Berani
Ambil Keputusan
James Luhulima ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
06 September 2014
PADA
tanggal 27 Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan
presiden terpilih Joko Widodo di Nusa Dua, Bali. Pertemuan itu dianggap
penting karena mengawali sebuah tradisi baru dalam politik Indonesia.
Mengingat, sebelumnya tidak pernah ada pertemuan antara presiden yang
berkuasa dan calon penggantinya.
Soeharto
menempatkan Soekarno ke dalam status tahanan rumah. Soeharto tidak mau
bertemu dengan BJ Habibie, penggantinya, karena merasa dikhianati. Habibie
juga tidak bertemu dengan Abdurrahman Wahid yang menggantikannya setelah
pidato pertanggungjawabannya ditolak MPR. Demikian juga antara Abdurrahman
Wahid dan Megawati Soekarnoputri, penggantinya, dan terakhir antara Megawati
dan Susilo Bambang Yudhoyono, penggantinya.
Keadaan
di Indonesia bertolak belakang dengan keadaan di Amerika Serikat karena
penggantian presiden dianggap sebagai hal yang biasa. Dengan demikian,
pertemuan antara presiden yang berkuasa dan presiden terpilih yang akan
menggantikannya menjadi pertemuan yang biasa-biasa saja. Bukan itu saja, di
Amerika Serikat pun para mantan presiden tetap masih bertemu secara informal
dalam suatu forum yang diberi julukan The
President Club, atau kerap diberi nama The Most Exclusive Club in the World.
Pertemuan
di antara presiden yang berkuasa dan presiden terpilih itu sangat penting.
Bukan untuk membicarakan hal teknis dan praktis, tetapi lebih pada masalah
psikologis. Seperti yang ditulis di kolom politik ini, 16 Agustus lalu,
sebagai presiden, tidak jarang ia terisolasi sendirian ketika harus mengambil
keputusan penting dan strategis yang dampaknya sangat besar atau memiliki
kerahasiaan yang sangat tinggi. Sesuatu hal yang tidak dapat dibicarakan
dengan siapa pun, termasuk orang-orang yang berada di lingkar dalam. Hal itu
memberikan tekanan yang sangat besar pada diri presiden yang bersangkutan.
Jika
tekanan ini sudah sampai ke batas yang tidak dapat ditahan, ia tidak
mempunyai pilihan lain, kecuali membicarakan hal itu dengan orang, atau
orang-orang, yang pernah berada di posisi yang sama, yakni para mantan
presiden. Tidak heran jika di Amerika Serikat, The President Club juga sering disebut dengan The Secret Society of American Presidents.
Orang-orang
yang berada di lingkar dalam tentunya tidak akan seandal orang yang pernah
menduduki jabatan yang sama. Orang-orang di lingkar dalam dan para pakar itu,
kan, hanya sebatas memberikan penilaian, pendapat, atau nasihat. Mereka tidak
memikul tanggung jawab dan tekanan atas keputusan yang diambil.
Dengan
demikian, mirip penonton atau komentator pertandingan sepak bola atau catur
yang selalu merasa lebih pintar ketimbang orang yang bermain. Semua itu
terjadi karena mereka tidak menanggung beban yang dirasakan pemain. Pada
akhirnya, presidenlah yang harus mengambil keputusan dan menanggung akibat
yang ditimbulkan oleh keputusan yang diambilnya.
Beruntung Joko Widodo, yang akrab
disapa Jokowi, nantinya akan mempunyai dua eks presiden, yakni Megawati dan
Yudhoyono. Dengan demikian, jika ia harus mengambil suatu keputusan yang
cepat dan tepat, ia bisa berbincang-bincang dengan dua mantan presiden itu.
Jika hanya mengandalkan Yudhoyono,
bisa-bisa Jokowi malah bingung. Mengingat, maaf, Yudhoyono dikenal sebagai
presiden yang lambat dalam mengambil keputusan. Dengan kata lain, saat
keputusan itu akhirnya diambil, persoalan sudah selesai dengan sendirinya.
Selalu Ada Pilihan, itu adalah judul
buku yang disusun Yudhoyono. Tidak ada yang salah dengan judul itu. Memang
selalu ada pilihan, tetapi repotnya pilihan itu harus diambil, dan diambil
dengan cepat.
Kita
melihat betapa Yudhoyono membiarkan subsidi energi membengkak hingga lebih dari
Rp 300 triliun. Akibatnya, pengeluaran bertambah sehingga pemerintah
memerlukan utang luar negeri untuk menutup besaran pengeluaran. Dan, bukannya
menyelesaikan persoalan itu, Yudhoyono mengalihkannya kepada pemerintahan
Jokowi dengan berbagai alasannya.
Lebih cepat, lebih
baik
Kita
tentunya belum lupa, pada masa pemerintahan lima tahun Yudhoyono yang pertama
(2004-2009), lebih banyak keputusan akhirnya diambil Wakil Presiden Jusuf
Kalla. Memang tidak selalu keputusan yang diambil memberikan hasil sesempurna
seperti yang diharapkan, tetapi pengambilan keputusan
yang cepat
itu dihargai. Oleh karena, jajaran yang berada di bawahnya mempunyai pegangan
untuk bertindak. Tidak heran, saat maju ke pemilihan presiden, Jusuf Kalla
menggunakan slogan ”lebih cepat, lebih
baik”.
Pada
saat itu, kita kerap bersyukur bahwa Jusuf Kalla mengambil keputusan dengan
cepat. Ada beberapa masalah yang dapat diselesaikan, yakni persoalan di Aceh,
Poso, dan Maluku. Namun, sesungguhnya kita akan lebih gembira jika presiden
yang mengambil keputusan itu, dan bukan wakil presiden. Oleh karena,
keputusan seperti itu seharusnya diambil oleh seorang presiden sebagai
pemimpin yang tertinggi.
Memang,
Jokowi baru di jabatannya sebagai presiden. Sementara Jusuf Kalla sudah
berpengalaman menjadi wakil presiden. Namun, saya percaya, Jusuf Kalla akan
menahan diri dengan tetap memberikan kesempatan kepada Jokowi untuk mengambil
keputusan yang penting dan strategis.
Jangan
sampai masyarakat menjadi bingung mengenai siapa yang sesungguhnya memerintah
negara ini. Satu matahari saja sudah cukup panas, apalagi jika ada dua
matahari. Namun, berdasar rekam jejak Jokowi selama ini, rasanya Jokowi akan
berani mengambil keputusan yang cepat
dan tepat,
bukan karena dipengaruhi orang atau orang-orang tertentu, tetapi karena ia
yakin dan percaya bahwa keputusan yang diambilnya dapat menyelesaikan
persoalan yang menghadang di depannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar