Sabtu, 06 September 2014

Rancang Bangun Kabinet

Rancang Bangun Kabinet

Suwidi Tono  ;   Koordinator Forum”Menjadi Indonesia”
KOMPAS, 06 September 2014
                                      
                                                      

ANTUSIASME rakyat menggunakan hak pilih, partisipasi publik yang membuncah dalam menyukseskan dan mengawal pemilu presiden, menegaskan pesan besar perubahan. Hasrat dan kegairahan itu menghendaki respons sepadan dari Joko Widodo-Jusuf Kalla, presiden dan wakil presiden terpilih.

Ujian pertama adalah mengejawantahkan janji-janji dalam kampanye jadi program kerja. Manifestasi tekad itu mestinya tecermin pada postur institusi dan figur-figur yang mengisi tim kabinet 2014-2019. Ekspektasi publik yang tinggi mensyaratkan kecukupan stok pemimpin untuk menuntaskan problem bersegi banyak.

Menteri bukanlah pejabat tinggi biasa, tetapi sosok yang punya otoritas membuat dan mengubah kebijakan. Kualifikasinya tak sekadar pengakuan atas otentisitas personal, lebih dari itu: andal mengurai dan membongkar ramifikasi kepentingan serta memecahkan persoalan dengan urgensi berbeda-beda. Setiap program perlu peta jalan, transparansi, determinasi, dan keterlibatan para pemangku kepentingan.

Peta persoalan

Kita mengalami krisis eksekusi dan evaluasi sehingga terus mengidap problem menyengat kedaulatan bangsa. Ekses kemiskinan tindakan itu demikian kronisnya dan bermuara pada munculnya sejumlah persoalan pelik, mulai dari krisis energi, pangan, anggaran, infrastruktur, korupsi, rongrongan terhadap persatuan dan keberagaman, krisis karakter, kemiskinan, hingga aneka ketimpangan struktural.

Kita punya cetak biru strategi pembangunan bangsa jangka pendek, menengah, dan panjang di berbagai sektor strategis. Dokumennya tersedia sejak era awal kemerdekaan (Rencana Pembangunan Semesta Berencana) sampai versi mutakhir. Telaahnya kaya perspektif, visi menjulang dengan ultimate goals: kemandirian, kesejahteraan, keadilan, kemajuan bangsa. Sayangnya, selain tak dikerjakan persisten, kebijakan yang ditempuh acap kali malah meniadakan atau bertolak belakang dengan grand design tersebut.

Inventarisasi masalah yang membuat kebijakan strategis sering terbengkalai menunjuk pada akumulasi pertarungan kepentingan, krisis anggaran, dan menonjolnya pragmatisme. Awetnya modus ini dari rezim ke rezim tidak semata-mata merefleksikan kelemahan mempertahankan skala prioritas, tetapi juga mengabaikan stimulus berdurasi panjang.

Kemunduran serius di sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pendidikan, pertanian (termasuk perikanan, perkebunan, kehutanan), infrastruktur, demografi, pertambangan, manajemen demografi dan ketenagakerjaan, pengembangan riset dan iptek, koperasi, permukiman dan tata ruang, reformasi birokrasi dan hukum, serta otonomi daerah, mempertegas absennya kegigihan mengayun bandul pendulum untuk menggerakkan sequential impact. Keteledoran untuk jangka waktu lama ini mengisyaratkan bekerjanya bermacam agenda kepentingan yang melenceng dari cita-cita Indonesia berdaulat.

Pemerintahan Jokowi-JK mewarisi kelindan persoalan ini di tengah keterbatasan dan kemungkinan defisit dukungan parlemen. Dengan penghampiran positif, konstelasi ini seharusnya dapat memacu untuk menyusun tim kabinet progresif, kebijakan visioner, transparansi program dan prioritas jelas. Termasuk dalam agenda itu adalah melangsungkan perubahan struktur dan postur birokrasi pemerintahan menjadi lebih siap bekerja dengan memangkas kesenjangan PNS kategori administratif yang mencapai 80 persen, berbanding 20 persen fungsional.

Identifikasi terhadap kualitas dan implementasi anggaran negara memberi beberapa indikasi penting. Pertama, penerimaan pajak belum optimal. Peluang intensifikasi dan ekstensifikasi amat terbuka, antara lain melalui pencegahan praktik penggelapan, penghindaran, penipuan, termasuk transparansi perhitungan cost recovery pada perusahaan mineral dan batubara, serta transfer pricing pada perusahaan nasional dan multinasional. Institusi pajak yang bertanggung jawab atas 70 persen pendapatan negara seharusnya didorong memiliki cukup instrumen dan kewenangan.

Kedua, rendahnya disiplin fiskal di jajaran pemerintah pusat dan daerah selama ini tidak mendapatkan punishment setimpal sehingga terus berlangsung. Keterlambatan penyerapan dan salah alokasi dapat dimaknai kesewenang-wenangan terhadap penggunaan anggaran yang sebagian besar bersumber dari pajak rakyat.

Ketiga, beban yang terus membesar untuk subsidi (terutama BBM) dan pembayaran utang (termasuk obligasi rekap), selain membutuhkan kewaspadaan, juga memberi sinyal kekhawatiran semakin kecilnya daya ungkit anggaran untuk menggerakkan perekonomian. Turunan kondisi nasional ini serupa di daerah berdasarkan fakta: dari rerata 47 persen APBD yang berasal dari dana perimbangan APBN (DAU, DAK, dll), sebagian besar tersedot untuk belanja pegawai pemda, hanya kurang dari 20 persen untuk belanja modal.

Dalam tim Jokowi-JK cukup banyak figur berpengaruh dan berpengalaman mengusung kultur korporasi dengan mantra sangkil dan mangkus. Karakteristik yang menjiwai kultur itu lazimnya menafikan pemihakan kepada golongan miskin, baik yang bersifat natural, kultural, maupun struktural. Kompensasi kuratif dan subsidi sosial umumnya menggunakan pendekatan baku model corporate social responsibility. Dalam praktik lebih luas ia muncul dalam bentuk proyek capacity building, empowerment, dan seterusnya.

Pendekatan ini bukan saja jauh dari mencukupi, melainkan juga telah usang. Kita tidak sedang ”mendamaikan” ideologi kerakyatan yang menjadi aras utama kampanye Jokowi-JK dengan ideologi kemangkusan yang menjadi simbol entitas bisnis. Kita perlu mengingatkan bahwa di antara keduanya terbentang hasil dan dampak yang berlainan sama sekali, sekalipun tersedia peluang membagi kancah ”persaingan” dan ”persandingan”.

Etika bernegara

Presiden dan wapres adalah mandataris rakyat semua golongan. Paralel dengan keharusan pemimpin negara memahami postulat my loyalty to party ends when my loyalty to country begins, proses-proses politik yang menyandera, menghalangi kebijakan pro publik, sudah semestinya berhadapan dengan rakyat sebagai pemberi amanat. Hal ini berlaku bagi parpol, juga bagi presiden dan para pembantunya.

Pemilu raya juga memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD. Data mencatat, rapor lembaga legislatif dalam menjalankan tiga tugas pokoknya: budgeting, legislasi, dan pengawasan, selalu kurang memuaskan, bahkan memprihatinkan. Selain jajaran eksekutif yang mumpuni, kita perlu legislatif berkualitas untuk memastikan aspirasi rakyat menjadi prioritas utama segenap kebijakan negara.

Oleh karena itu, ukuran sukses bernegara lima tahun ke depan tidaklah semata tanggung jawab Jokowi-JK, tetapi juga semua anggota DPR yang dipilih rakyat untuk memperjuangkan dan mengawal aspirasinya. Pengingkaran atas tanggung jawab ini merupakan pelecehan terhadap amanat penderitaan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar