Sabtu, 20 September 2014

Analisis Pilkada, Siapa Untung Siapa Buntung?

Analisis Pilkada, Siapa Untung Siapa Buntung?

Herdi Sahrasad  ;   Pengamat Politik
INILAH.COM, 16 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Polemik RUU Pilkada kian memanas seiring munculnya wacana mengembalikan pemilihan melalui DPRD. Sejumlah debat publik dan protes di kalangan akar rumput bermunculan dengan berpijak pada dua argumen yang saling berlawanan satu sama lain. Ada apa gerangan?.

Kita mencatat, Pertama, ada argumen yang pro terhadap Pilkada langsung—dipilih oleh rakyat; dan kedua argumen yang anti Pilkada langsung—dipilih melalui DPRD.

Mohamad Nabil, Direktur Riset Freedom Foundation menuturkan bahwa argumen pertama merujuk pada hilangnya hak-hak konstitusi dari masyarakat untuk memilih pemimpin yang mereka inginkan bila Pilkada langsung ditiadakan. Dan hal itu hanya meneguhkan oligarki partai politik di mana calon Gubernur, Bupati dan Walikota bisa ditentukan dari pusat (Jakarta). Dengan demikian, pola ini dianggap tak akan menghasilkan pemimpin yang dekat dengan rakyat, tetapi dekat dengan DPRD dan orang-orang partai di tingkat pusat.

Argumen kedua, kata Nabil, berpijak pada carut-marut Pilkada langsung yang selama ini memunculkan konflik dan korupsi. Data yang dihimpun sejumlah lembaga, termasuk Kementerian Dalam Negeri, Pilkada langsung memakan ongkos yang sangat mahal tidak hanya dalam soal biaya, tetapi juga solidaritas sosial antarpendukung menjadi pecah dan korbannya sudah banyak. Realitas ini semakin menyeramkan ketika kasus korupsi menjerat ratusan Kepala Daerah gara-gara ingin mengembalikan modal yang dikeluarkan saat Pilkada.

Pada dua pokok argumen inilah dilema muncul: ke mana pilihan harus diarahkan? Karena kedua argumen tersebut memiliki plus-minusnya masing-masing. Meski Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) merupakan wujud kedaulatan rakyat, tapi faktor biaya dan tujuan yang tidak optimal menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi dan mengubahnya menjadi tak langsung.

Pilkada langsung jadi dilematis karena negara dan pasangan calon sudah mengeluarkan banyak uang tapi hasilnya tidak optimal. Yang dimaksud dengan tidak optimal adalah target yang tidak sesuai harapan.

Anggaran Pilkada langsung di Indonesia bisa menelan biaya sebesar Rp41 triliun. Jika Pilkada bisa diubah menjadi Pilkada tak langsung makan biaya bisa dialihkan untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia yang keadaannya sangat menyedihkan. Apalagi, jumlah itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan oleh pasangan kepala daerah, kadang harus mengeluarkan dana puluhan sampai ratusan miliar. Sehingga dengan pilkada melalui DPRD, segala biaya itu bisa dihemat.

Ketidakoptimalan Pilkada itu kelihatan dari banyaknya kepala daerah yang masuk penjara karena berbagai pelanggaran. Para bupati banyak yang melakukan korupsi dan hal negatif lainnya karena mereka harus ‘kembali modal’ ketika mencalonkan menjadi bupati atau gubernur. Tak bisa dipungkiri ketika mencalonkan diri mereka melakukan politik uang untuk menarik massa memilih mereka.

Sehingga, dengan cara Pilkada tak langsung, maka money politics bisa dilokalisir. Di sini peran seluruh masyarakat dan perangkat negara seperti KPK untuk mengawasi calon dan DPRD. Dan kontrol dari keduanya harus bersifat massif terhadap calon yang akan bertarung di pilkada. “Jika perlu mereka dikarantina,” kata Nabil.

Menurut Mohamad Nabil (Direktur Riset Freedom Foundation), bila kita refleksi ke belakang, Pilkada secara langsung bisa dikatakan pencapaian reformasi yang ”tak terkendali.” Disebut demikian karena Pilkada langsung diberlakukan di seluruh tempat dan wilayah tanpa mempertimbangkan aspek lokalnya. Karena itu keberhasilannya pun masih sangat terbatas dan bergantung pada kesiapan aspek-aspek di tingkat lokal. Banyak sekali data yang memperkuat argumen ini.

Pilkada langsung adalah eksperimen demokrasi liberal di mana para penganjurnya berharap akan muncul kekuatan politik masyarakat madani (civil society) di tingkat lokal. Meski tujuan Pilkada langsung baik, yaitu untuk memperkuat partisipasi politik masyarakat di tingkat lokal, namun masih banyak kelemahannya karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek lainnya. Akan tetapi niat baik saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan. Niat baik tanpa pemahaman yang baik justru bisa membawa malapetaka yang lebih gawat. Celakanya, kenyataan seperti itulah yang diperagakan oleh banyak Pilkada langsung selama ini.

Di satu sisi, Pilkada langsung dimaksudkan untuk memperkuat demokrasi di tingkat lokal dan mempersempit praktek money politics (politik uang). Tapi di sisi lain, karena tanpa pemahaman yang memadai, Pilkada langsung malah memperluas praktek politik uang dan meneguhkan kembali konflik identitas di kalangan masyarakat. Tak hanya itu, biaya Pilkada langsung yang sangat mahal justru menjadi penyubang terbanyak pada tumbuh suburnya korupsi di tingkat lokal.

Karena itu, pada beberapa level, capain reformasi kita dalam konteks Pilkada langsung, bukan hanya “reformasi”, tapi justru “revolusi” yang tak terkendali. Hal itu terbukti dengan produk Pilkada langsung yang secara serempak diberlakukan di seluruh Indonesia tanpa mempertimbangkan kapasitas lokal.

Padahal, untuk negara-negara maju saja, seperti Amerika, Inggris, Jerman, Prancis, Jepang dan Korea Selatan misalnya, masih melihat kapasitas lokalnya. Jadi, ada tempat-tempat tertentu di sana yang pemilihan kepala daerahnya dilakukan secara langsung, namun ada pula yang dipilih tidak secara langsung—melalui Dewan Kota, atau sejenis DPRD di Indonesia.

Sementara di negeri ini, mulai dari ujung timur Irian Jaya hingga ujung barat Nanggoroe Aceh Darussalam yang baru keluar dari konflik akut juga diberlakukan Pilkada langsung. Alhasil, Pilkada langsung tidak hanya melahirkan korupsi, tetapi juga meneguhkan kembali konflik dan semangat tribalisme.

Di daerah-daerah seperti Papua, Pilkada langsung malah menumbuhkan kembali identitas politik antarsuku, yang pada dasarnya bertentangan dengan cita-cita dan semangat baru. Bahkan mengulang seluruh sejarah perjuangan para misionari yang berusaha menghapus ketegangan antarsuku berabad-abad lamanya.

Atas dasar itu pula, di dalam demokrasi juga tidak ada pilihan yang one send for all, yaitu satu pilihan yang diberlakukan untuk semua. Dalam konteks Pilkada langsung, tidak serta-merta harus diberlakukan untuk seluruh daerah tanpa mempertimbangkan kapasitas lokal. Mentang-mentang ada Pilkada langsung, maka di seluruh tempat dan wilayah harus Pilkada langsung juga?

Menengahi polemik argumentasi dua kutub di atas yang kian hari kian memanas, Presiden SBY sebagai pengusul RUU Pilkada datang dengan ide mempertahankan Pilkada langsung dengan sejumlah revisi yang layak dipertimbangkan.

Beberapa idenya antara lain: 1) Setuju Pilkada langsung dengan catatan ada penegasan secara eksplisit dalam UU Pilkada terkait kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pendukung, maka yang kena delik hukum adalah calon yang didukungnya. 2) Terkait money politics harus tercantum jelas sebagai delik pelanggaran yang dibebankan kepada calon yang didukung. 3) Varian tawaran SBY Gubernur dipilih DPRD, Bupati/Wali Kota dipilih secara langsung karena bersentuhan langsung dengan masyarakat, sementara Gubernur dipilih melalui DPRD mengingat kapasitasnya berada dalam posisi antara: penyambung pusat ke daerah sekaligus penyambung daerah ke pusat.

Tawaran ini merupakan terobosan yang baik dalam menutup kelemahan Pilkada langsung. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar