Sabtu, 20 September 2014

Sila Keempat

Sila Keempat

Putu Setia  ;   Wartawan Senior Tempo
KORAN TEMPO, 19 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pancasila sudah banyak dihafal. Kalaupun masih ada yang salah mengucapkan, itu terjadi pada sila keempat yang berbunyi: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."

Sila ini juga membingungkan dalam membaca kata-kata "permusyawaratan/ perwakilan" itu. Apakah dengan "permusyawaratan atau perwakilan" atau "permusyawaratan garis miring perwakilan"? Apalagi Orde Baru memperkenalkan singkatan bergaya militer sehingga "garis miring" dibaca "garing". Bayangkan kalau kata itu dibaca: "permusyawaratan garing perwakilan". Aneh tapi benar.

Lalu apa arti tanda "/" itu? Ketika saya mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tingkat nasional pada 1994, saya tak mendapat penjelasan yang tegas dari mentor. Ada pendapat garis miring itu berarti "atau" dan ada yang berpendapat "dan/atau". Wah, yang terakhir ini lagi-lagi ada garing (eh, garis miring) yang biasa dalam bahasa hukum. Jadi, apakah kebijaksanaan yang diambil harus dalam bentuk musyawarah dan perwakilan, atau musyawarah saja dan perwakilan saja sama-sama benar?
Sila keempat ini sekarang kembali disebut-sebut dalam kaitan dengan RUU Pilkada. Koalisi Merah Putih (KMP), yang mengusung pilkada lewat DPRD, menggunakan sila keempat ini sebagai dasar argumentasi. Karena itu, RUU Pilkada disebutnya cermin demokrasi Pancasila.

KMP mau kembali ke Orde Baru. Pada era itu, presiden pun tidak dipilih oleh rakyat. Apakah Soeharto dipilih oleh MPR? Tidak. Soeharto tak mau ada pemilihan. Setelah MPR sah disebut "perwakilan", Soeharto ditunjuk dengan "musyawarah". Dia lalu menunjuk sendiri wakil presiden dan MPR memutuskannya dengan kata sakti: "tercapai musyawarah-mufakat bulat". Tak boleh ada lonjong sedikit pun.

Pernah ada pimpinan partai yang (pura-pura) membelot, yakni Dr. J. Naro. Ketua Umum PPP ini mencalonkan diri (hanya) sebagai wakil presiden. Banyak orang mengira ini akan jadi "sejarah baru", ada pemilihan wakil presiden. Tapi Soeharto kesal dan menjelang MPR melakukan "musyawarah", nama J. Naro tak disebut lagi sebagai calon wakil presiden. Naro cukup puas dengan membuat kartu nama: "mantan calon wakil presiden".

Demikianlah Soeharto memaknai sila keempat Pancasila, persis suara KMP sekarang, meskipun pemilu presiden tak disebut karena masih dalam koridor pilkada. Kira-kira apa yang ada dalam benak Bung Karno ketika melahirkan Pancasila? Bung Karno dalam pidatonya menyebutkan Pancasila digali dari bumi Indonesia.

Dalam kearifan budaya lokal Nusantara, pemimpin memang mengutamakan musyawarah-mufakat lewat perwakilan. Pada masyarakat adat Bali, misalnya, warga berkelompok dalam perwakilan. Perwakilan terendah bernama tempekan, di atas itu banjar, di atasnya lagi desa. Ketua adat, yang disebut bendesa, dalam merumuskan kebijakan cukup bermusyawarah dengan ketua-ketua perwakilan. Dengan demikian, warga tak harus terlibat dalam banyak rapat.

Namun dalam memilih pemimpin dari tingkat terendah sampai tertinggi, rakyat memilih secara langsung. Cara memilih pemimpin seperti ini juga lazim bagi masyarakat adat di luar Bali. Nah, kalau Bung Karno menggali Pancasila dari kearifan budaya lokal ini, mungkin sila keempat dimaksudkan bukan untuk memilih pemimpin. Disebut "mungkin" karena Bung Karno tak bisa lagi diwawancarai, kita hanya bisa belajar dari perjalanan sejarah bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar