Minggu, 07 September 2014

Pembalikan Pembelajaran Nusantara

Pembalikan Pembelajaran Nusantara

Mudji Sutrisno  ;   Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
SINAR HARAPAN, 06 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kalau saja Zoetmulder dengan Kalangwan: Sastra Jawa Kuno: Selayang Pandang (1985 edisi Indonesia), merupakan studi mendalam mengenai kakawin wujud sastra kawi Jawa kuno dengan seluruh kebijaksanaan hidup menjadi acuan awal pendidikan kita mengenai Nusantara, pasti proses transformasi budaya kita akan lain wujudnya dari yang ada kini.

Namun yang ada, kini cerminan hasil studi-studi teks (teks huruf besar) ilmu-ilmu canggih pemikiran Barat dengan proses rasionalitas. Ketika para ahlinya pulang ke Tanah Air, lalu menerapkan menjadi ‘konteks’ seragam tanpa belajar live in dahulu dan menyadari.

Paham konteks Nusantara itu unik, beragam, dan bineka dengan penghayatan kebijaksanaan hidup berdasar rasa pemuliaan dan perawatan realitas “nusa” (artinya pulau) dan “antara” (air yang menghubungkan pulau-pulau menjadi daratan archipelago).

“Kontekstualisasi” seragam ini merupakan konsekuensi asumsi. Elite pemilik pengetahuan memiliki sabda-sabda kebenaran hingga merasa wajib membagikan ke yang lain. Namun, dengan paradigma elite memberi ke khalayak dan “pusat pemilik ilmu teks” memberi ke daerah.

Akibatnya, kebenaran hidup sebagai pengetahuan dihayati dalam “pemilikan” yaitu having. Bukan disyukuri karena merenungi alam dan hidup dengan tata kosmik alam dalam being menghayati dialog batin untuk menemukan perilaku selaras dengan yang Ilahi, sesama manusia, dan alam.

Maksud alam di sini ya Nusantara tadi. Air yang menghubungkan tanah daratan menjadi sebuah kawasan dengan local genius tahu gejolak air dan kenal maritimnya sekaligus agraris bertani, bercocok tanam dengan tanah subur yang dirawat dengan ritus-ritus kesuburan tanah sebelum monoteis berdatangan masuk Nusantara.

Kalau saja pembelajaran semesta Nusantata dipijakkan pada mengenal tanah dengan simbol-simbolnya dan sumber hidup mata pencarian yang disimpulkan padat bermakna dalam ujian-ujian menghayati krisis hidup hingga menjadi pepatah, peribahasa, gurindam, pantun, kidung seloka, kauri, dan nyanyi penyair maka berkawan dengan alam dan akrab mengenalnya akan membuat kita berperilaku dengan membaca tanda-tanda alam dan merawatnya karena dari sanalah kita hidup.

Tengoklah semua pepatah, kata-kata bijak untuk berperilaku baik membuat alam pikiran tanah dan air. Jadi, pepatah bijak semisal ‘dalamnya laut dapat diduga, namun dalamnya hati siapa tahu’, jelas-jelas merupakan kerja induksi.

Menyerap dan menghayati hidup lalu merumuskan dalam kata pepatah bijak untuk being, menghayati hidup bersama yang bukan having atau memiliki dan menguasai. Setelah diuji terus berdasar pengalaman pula, jadilah kata pepatah bijaksana yang tahan banting di Nusantara yang beranah air dan tanah ini.

Karena itu, pembalikan cara belajar yang terlalu tekstual, abstraksi, dan deduktif menuju cara belajar “menghayati”, mengalami, induktif harus menjadi kesadaran bersama ketika ekses-ekses studi teks besar yang berbasis rasionalitas sudah mengalami krisisnya dalam sejarah modernitas.

Mengapa kita yang sudah tahu dan paham bahwa modernitas yang disempitkan menjadi kemajuan dan disamakan prosesnya sebagai westernisasi tahun 1970-an, tetap tidak menggugah dan membangkitkan kesadaran kita?

Modernitas yang mempersempit rasionalitas yang hanya mempraktikkan “rasionalitas instrumentalis” (sebagai penalaran yang memperlakukan realitas sebagai alat atau sarana untuk kepentingan pemilik rasio) jelas-jelas sudah berdampak mengobjekkan orang, memperlakukan buruh sebagai “milik” kapital yang diatur untuk sukses industri apalagi praktik menguasai alam untuk tambang, dieksplorasi sebagai “pemilikan” telah membuat tanah bersama menjadi berkeping-keping dan berkaveling-kaveling.

Lihat kehancuran tanah ulayat. Lihat konflik wilayah tampungan air di bebatuan Karst sekitar Rembang yang mau digali untuk semen.

Bukankah debat rasionalnya tepat berbenturannya antara rasionalitas demi kemajuan butuh pabrik semen (pasti untung ekonomis, pasti “maju” karena ada simbol-simbol modernitas yaitu pabrik semen). Ini semua adalah rasionalitas instrumentalis yang ahli-ahlinya melupakan dua rasionalitas lain yang esensial yaitu yang emansipatorik.

Artinya, membawa keadaban dan sejahtera bersama dan rasionalitas teologis, artinya, penalaran yang mau belajar ke tata alam, apa tujuan akhir alam pegunungan Karst ini?

Itu adalah tata tanah gunung bahkan yang di bawah dan di pori-porinya merupakan simpanan air, “tandon banyu” atau air.

Pembalikan cara belajar di atas mendesak sekali karena data dan fakta vulkanologi atau ke gunung berapian sebagai kenyataan tanah Nusantara yang bergunung-gunung api teraktif di dunia dan fakta alam tsunami dari Aceh dan sebelumnya Flores serta setiap kali terjadi di laut Nusantara berpulau.

 Terbukti baru menjadi kesadaran bersama kita dasawarsa akhir ini, mengapa? Jawabnya, baru setelah dihantam dan diguncang bencana serta korban, sepertinya kita baru rendah hati harus belajar ulang mengenai watak tanah dan air Nusantara sebagai kontekstualisasi pembelajaran dari lapangan, dari fakta ilmu setempat.

Kesadaran

Bukti lagi bahwa kesadaran untuk belajar dengan titik tolak basis lapangan dan pengalaman serta membalikkan sadar tanah dan air sebagai kenyataan Nusantara adalah baru di zaman pemerintahan Presiden Gus Dur dibentuk departemen kelautan dan maritim.

Mengapa ini semua bisa terjadi? Pertama, seperti terpapar di depan penguasaan ilmu dalam teks besar tidak berdialog dengan konteks bineka unik lokalitas-lokalitas Nusantara. Kalimat ini saja sudah “keliru” menaruh teks besar di pusat subjek dan bukan sebaliknya, belajar live in di lokalitas lalu merumuskannya untuk teori.

Persoalan bukan sekadar pendekatan yang seakan masuk akal antara top down diubah menjadi bottom up, tetapi lebih dari itu. Apa itu?

Kedua, sejak kecilnya kesadaran sejarah kita maka pemahaman kita akan realitas nyata tanah dan air terdistorsi. Poskolonial menunjukkan kuasa kolonialisme dan penguasaan cara pikir agar lupa sejarah dan tidak kritis sengaja menggelapkan fakta misalnya mengapa Tidore dan Ternate perang terus dari turunan ke keturunan?

Karena diadu untuk penguasaan (having) rempah-rempah oleh pemerintah kolonial. Mengapa kerajaan Mataram baru Jawa dipecah berkeping-keping: Yogyakarta dibagi dua dan Surakarta dibagi dua? Jawabannya sama yaitu penguasaan.

Kesadaran sejarah yang tidak ditanam dalam-dalam sebagai cara melihat realitas perubahan Nusantara karena kesalahan kita semua (mulai dari pemerintahan, guru, pendidikan dan media). Hal ini menyebabkan “stratifikasi sosial” hasil hegemoni dan penjajahan masih saja ada di bawah sadar dan sadar kita tentang masyarakat tiga tingkatan, yaitu pribumi (paling bawah), Tiongkok (tengah), lalu tertinggi “asing” (saat kolonial Belanda ya Belanda).

Akibatnya, pokok ini jadi bulan-bulanan kebencian SARA yang membuktikan bahwa pendidikan nalar (rasionalitas) yang seharusnya membuat rasionalitas kritis apalagi emansipatorik menurut Habermas, ternyata hanya diawetkan untuk perilaku rasionalitas instrumentalis.

Oleh karena itu, kalau saja kini naskah-naskah Jawa kuno Zoetmulder yang diterus garap oleh Soepomo dan peneliti-peneliti mahir mengenai “tingginya peradaban” Jawa-Bali (bagian Nusantara) dan belum lagi pulau-pulau lain, menjadi titik tolak pembelajaran kita maka tafsiran perkembangan dari Nusantara menjadi Indonesia pasti akan cerah.

Karena itu, kita harus berani menaruh tafsir baru “tradisi” sebagai seluruh penghayatan olah nilai baik, indah, suci, dan benar yang membuat Anda yang dari Minang pasti punya nilai Minang. Anda pasti punya dasar kuat keislaman dan oleh pengalaman-pengalaman studi didalam dan diluar, yang menjadikan Anda seperti Anda sekarang.

Konkretnya, ketika sesama warga kembali saling berdialog dengan tradisi-tradisi kulturalnya dan bersama memprosesnya melalui pengalaman berbudaya tulis, berbudaya digital, visual, lalu saling memberi yang terbaik dan saling membuahi, di sana Indonesia yang lebih baik, sejahtera menurut pendiri bangsa akan setapak demi setapak dialami dan diwujudi bukan dalam slogan, retorika, pidato, atau tema seminar namun ditapaki kultural langkah demi langkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar