Penderitaan
Kebudayaan
Agus Dermawan T ;
Pengamat
Budaya dan Seni
|
KORAN
TEMPO, 19 September 2014
Presiden dan wakil presiden terpilih Joko
Widodo dan Jusuf Kalla baru saja mengumumkan jumlah kementerian untuk kabinet
mendatang. Berdasarkan rancangan yang sudah digadang-gadang, Kementerian
Kebudayaan, yang berpuluh tahun menempel pada Kementerian Pendidikan,
mendadak hilang. Sebagai "kompensasi", kebudayaan akan ditampung
dalam Kementerian Ekonomi Kreatif yang diwacanakan.
Hilangnya kebudayaan dalam kementerian dan
penyempitan kebudayaan menjadi sekadar produk ekonomi kreatif tentu akan
mengecewakan para pemikir kebudayaan. Sebab, kebudayaan-sebagai himpunan dari
cara manusia berpikir, berperasaan, dan berbuat sebagai anggota
masyarakat-memiliki aspek sangat luas dan abstrak, yang tidak bisa
dikomodifikasi.
Dari rancangan kabinet Jokowi-JK ini
masyarakat budaya tersadar bahwa kebudayaan dalam nomenklatur (tata nama),
yang merupakan tanda dari prioritas pemerintah Indonesia, memang menjadi
"si penderita" sejak lama. Pada masa Menteri Muhammad Yamin dan
Bahder Djohan pada 1950-an, kebudayaan diletakkan sebagai pelengkap
Kementerian Pendidikan dan Pengajaran, yang kemudian disebut PP&K
(Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan). Memasuki masa Orde Baru,
kementerian itu diringkas menjadi P dan K saja, atau Pendidikan dan
Kebudayaan.
Nomenklatur ini dikritik oleh budayawan
Boediardjo dalam sejumlah seminar. Pendidikan dan kebudayaan disebut sebagai
dua pekerjaan besar, yang seharusnya ditangani terpisah. Kementerian
Kebudayaan harus berdiri sendiri. Sementara itu, salah satu hasil kebudayaan
yang disebut kesenian juga merupakan karya berlingkup amat luas, yang
manifestasinya harus diwadahi secara spesial. Pikiran Boediardjo di kurun
lain disepakati Menteri Fuad Hassan, yang menangani Dikbud (Pendidikan dan
Kebudayaan). Sayang, Fuad Hassan keburu turun.
Baru pada medio 1998, seni memperoleh
posisi mandiri, dalam Kementerian Pariwisata dan Seni yang dipimpin Marzuki
Usman. Meski begitu, konon, seni di sini diposisikan sebagai penghias dunia
pariwisata saja. Sementara itu, kebudayaan masih dilekatkan di belakang
Kementerian Pendidikan.
Memasuki Orde Reformasi, kebudayaan tetap
cuma menempel-nempel. Menteri Jero Wacik pun memegang tampuk Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata. Lumayan, kebudayaan ditaruh di posisi depan, meski
dalam prakteknya kebudayaan habis dilibas program kepariwisataan.
Zaman berlanjut. Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata sekonyong-konyong dihapus oleh rezim SBY. Kebudayaan lalu
bergabung (lagi) dengan Pendidikan. Jadilah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Konon, untuk membagi pekerjaan, menteri mengangkat wakil menteri,
yang khusus menangani kebudayaan. Begitu tahu bahwa kebudayaan itu hakikatnya
abstrak, wakil menteri diam-diam menggeser programnya untuk menggarap yang
konkret. Dan yang konkret dalam kebudayaan adalah produk kesenian. Padahal,
di sebelah sana negara telanjur membentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif. Semua tahu, "ekonomi kreatif" tak lain produk kesenian
itu. Dalam situasi bertumpang-tindih, kebudayaan diam-diam terlupakan.
Kebingungan negara atas kebudayaan ujungnya
mengikis kebijakan anggaran yang membiayai policy kebudayaan. Padahal,
semua tahu, tanpa anggaran, penanganan kebudayaan tidak akan pernah berjalan.
Sekarang, kita sedang menunggu, adakah Jokowi-JK sama belaka dengan para
pendahulu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar