Bagaimana
Negara Mengakui Agama?
Zainal Abidin Bagir ;
Dosen
pada Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah pascasarjana, Universitas
Gadjah Mada
|
SATU
HARAPAN, 18 September 2014
Salah satu masalah
mendasar dalam pengelolaan keragaman agama di Indonesia adalah pengakuan atas
agama-agama. Jelas bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu” (Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945). Menguatnya perlindungan HAM
setelah Reformasi 1998, di antaranya dengan dikeluarkannya UU HAM (1998) dan
masuknya satu bab khusus HAM dalam amandemen konstitusi, memperkuat jaminan
itu. Namun semua ini hanya bermanfaat sejauh lingkup pengakuan negara atas
agama.
Dalam konteks itulah
beberapa pernyataan dan tindakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang
baru menjabat selama 2 bulan, menjadi penting. Dalam waktu singkat itu ia
telah menjamu beberapa perwakilan kelompok-kelompok agama minoritas
(Ahmadiyah, Syiah, Parmalim, Sunda Wiwitan, Sikh) yang selama ini kerap
terdiskriminasi bahkan mengalami serangan fisik. Ia juga telah mengunjungi
pengungsi Syiah Sampang di rusun di Sidoarjo, Jawa Timur, yang hari-hari ini
persis sudah dua tahun terusir dari kampung halaman mereka. Selain itu, ia
juga mengeluarkan pernyataan mengenai agama Baha’i.
Dengan itu semua pun,
mesti diakui bahwa sejauh ini belum ada perubahan kebijakan penting yang bisa
kita lihat. Jika dilandasi dengan niat politik yang baik, namun tanpa
mengubah kebijakan menyangkut agama yang sebagiannya masih diskriminatif,
sejauh manakah perbaikan bisa dibuat dalam tahap implementasinya?
Dua
Kategori ‘Agama’ di Indonesia
Menyangkut pengakuan
negara atas agama, apakah maksud istilah “agama yang diakui”, dan ada berapa
banyak agama yang diakui? Sesungguhnya istilah ini tak dikenal dalam UUD
maupun UU, yang bahkan tak menyebut nama agama-agama. Penyebutan itu muncul
dalam peraturan-peraturan tingkat yang lebih rendah. Salah satu sumber
terpentingnya adalah Penjelasan atas UU tentang Pencegahan Penodaan Agama
(PPA) yang berasal dari Penetapan Presiden pada tahun 1965. Pernyataan Menag
mengenai Baha’i pun sebagiannya mengutip kalimat dalam Penjelasan UU PPA itu.
Bagian Penjelasan dari UU
itu menyebut dua kategori (atau kelas?) agama. Kategori pertama adalah
“agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia”, yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). “Hal ini dapat dibuktikan
dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia.” Keenam agama ini
mendapat jaminan kebebasan, bantuan, dan perlindungan. Dalam kenyataannya,
enam agama inilah yang terwakili dalam Kementrian Agama, dalam struktur
setingkat Direktorat Jenderal, dan mendapat bantuan pendanaan dari APBN
(meskipun kasus Konghuchu lebih kompleks, dengan sejarah yang lebih berliku).
Kategori kedua muncul di
kalimat berikutnya, yang menyebut bahwa agama-agama lain di luar keenam agama
itu (contoh yang diberikan adalah Yahudi, Zoroastrianisme, Shinto, Taoisme)
“mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan
mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.”
Ada beberapa hal penting
yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, bahwa semua contoh yang diberikan
dalam kategori pertama maupun kedua adalah “agama dunia”, yaitu agama yang
ada bukan hanya di Indonesia tapi tersebar di banyak tempat lain di dunia.
Kedua, agama-agama dunia dalam kategori kedua dilindungi, tapi tak disebut
sebagai mendapatkan bantuan. Dalam praktiknya, mereka memang tak diakomodasi
dalam struktur Kementrian Agama. Jika mau menggunakan istilah yang terdengar
kurang enak tapi lebih sesuai dengan realitas, kita bisa katakan bahwa agama
kategori kedua itu sesungguhnya adalah agama kelas dua—dalam pandangan
negara.
Dalam pemahaman ini,
pernyataan Menag mengenai Baha’i sebetulnya tidak terlalu banyak. Pertama,
bahwa Baha’i adalah agama, bukan ‘aliran’ dalam suatu agama. Penegasan ini
penting, karena sebagian orang memahami Baha’i sebagai aliran dalam Islam,
dan ada beberapa insiden penyerangan atas mereka di Indonesia karena dianggap
sebagai “aliran menyimpang”, yang akan dibahas lebih jauh nanti. Sebagai
agama, Baha’i adalah agama kelas dua, yang “dibiarkan adanya” (frasa dari UU
PPA ini dikutip oleh Menag). Pemberitaan sebagian media yang menyebut bahwa
Baha’i sedang dipertimbangkan untuk menjadi “agama resmi ketujuh” adalah
jelas keliru. Jika ada yang mau disebut sebagai “agama resmi”, maka itu
adalah agama-agama dalam Kategori Pertama; namun yang disampaikan oleh Menang
adalah bahwa Baha’i adalah agama dalam Kategori kedua.
Target
Diskriminasi: Agama Lokal, Aliran Non-arus Utama dan Agama Kategori Kedua
Hal lain yang sudah tampak
dari penjelasan di atas adalah bahwa yang disebut sebagai “agama” oleh negara
memang adalah bahwa ia harus bersifat internasional, tidak lokal. Ini mungkin
ironis, karena justru agama-agama yang asli lahir dan tumbuh di Indonesia
tidak diakui, sementara yang diakui sebagai agama adalah yang datang dari
luar, namun inilah realitas kita sejak masa kemerdekaan.
Apa yang biasa disebut
“agama lokal” atau agama suku (indigenous religions), seperti Kaharingan dan
Ammatoa, juga aliran kepercayaan, tidak dianggap sebagai “agama”. Di antara
kelompok-kelompok yang diundang dalam acara berbuka puasa di rumah dinas
Menag pada 15 Juli 2004 adalah kedua kelompok yang tidak masuk dalam definisi
“agama” itu.
Selain kedua kelompok itu,
yang juga diundang adalah kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Keduanya, dalam
pengakuan mereka sendiri, adalah bagian dari Islam namun dianggap sebagai,
dalam bahasa UU PPA, “menyimpang” dari pokok-pokok ajaran Islam. Di beberapa
tempat mereka kerap diserang tanpa perlindungan berarti oleh negara; mereka
juga menjadi objek regulasi yang membatasi bahkan melarang aktifitas mereka.
Di Wisma Transito, Mataram, saat ini ada sekitar 100 orang Ahmadi yang telah
mengungsi dari beberapa desa di Lombok sejak tahun 2006, dan tak bisa kembali
ke rumah mereka. Sedangkan di sebuah rumah susun di Sidoarjo, ada hampir 200
orang Syiah yang sudah dua tahun ini terusir dan tak bisa kembali ke kampung
halaman mereka di Sampang, Madura. Para pengungsi di negara sendiri itu kini
banyak yang sudah tak memiliki KTP dan kehilangan lebih banyak lagi hak-hak
mereka atas terpenuhinya kebutuhan dasar, pendidikan, maupun pekerjaan.
Baik kelompok agama
kategori kedua (seperti Baha’i dan Sikh), penganut agama lokal, aliran
kepercayaan, maupun aliran-aliran dalam Islam yang dianggap “menyimpang”
menmgalami nasib serupa: stigmatisasi, yang bisa berakibat konflik, dan
diskriminasi karena tak adanya atau lemahnya pengakuan negara. Semua
kelompok-kelompok di atas pernah mengalami serangan fisik oleh masyarakat
karena stigmatisasi sebagai aliran sesat, atau tidak beragama (artinya ateis
dan komunis?)
Wujud diskriminasi negara
atas mereka muncul, misalnya, karena kesulitan atau ketidakjelasan mengisi
kolom agama di KTP. Hal ini mempengaruhi akses mereka pada pekerjaan (apalagi
jika mendaftar sebagai pegawai negeri, polisi atau tentara). Terkait dengan
pendidikan agama di sekolah yang merupakan kewajiban, anak-anak mereka juga
tidak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama mereka sendiri, dan
sebagian besar harus mempelajari agama lain.
Makna
Penting Pernyataan Menag
Dua Kementrian yang paling
bertanggung jawab atas situasi diskriminasi ini adalah Kementerian Agama dan
Kementerian Dalam Negeri. Mereka tak bisa bergerak banyak dalam medan yang
dibelenggu oleh kebijakan lama yang represif.
Namun lebih dari itu, kita
melihat bahwa negara, atas nama pemeliharaan kerukunan dan menjaga
ketertiban, sering tunduk pada tuntutan “massa” (tepatnya kelompok-kelompok
agama otoriter) yang mengatasnamakan mayoritas, dan memilih merugikan kelompok-kelompok
minoritas tersebut. Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, misalnya, telah
pernah menyebut Ahmadiyah dan Syiah sebagai kelompok menyimpang, menyarankan
mereka “kembali” kepada ajaran agama yang benar, bahkan terlibat cukup jauh
hingga memfasilitasi—atau setidaknya menyaksikan—“pertobatan” massal
kelompok-kelompok itu. Selain menambah luka kelompok-kelompok kecil yang
terdiskriminasi itu, di sini menjadi tidak jelas tugas negara yang harus
melayani semua warga negara tanpa membedakan agama dan kepercayaan mereka,
dengan keinginan menjaga kemurnian teologis yang seharusnya byukan wilayah
wewenang negara.
Dalam konteks inilah
kesediaan Menag Lukman Hakim Saifuddin untuk setidaknya mendengarkan dan
berhubungan langsung dengan kelompok-kelompok tersebut terasa cukup segar.
Setelah memberikan isyarat-isyarat politik yang positif itu, kita tentu
berharap ia berbuat lebih jauh.
Misalnya, bersama Mendagri
ia semestinya memastikan kelompok non-“agama resmi” tak diingkari hak-hak
sosialnya hanya karena implementasi kebijakan mengenai KTP yang tak
konsisten, dengan segala implikasinya. Dalam hal pendidikan, di lapangan
terkadang isunya hanya teknis: bagaimana mendapatkan guru untuk
kelompok-kelompok kecil itu. Sementara untuk para pengungsi Ahmadiyah dan
Syiah, sembari upaya pemulangan mereka secara permanen dilakukan, hak-hak
dasar mereka tak boleh makin hilang.
Mengubah regulasi
membutuhkan waktu. Namun dalam dalam keterbatasan regulasi saat ini pun,
setiap warga negara, terlepas dari keyakinan agamanya—termasuk apakah
keyakinan itu dinilai keliru atau tidak—perlu diperlakukan sebagai manusia
bermartabat dan harus diakui hak-haknya sebagai warga negara, tak berbeda
dari kelompok-kelompok besar lain. Inilah kiranya yang
menjadi tugas besar Menteri Agama berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar