Balada
Faksionalisasi Partai
Arya Budi ;
Peneliti
Poltracking Institute
|
KORAN
TEMPO, 19 September 2014
Setelah Golkar, kini PPP terdengar riuh
berada dalam kontinum politik yang hampir sama: suksesi kepemimpinan partai.
Terlepas dari polemik kegagalan kepemimpinan Ical di Golkar dalam pemilu
maupun status hukum SDA bagi PPP, penyebabnya cukup jelas, agenda politik
2014 belum usai: 1) pengisian posisi pimpinan dan alat kelengkapan DPR; 2)
pengisian pos menteri kabinet Jokowi-JK. Factions
without party, demikian bab penting untuk menjelaskan cara partai politik
bekerja menurut Sartori (1976). Pesannya sederhana: faksi bahkan telah lahir
sebelum partai terbentuk.
Karakter organisasi partai memberi
sumbangsih penting bagi dinamika faksi partai. Dalam hal ini, ada dua fitur
utama pada karakter partai-partai di Indonesia, terutama 10 partai yang lolos
ke parlemen 2014–2019. Fitur pertama adalah partai tempat patron menciptakan
struktur. Berkaitan dengan fitur ini, bagi Demokrat, PDIP, dan Gerindra,
siapa pun yang menjadi sekjen atau ketua partai, seluruh kendala tetap berada
di bawah keputusan veto SBY, Megawati, dan Prabowo. Patronlah yang menentukan
otoritas politik sebuah struktur organisasi partai.
Kedua, partai tempat struktur menciptakan
patron. Hal paling sederhana untuk menjelaskan fitur ini: ketua umum yang
terpilih dalam Muktamar PPP atau Munas Golkar, dialah pemegang otoritas
tertinggi partai. Artinya, struktur partai adalah sumber legitimasi kekuasaan
patron pemenang. Pengelolaan kedua macam fitur dominan inilah yang menentukan
daya partai untuk menyintas.
Bila dicermati, dari 10 partai politik yang
lolos ke parlemen 2014–2019, gejolak dinamika internal partai terjadi pada
partai-partai pendukung Prabowo-Hatta dalam pemilihan presiden lalu. Dari
lima partai Koalisi Merah Putih, gejolak dua partai (PPP dan Golkar)
terdengar riuh oleh media. Sementara itu, Gerindra, PAN, dan PKS di bawah
masing-masing (para) patronnya terlihat adem-ayem, sekalipun kekohesifan
partai tak sepenuhnya stabil akibat penolakan para fungsionarisnya dalam
sikap partai terhadap RUU Pilkada. Adapun di kelompok sebelah (PDIP, NasDem,
PKB, dan Hanura), bahkan sayup-sayup perseteruan intra-partai tak terdengar
oleh publik. Hal ini wajar: partai lebih siap menang daripada siap kalah.
Bagaimanapun, sekali lagi, tujuan utama partai adalah memenangi pemilu (Strom, 1999).
Dalam sistem presidensial multipartai
seperti di Indonesia, pemilu presiden membuka dua akses paling penting bagi
koalisi pemenang. Pertama, penguasaan kursi eksekutif-presiden dan struktur
komposisi pembantunya-sehingga kontrol terhadap alat dan fungsi negara
membuka banyak keuntungan politik. Melalui akses ini, paling tidak definisi
siapa yang salah dan benar mampu "mengamankan" para kriminal
politik yang tergabung dalam koalisi akibat penguasaan alat negara.
Kedua, penguasaan kendali sumber daya di
mana keuntungan material, sekalipun konstitusional, mampu berimplikasi
terhadap perawatan suara sebagai sebuah siklus elektoral. Berkaitan dengan
hal ini, kita masih ingat akan kebijakan BLT sebelum pemilu presiden 2009.
Singkatnya, dua akses penting inilah yang menjelaskan partai-partai dalam
koalisi yang kalah menegosiasikan kembali keputusan politiknya, hingga
beresonansi terhadap dinamika faksi di setiap partai. Walaupun begitu, tentu,
konsolidasi demokrasi di Indonesia tidak lagi memungkinkan dua akses ini
digunakan secara leluasa.
Meskipun demikian, faksionalisasi yang
kasatmata di tubuh PPP saat ini dan Golkar beberapa waktu lalu juga terjadi
akibat sekuen politik inter-partai, baik antara partai-partai dalam satu
koalisi maupun keseluruhan partai yang lolos ke parlemen 2014–2019. Dalam
konteks post-election politics,
faksi terbentuk karena tarikan kepentingan para orang kuat partai dengan isu
tunggal: di dalam atau di luar kabinet. Tak bisa dibantah, 37 persen kursi
parlemen yang dimiliki koalisi Jokowi-JK memaksanya untuk bertangan terbuka
dan bahkan merangkul. Pada saat yang sama, para "patron
kontra-Jokowi" dalam koalisi Prabowo memanfaatkan surplus kursi 50+1 di
parlemen untuk membangun jangkar elektoral dari pusat hingga daerah yang bisa
menjadi prospektif bagi agenda 2019.
Skema pemilihan pimpinan dewan dalam UU MD3
dan polemik pemilihan kepala daerah oleh DPRD dalam RUU Pilkada adalah jalan
setapak agenda penguasaan 2014 dan kekuasaan pada 2019. Artinya, impitan dua
kepentingan inilah yang menjelaskan konstelasi politik inter-party sepuluh partai parlemen beresonansi terhadap dinamika
faksi dalam partai.
Kata kuncinya, systemness-meminjam istilah Panebianco (1988)-atau derajat
kesisteman sebagai sebuah bagian penting untuk mengukur tingkat kelembagaan
partai menjadi ujung akhir dinamika faksi partai. Apakah faksionalisasi yang
terjadi di PPP, Golkar, dan beberapa partai lain memiliki daya rusak yang
rendah terhadap koherensi fungsi struktur internal partai? Atau, apakah
partai bergerak secara otonom-tanpa intervensi partai lain atau pihak
berkepentingan di luar? Atau, justru gerak partai ditentukan oleh kontinum
politik antar-faksi yang dikendalikan oleh para orang kuat di luar partai,
kandidat capres, misalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar