Sabtu, 06 September 2014

Berani Ambil Keputusan

Berani Ambil Keputusan

James Luhulima   ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 06 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PADA tanggal 27 Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan presiden terpilih Joko Widodo di Nusa Dua, Bali. Pertemuan itu dianggap penting karena mengawali sebuah tradisi baru dalam politik Indonesia. Mengingat, sebelumnya tidak pernah ada pertemuan antara presiden yang berkuasa dan calon penggantinya.

Soeharto menempatkan Soekarno ke dalam status tahanan rumah. Soeharto tidak mau bertemu dengan BJ Habibie, penggantinya, karena merasa dikhianati. Habibie juga tidak bertemu dengan Abdurrahman Wahid yang menggantikannya setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak MPR. Demikian juga antara Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, penggantinya, dan terakhir antara Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, penggantinya.

Keadaan di Indonesia bertolak belakang dengan keadaan di Amerika Serikat karena penggantian presiden dianggap sebagai hal yang biasa. Dengan demikian, pertemuan antara presiden yang berkuasa dan presiden terpilih yang akan menggantikannya menjadi pertemuan yang biasa-biasa saja. Bukan itu saja, di Amerika Serikat pun para mantan presiden tetap masih bertemu secara informal dalam suatu forum yang diberi julukan The President Club, atau kerap diberi nama The Most Exclusive Club in the World.

Pertemuan di antara presiden yang berkuasa dan presiden terpilih itu sangat penting. Bukan untuk membicarakan hal teknis dan praktis, tetapi lebih pada masalah psikologis. Seperti yang ditulis di kolom politik ini, 16 Agustus lalu, sebagai presiden, tidak jarang ia terisolasi sendirian ketika harus mengambil keputusan penting dan strategis yang dampaknya sangat besar atau memiliki kerahasiaan yang sangat tinggi. Sesuatu hal yang tidak dapat dibicarakan dengan siapa pun, termasuk orang-orang yang berada di lingkar dalam. Hal itu memberikan tekanan yang sangat besar pada diri presiden yang bersangkutan.

Jika tekanan ini sudah sampai ke batas yang tidak dapat ditahan, ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali membicarakan hal itu dengan orang, atau orang-orang, yang pernah berada di posisi yang sama, yakni para mantan presiden. Tidak heran jika di Amerika Serikat, The President Club juga sering disebut dengan The Secret Society of American Presidents.

Orang-orang yang berada di lingkar dalam tentunya tidak akan seandal orang yang pernah menduduki jabatan yang sama. Orang-orang di lingkar dalam dan para pakar itu, kan, hanya sebatas memberikan penilaian, pendapat, atau nasihat. Mereka tidak memikul tanggung jawab dan tekanan atas keputusan yang diambil.

Dengan demikian, mirip penonton atau komentator pertandingan sepak bola atau catur yang selalu merasa lebih pintar ketimbang orang yang bermain. Semua itu terjadi karena mereka tidak menanggung beban yang dirasakan pemain. Pada akhirnya, presidenlah yang harus mengambil keputusan dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh keputusan yang diambilnya.

Beruntung Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, nantinya akan mempunyai dua eks presiden, yakni Megawati dan Yudhoyono. Dengan demikian, jika ia harus mengambil suatu keputusan yang cepat dan tepat, ia bisa berbincang-bincang dengan dua mantan presiden itu.

Jika hanya mengandalkan Yudhoyono, bisa-bisa Jokowi malah bingung. Mengingat, maaf, Yudhoyono dikenal sebagai presiden yang lambat dalam mengambil keputusan. Dengan kata lain, saat keputusan itu akhirnya diambil, persoalan sudah selesai dengan sendirinya.
Selalu Ada Pilihan, itu adalah judul buku yang disusun Yudhoyono. Tidak ada yang salah dengan judul itu. Memang selalu ada pilihan, tetapi repotnya pilihan itu harus diambil, dan diambil dengan cepat.

Kita melihat betapa Yudhoyono membiarkan subsidi energi membengkak hingga lebih dari Rp 300 triliun. Akibatnya, pengeluaran bertambah sehingga pemerintah memerlukan utang luar negeri untuk menutup besaran pengeluaran. Dan, bukannya menyelesaikan persoalan itu, Yudhoyono mengalihkannya kepada pemerintahan Jokowi dengan berbagai alasannya.

Lebih cepat, lebih baik
                                     
Kita tentunya belum lupa, pada masa pemerintahan lima tahun Yudhoyono yang pertama (2004-2009), lebih banyak keputusan akhirnya diambil Wakil Presiden Jusuf Kalla. Memang tidak selalu keputusan yang diambil memberikan hasil sesempurna seperti yang diharapkan, tetapi pengambilan keputusan yang cepat itu dihargai. Oleh karena, jajaran yang berada di bawahnya mempunyai pegangan untuk bertindak. Tidak heran, saat maju ke pemilihan presiden, Jusuf Kalla menggunakan slogan ”lebih cepat, lebih baik”.

Pada saat itu, kita kerap bersyukur bahwa Jusuf Kalla mengambil keputusan dengan cepat. Ada beberapa masalah yang dapat diselesaikan, yakni persoalan di Aceh, Poso, dan Maluku. Namun, sesungguhnya kita akan lebih gembira jika presiden yang mengambil keputusan itu, dan bukan wakil presiden. Oleh karena, keputusan seperti itu seharusnya diambil oleh seorang presiden sebagai pemimpin yang tertinggi.

Memang, Jokowi baru di jabatannya sebagai presiden. Sementara Jusuf Kalla sudah berpengalaman menjadi wakil presiden. Namun, saya percaya, Jusuf Kalla akan menahan diri dengan tetap memberikan kesempatan kepada Jokowi untuk mengambil keputusan yang penting dan strategis.

Jangan sampai masyarakat menjadi bingung mengenai siapa yang sesungguhnya memerintah negara ini. Satu matahari saja sudah cukup panas, apalagi jika ada dua matahari. Namun, berdasar rekam jejak Jokowi selama ini, rasanya Jokowi akan berani mengambil keputusan yang cepat dan tepat, bukan karena dipengaruhi orang atau orang-orang tertentu, tetapi karena ia yakin dan percaya bahwa keputusan yang diambilnya dapat menyelesaikan persoalan yang menghadang di depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar