Jejak
Persekongkolan dan Perselingkuhan Politik
Hamid Awaludin ; Dosen
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
|
KOMPAS,
06 September 2014
|
JARANG-jarang
sebuah undang-undang menjadi topik ingar-bingar politik yang lama menyita
perhatian sebagaimana gema yang timbul dari UU Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah alias UU MD3. Di tengah prestasi anggota Dewan yang
jeblok di bidang legislasi, revisi UU untuk membenahi pasal dan klausa UU No
27/2009 itu boleh dikata semacam pertemuan begitu banyak kepentingan politisi
dan partai-partai pemilik kursi di Senayan.
Sejumlah
kalangan menolak UU MD3 pada bagian yang secara telak mengubah tatanan yang
telah berlangsung sebelumnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian
Negara Republik Indonesia, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan
partai pemenang Pemilu 2014, PDI Perjuangan, adalah beberapa di antaranya.
Apa yang salah dari UU MD3?
Melampaui akal sehat
Perubahan
mendasar dari UU No 27/2009 yang termaktub di
UU MD3 ini, antara lain, adalah ditiadakannya Badan Akuntabilitas
Keuangan Negara (BAKN), Badan Anggaran (Banggar) menjadi alat kelengkapan
tetap DPR, pemanggilan dan permintaan keterangan anggota Dewan yang terlibat
tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden, dan perubahan tata cara
pemilihan pimpinan Dewan: tak lagi berdasarkan partai pemenang kursi
terbanyak di pemilu legislatif, tetapi lewat pemilihan di DPR.
Dengan
cara ini, partai Koalisi Merah Putih yang jumlahnya lebih banyak di DPR
dibandingkan partai pengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla kelak akan
menyisihkan peluang kader PDI Perjuangan untuk menjadi ketua DPR.
Bagian
yang terakhir ini sungguh membuat PDI Perjuangan sesak napas. Aroma
persaingan di ajang pemilihan presiden terasa kental. Pengesahan UU MD3
sehari sebelum hari-H pemilihan presiden berlangsung panas dan diwarnai
aksi walk-out. Dari 467 anggota Dewan
yang hadir, 12 anggota DPR dari Partai
Hanura, 19 dari PKB, dan 78 dari PDI Perjuangan menunjukkan penolakan yang
tegas dengan keluar dari ruang sidang. Tinggallah para anggota DPR dari
Partai Demokrat, Gerindra, Partai Golkar, PKS, PAN, dan PPP yang kemudian
secara aklamasi mengesahkan UU ini.
Tak
sulit mengidentifikasi dua kelompok ini: yang walk-out adalah koalisi partai pendukung Jokowi dan JK, dan yang
tinggal di ruangan adalah koalisi partai pendukung Prabowo Subianto dan Hatta
Rajasa.
PDI
Perjuangan melangkah ke ranah hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Perubahan
mendadak UU MD3 itu jelas adalah persekongkolan politik untuk menghambat PDI
Perjuangan, partai pemenang pemilu, untuk memimpin DPR.
Perselingkuhan
politik ini sudah melampaui akal sehat kita semua. Betapa tidak, UU yang
sama, mengatur tentang tata cara pemilihan pimpinan DPRD provinsi dan
kabupaten/kota tetap menggunakan formula bahwa ketua DPRD adalah parpol
berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD. Bagaimana mungkin
mekanisme dan formula pemilihan pimpinan DPRD berbeda dengan pimpinan DPR.
Bukankah mereka semuanya dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum
dengan standar, proses, penyelenggara, hari dan pemilih yang sama? Di mana
hati nurani dan rasa keadilan para anggota DPR yang terhormat itu?
Ketidakadilan ini secara kasatmata dapat diukur dengan inkonsistensi yang
mereka buat tersebut.
Dalam
praktik kehidupan demokrasi di dunia ini, yang kita temukan adalah partai
pemenang pemilu adalah dengan sendirinya menjadi ketua parlemen. Coba kita
lihat di Kongres AS dan Parlemen Inggris: siapa yang memenangi pemilihan
legislatif otomatis menjadi ketua parlemen. Tidak ada akal-akalan dan
persekongkolan. Ini konsekuensi dari pemilihan terbuka. Nalar kita sulit
sekali mencerna, apalagi menerima bahwa pemenang pemilihan legislatif tidak
bisa memimpin lembaga yang dimenanginya itu.
Alur
pikir lain yang bisa menopang keberatan kita dengan persekongkolan politik
ini ialah sistem pemilihan umum kita, yang menggunakan sistem daftar terbuka.
Artinya, para calon anggota legislatif yang diusung para partai politik,
untuk semua tingkatan di setiap daerah pemilihan, menganut sistem perolehan
suara terbanyak. Siapa saja calon yang memperoleh suara terbanyak di daerah
pemilihannya akan terpilih menjadi anggota legislatif, terlepas dari nomor
urut yang dimilikinya.
Makna
dari sistem seperti ini adalah orang yang memperoleh suara terbanyaklah yang
diberi kesempatan duduk di lembaga legislatif. Sealur dengan logika ini,
partai pemenang dalam pemilihan legislatiflah yang diberi kesempatan memimpin
lembaga legislatif. Bukan partai yang memperoleh suara lebih sedikit daripada
pemenang yang menjadi ketua lembaga legislatif.
Perselingkuhan politik
Aroma
perselingkuhan politik yang menjadi motivasi perubahan UU MD3 ini pelik
sekali untuk dihindari. Masalahnya, ia disahkan dalam tenggang waktu yang
patut dicurigai, yakni sehari menjelang dilaksanakannya pemilihan umum
presiden-wakil presiden, yang memang saat itu lembaga-lembaga survei yang
kredibel sudah menjagokan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang. Jadi, ini
semacam isyarat jelas kepada Jokowi-JK bahwa mereka boleh kalah dalam
pemilihan presiden-wakil presiden, tetapi menang dalam pemilihan ketua DPR.
Partai-partai
politik yang mengegolkan UU MD3 ini tidak berani mengubah UU tersebut sebelum
pemilihan legislatif karena mereka takut tidak dipilih oleh rakyat yang
menantang perubahan yang melindungi kepentingan para anggota Dewan yang
terhormat itu. Maka, kini lengkaplah sudah persangkaan publik selama ini
tentang ”patgulipat” politik di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar