,
adanya pandangan dan apalagi rencana penggabungan kementerian ini dengan
kementerian lain wajib dipikirkan matang-matang. Ini karena beberapa tanggung
jawabnya tidak akan bisa berhasil dicapai dalam struktur organisasi yang baru
tergabung nanti. Bahkan, jika revolusi mental untuk kemandirian ekonomi,
politik, dan budaya ingin dilaksanakan, kesinambungan keberadaan Kementerian
Perdagangan mutlak diperlukan untuk merealisasikan program "Aku Cinta
Produk Indonesia".
Pengalaman lalu juga mengin di kasikan
penggabungan telah menimbulkan efek power concentration dan menghilangnya
fokus atau spesialisasi suatu orga nisasi dalam melaksanakan tanggung jawab
yang seharusnya dipikul. Peng gabungan juga menimbulkan risiko penggemukan
organisasi yang berarti mengorbankan efisiensi kinerja organisasi mengingat
tugas-tugas yang diem ban mengamanatkan adanya unit-unit tersebut.
Dari segi manajemen, span of control yang luas akibat besarnya organisasi juga akan
menimbulkan permasalahan tersendiri bagi pimpinan, yaitu menteri pada
kementerian terkait dalam menyinkro nisasikan kinerja setiap unit yang berada
di bawah wewenangnya. Di sisi yang berlawanan, apabila penggabungan dilakukan
dengan menghilangkan atau merampingkan unit, maka dikhawatirkan terjadi
overload beban kerja akibat banyaknya beban tugas, tapi hanya unit
pelaksananya sangat terbatas.
Saya meyakini pemerintahan Jokowi-JK tidak
akan menggunakan solusi masalah perdagangan hari ini dengan solusi masa lalu.
Semoga ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar