Sila
Keempat
Putu Setia ;
Wartawan
Senior Tempo
|
KORAN
TEMPO, 19 September 2014
Pancasila sudah banyak dihafal. Kalaupun
masih ada yang salah mengucapkan, itu terjadi pada sila keempat yang
berbunyi: "Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."
Sila ini juga membingungkan dalam membaca
kata-kata "permusyawaratan/ perwakilan" itu. Apakah dengan
"permusyawaratan atau perwakilan" atau "permusyawaratan garis
miring perwakilan"? Apalagi Orde Baru memperkenalkan singkatan bergaya
militer sehingga "garis miring" dibaca "garing".
Bayangkan kalau kata itu dibaca: "permusyawaratan garing
perwakilan". Aneh tapi benar.
Lalu apa arti tanda "/" itu?
Ketika saya mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) tingkat nasional pada 1994, saya tak mendapat penjelasan yang
tegas dari mentor. Ada pendapat garis miring itu berarti "atau" dan
ada yang berpendapat "dan/atau". Wah, yang terakhir ini lagi-lagi
ada garing (eh, garis miring) yang biasa dalam bahasa hukum. Jadi, apakah
kebijaksanaan yang diambil harus dalam bentuk musyawarah dan perwakilan, atau
musyawarah saja dan perwakilan saja sama-sama benar?
Sila keempat ini sekarang kembali
disebut-sebut dalam kaitan dengan RUU Pilkada. Koalisi Merah Putih (KMP),
yang mengusung pilkada lewat DPRD, menggunakan sila keempat ini sebagai dasar
argumentasi. Karena itu, RUU Pilkada disebutnya cermin demokrasi Pancasila.
KMP mau kembali ke Orde Baru. Pada era itu,
presiden pun tidak dipilih oleh rakyat. Apakah Soeharto dipilih oleh MPR?
Tidak. Soeharto tak mau ada pemilihan. Setelah MPR sah disebut
"perwakilan", Soeharto ditunjuk dengan "musyawarah". Dia
lalu menunjuk sendiri wakil presiden dan MPR memutuskannya dengan kata sakti:
"tercapai musyawarah-mufakat bulat". Tak boleh ada lonjong sedikit
pun.
Pernah ada pimpinan partai yang (pura-pura)
membelot, yakni Dr. J. Naro. Ketua Umum PPP ini mencalonkan diri (hanya)
sebagai wakil presiden. Banyak orang mengira ini akan jadi "sejarah
baru", ada pemilihan wakil presiden. Tapi Soeharto kesal dan menjelang
MPR melakukan "musyawarah", nama J. Naro tak disebut lagi sebagai
calon wakil presiden. Naro cukup puas dengan membuat kartu nama: "mantan
calon wakil presiden".
Demikianlah Soeharto memaknai sila keempat
Pancasila, persis suara KMP sekarang, meskipun pemilu presiden tak disebut
karena masih dalam koridor pilkada. Kira-kira apa yang ada dalam benak Bung
Karno ketika melahirkan Pancasila? Bung Karno dalam pidatonya menyebutkan
Pancasila digali dari bumi Indonesia.
Dalam kearifan budaya lokal Nusantara,
pemimpin memang mengutamakan musyawarah-mufakat lewat perwakilan. Pada
masyarakat adat Bali, misalnya, warga berkelompok dalam perwakilan.
Perwakilan terendah bernama tempekan, di atas itu banjar, di atasnya lagi
desa. Ketua adat, yang disebut bendesa,
dalam merumuskan kebijakan cukup bermusyawarah dengan ketua-ketua perwakilan.
Dengan demikian, warga tak harus terlibat dalam banyak rapat.
Namun dalam memilih pemimpin dari tingkat
terendah sampai tertinggi, rakyat memilih secara langsung. Cara memilih
pemimpin seperti ini juga lazim bagi masyarakat adat di luar Bali. Nah, kalau
Bung Karno menggali Pancasila dari kearifan budaya lokal ini, mungkin sila
keempat dimaksudkan bukan untuk memilih pemimpin. Disebut "mungkin"
karena Bung Karno tak bisa lagi diwawancarai, kita hanya bisa belajar dari perjalanan
sejarah bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar