Pembalikan
Pembelajaran Nusantara
Mudji Sutrisno ; Guru
Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
|
SINAR
HARAPAN, 06 September 2014
Kalau saja Zoetmulder dengan Kalangwan: Sastra Jawa Kuno: Selayang
Pandang (1985 edisi Indonesia), merupakan studi mendalam mengenai kakawin
wujud sastra kawi Jawa kuno dengan seluruh kebijaksanaan hidup menjadi acuan
awal pendidikan kita mengenai Nusantara, pasti proses transformasi budaya
kita akan lain wujudnya dari yang ada kini.
Namun yang ada, kini cerminan hasil
studi-studi teks (teks huruf besar) ilmu-ilmu canggih pemikiran Barat dengan
proses rasionalitas. Ketika para ahlinya pulang ke Tanah Air, lalu menerapkan
menjadi ‘konteks’ seragam tanpa belajar live in dahulu dan menyadari.
Paham konteks Nusantara itu unik, beragam, dan
bineka dengan penghayatan kebijaksanaan hidup berdasar rasa pemuliaan dan
perawatan realitas “nusa” (artinya pulau) dan “antara” (air yang menghubungkan
pulau-pulau menjadi daratan archipelago).
“Kontekstualisasi” seragam ini merupakan
konsekuensi asumsi. Elite pemilik pengetahuan memiliki sabda-sabda kebenaran
hingga merasa wajib membagikan ke yang lain. Namun, dengan paradigma elite
memberi ke khalayak dan “pusat pemilik ilmu teks” memberi ke daerah.
Akibatnya, kebenaran hidup sebagai pengetahuan
dihayati dalam “pemilikan” yaitu having. Bukan disyukuri karena merenungi
alam dan hidup dengan tata kosmik alam dalam being menghayati dialog batin
untuk menemukan perilaku selaras dengan yang Ilahi, sesama manusia, dan alam.
Maksud alam di sini ya Nusantara tadi. Air
yang menghubungkan tanah daratan menjadi sebuah kawasan dengan local genius
tahu gejolak air dan kenal maritimnya sekaligus agraris bertani, bercocok
tanam dengan tanah subur yang dirawat dengan ritus-ritus kesuburan tanah
sebelum monoteis berdatangan masuk Nusantara.
Kalau saja pembelajaran semesta Nusantata
dipijakkan pada mengenal tanah dengan simbol-simbolnya dan sumber hidup mata
pencarian yang disimpulkan padat bermakna dalam ujian-ujian menghayati krisis
hidup hingga menjadi pepatah, peribahasa, gurindam, pantun, kidung seloka,
kauri, dan nyanyi penyair maka berkawan dengan alam dan akrab mengenalnya
akan membuat kita berperilaku dengan membaca tanda-tanda alam dan merawatnya
karena dari sanalah kita hidup.
Tengoklah semua pepatah, kata-kata bijak untuk
berperilaku baik membuat alam pikiran tanah dan air. Jadi, pepatah bijak
semisal ‘dalamnya laut dapat diduga, namun dalamnya hati siapa tahu’,
jelas-jelas merupakan kerja induksi.
Menyerap dan menghayati hidup lalu merumuskan
dalam kata pepatah bijak untuk being, menghayati hidup bersama yang bukan having atau memiliki dan menguasai.
Setelah diuji terus berdasar pengalaman pula, jadilah kata pepatah bijaksana
yang tahan banting di Nusantara yang beranah air dan tanah ini.
Karena itu, pembalikan cara belajar yang
terlalu tekstual, abstraksi, dan deduktif menuju cara belajar “menghayati”,
mengalami, induktif harus menjadi kesadaran bersama ketika ekses-ekses studi
teks besar yang berbasis rasionalitas sudah mengalami krisisnya dalam sejarah
modernitas.
Mengapa kita yang sudah tahu dan paham bahwa
modernitas yang disempitkan menjadi kemajuan dan disamakan prosesnya sebagai
westernisasi tahun 1970-an, tetap tidak menggugah dan membangkitkan kesadaran
kita?
Modernitas yang mempersempit rasionalitas yang
hanya mempraktikkan “rasionalitas instrumentalis” (sebagai penalaran yang
memperlakukan realitas sebagai alat atau sarana untuk kepentingan pemilik
rasio) jelas-jelas sudah berdampak mengobjekkan orang, memperlakukan buruh
sebagai “milik” kapital yang diatur untuk sukses industri apalagi praktik
menguasai alam untuk tambang, dieksplorasi sebagai “pemilikan” telah membuat
tanah bersama menjadi berkeping-keping dan berkaveling-kaveling.
Lihat kehancuran tanah ulayat. Lihat konflik
wilayah tampungan air di bebatuan Karst sekitar Rembang yang mau digali untuk
semen.
Bukankah debat rasionalnya tepat
berbenturannya antara rasionalitas demi kemajuan butuh pabrik semen (pasti
untung ekonomis, pasti “maju” karena ada simbol-simbol modernitas yaitu
pabrik semen). Ini semua adalah rasionalitas instrumentalis yang ahli-ahlinya
melupakan dua rasionalitas lain yang esensial yaitu yang emansipatorik.
Artinya, membawa keadaban dan sejahtera
bersama dan rasionalitas teologis, artinya, penalaran yang mau belajar ke
tata alam, apa tujuan akhir alam pegunungan Karst ini?
Itu adalah tata tanah gunung bahkan yang di
bawah dan di pori-porinya merupakan simpanan air, “tandon banyu” atau air.
Pembalikan cara belajar di atas mendesak
sekali karena data dan fakta vulkanologi atau ke gunung berapian sebagai
kenyataan tanah Nusantara yang bergunung-gunung api teraktif di dunia dan
fakta alam tsunami dari Aceh dan sebelumnya Flores serta setiap kali terjadi
di laut Nusantara berpulau.
Terbukti baru menjadi kesadaran bersama kita
dasawarsa akhir ini, mengapa? Jawabnya, baru setelah dihantam dan diguncang
bencana serta korban, sepertinya kita baru rendah hati harus belajar ulang
mengenai watak tanah dan air Nusantara sebagai kontekstualisasi pembelajaran
dari lapangan, dari fakta ilmu setempat.
Kesadaran
Bukti lagi bahwa kesadaran untuk belajar
dengan titik tolak basis lapangan dan pengalaman serta membalikkan sadar
tanah dan air sebagai kenyataan Nusantara adalah baru di zaman pemerintahan
Presiden Gus Dur dibentuk departemen kelautan dan maritim.
Mengapa ini semua bisa terjadi? Pertama,
seperti terpapar di depan penguasaan ilmu dalam teks besar tidak berdialog
dengan konteks bineka unik lokalitas-lokalitas Nusantara. Kalimat ini saja
sudah “keliru” menaruh teks besar di pusat subjek dan bukan sebaliknya,
belajar live in di lokalitas lalu merumuskannya untuk teori.
Persoalan bukan sekadar pendekatan yang seakan
masuk akal antara top down diubah menjadi bottom up, tetapi lebih dari itu.
Apa itu?
Kedua, sejak kecilnya kesadaran sejarah kita
maka pemahaman kita akan realitas nyata tanah dan air terdistorsi.
Poskolonial menunjukkan kuasa kolonialisme dan penguasaan cara pikir agar
lupa sejarah dan tidak kritis sengaja menggelapkan fakta misalnya mengapa
Tidore dan Ternate perang terus dari turunan ke keturunan?
Karena diadu untuk penguasaan (having) rempah-rempah oleh pemerintah
kolonial. Mengapa kerajaan Mataram baru Jawa dipecah berkeping-keping:
Yogyakarta dibagi dua dan Surakarta dibagi dua? Jawabannya sama yaitu
penguasaan.
Kesadaran sejarah yang tidak ditanam
dalam-dalam sebagai cara melihat realitas perubahan Nusantara karena
kesalahan kita semua (mulai dari pemerintahan, guru, pendidikan dan media).
Hal ini menyebabkan “stratifikasi sosial” hasil hegemoni dan penjajahan masih
saja ada di bawah sadar dan sadar kita tentang masyarakat tiga tingkatan,
yaitu pribumi (paling bawah), Tiongkok (tengah), lalu tertinggi “asing” (saat
kolonial Belanda ya Belanda).
Akibatnya, pokok ini jadi bulan-bulanan
kebencian SARA yang membuktikan bahwa pendidikan nalar (rasionalitas) yang
seharusnya membuat rasionalitas kritis apalagi emansipatorik menurut
Habermas, ternyata hanya diawetkan untuk perilaku rasionalitas
instrumentalis.
Oleh karena itu, kalau saja kini naskah-naskah
Jawa kuno Zoetmulder yang diterus garap oleh Soepomo dan peneliti-peneliti
mahir mengenai “tingginya peradaban” Jawa-Bali (bagian Nusantara) dan belum
lagi pulau-pulau lain, menjadi titik tolak pembelajaran kita maka tafsiran
perkembangan dari Nusantara menjadi Indonesia pasti akan cerah.
Karena itu, kita harus berani menaruh tafsir baru
“tradisi” sebagai seluruh penghayatan olah nilai baik, indah, suci, dan benar
yang membuat Anda yang dari Minang pasti punya nilai Minang. Anda pasti punya
dasar kuat keislaman dan oleh pengalaman-pengalaman studi didalam dan diluar,
yang menjadikan Anda seperti Anda sekarang.
Konkretnya, ketika sesama warga kembali saling
berdialog dengan tradisi-tradisi kulturalnya dan bersama memprosesnya melalui
pengalaman berbudaya tulis, berbudaya digital, visual, lalu saling memberi
yang terbaik dan saling membuahi, di sana Indonesia yang lebih baik,
sejahtera menurut pendiri bangsa akan setapak demi setapak dialami dan
diwujudi bukan dalam slogan, retorika, pidato, atau tema seminar namun
ditapaki kultural langkah demi langkah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar