Rabu, 03 September 2014

Analisis Dampak Regulasi

Analisis Dampak Regulasi

Romli Atmasasmita  Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran Bandung
KORAN SINDO, 02 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Analisis Dampak Regulasi (ADR) atau Regulatory Impact Analysis (RIA) telah dipraktikkan pada empat era pemerintahan Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa, termasuk negara-negara baru di wilayah Eropa Timur.

Analisis ini menggunakan pendekatan analisis ekonomi mikro dalam proses penetapan kebijakan publik yang berpijak pada apa yang seharusnya dilakukan (what ought to do) dan tidak semata-mata pada apa yang terjadi (what is) atau apa yang telah terjadi (ex ante). Evaluasi melalui ADR/RIA merupakan sarana hukum yang bertujuan menemukan solusi atas perkiraan dampak yang akan terjadi dengan diberlakukannya suatu undang-undang yang terkait kepentingan publik secara luas.

Evaluasi tersebut tidak menggunakan pendekatan abstraksi-logis dan metafisik sebagaimana lama dianut para ahli hukum, melainkan menggunakan pendekatan ”cost and benefit ratio”.

Pendekatan kedua ini telah berhasil setidaknya di negaranegara yang telah disebutkan di atas: mempertemukan penilaian benar (right) dan salah (wrong) dan penilaian ”risiko (cost) dan untung (benefit)” sehingga jika disandingkan akan tampak sinkronisasi antara tujuan hukum (Aristoteles) dan prinsip-prinsip ekonomi (Cooter dan Ullen). Sinkronisasi tersebut ada pada tiga pasang variabel yaitu prinsip ekonomi keseimbangan dengan tujuan hukum kepastian hukum; efisiensi dengan keadilan; serta maksimalisasi dengan kemanfaatan.

Keenam variabel tersebut merupakan interelasi yang solid dan bersifat interdepensi satu sama lain. Jika hubungan tersebut dipahami benar oleh ahli hukum dan ahli ekonomi, dapat membentuk suatu ekosistem peradilan pidana (EKOSPP) yang sangat produktif dan mendukung keberhasilan sistem peradilan pidana Indonesia. Karena bekerjanya hukum dalam kenyataan selalu dipertimbangkan dampak regulasi secara objektif, terukur, dan pasti.

Contohnya dalam pemberantasan korupsi, biaya perkara sekitar Rp50 juta-100 juta tidaklah rasional jika kejaksaan atau KPK tetap melanjutkan proses penyidikan dan pemeriksaan sidang pengadilan jika perkara korupsi telah merugikan keuangan negara jauh di bawah batas biaya perkara tersebut. Sebaliknya, tentu masyarakat bertanya-tanya bagaimana dengan efek jera terhadap pelakunya? Pandangan kita tentang efek jera dari suatu tindakan hukum pidana seharusnya diartikan dalam konteks pemulihan status hukum pelaku dari orang hukuman menjadi manusia berguna bagi bangsa dan negara.

Konsep ini dalam referensi hukum modern dikenal sebagai ”keadilan restoratif”, lawan dari ”keadilan retributif” dan dampak terhadap kepentingan keuangan negara. Bukankah dengan penanganan perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara jauh di bawah biaya perkara tersebut hanya akan menghasilkan dua kerugian negara, yaitu pertama disebabkan biaya perkara akan bertambah besar dan waktu yang cukup lama, 400 hari sampai putusan PK, dan biaya makan seorang narapidana dalam waktu minimum empat tahun sebesar Rp15.000 per hari.

Sebab kedua, negara kehilangan waktu dan fokus pada nilai kerugian keuangan negara yang sangat signifikan setidaknya di atas biaya perkara tersebut di atas. Penanganan perkara yang kontra-produktif ini mengakibatkan penambahan kerugian keuangan negara dua atau tiga kali lipat dari kerugian keuangan negara yang seharusnya dikembalikan (diselamatkan) kepada negara.

Penelitian M Jusuf (2013) menemukan nilai kerugian keuangan negara yang berhasil diselamatkan dalam kurun waktu lima tahun (2007-2012) tidak mencapai 50% dari total kerugian keuangan negara dari korupsi sebesar Rp180.309.318.403,96 (19,5%), dan USD37.261.549,65 (20,28%). Bahkan dalam laporan ICW, nilai kerugian keuangan negara dari pengelolaan sumber daya alam, yaitu Rp169,7 triliun dari illegal logging, dan Rp300 triliun dari illegal fishing, sampai saat ini belum secara maksimal diselamatkan/dikembalikan kepada negara.

Merujuk pada pendekatan ”cost and benefit ratio” dibandingkan dengan pendekatan ”benar dan salah” serta kenyataan inefisiensi pengembalian kerugian keuangan negara terbukti bahwa politik hukum pidana nasional selama kurun waktu dua masa pemerintahan SBY, khususnya dalam pemberantasan korupsi, telah gagal. Sebaliknya, klaim keberhasilan hanya tampak dari sejumlah pejabat tinggi telah diseret KPK dan dijebloskan ke dalam penjara, namun secara riil ternyata tidak tampak efek jera yang signifikan– dengan semakin banyaknya korupsi dan koruptor–dan tidak jelas letak keuntungan (benefit) bagi kepentingan tujuan mencapai kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan di dalam Bab XIV UUD 1945.

Kesejahteraan rakyat tidak berbanding lurus dan secara linear diklaim sebagai keberhasilan sebanyak-banyaknya menjebloskan pelaku korupsi ke dalam penjara. Bahkan yang terjadi, koruptor telah menjadi kelas masyarakat eksklusif di dalam penjara yang memiliki pengaruh dan kekuatan uang untuk ”mengatur” kehidupan mereka di dalam penjara.

Solusi yang bijak adalah pemimpin nasional, eksekutif dan legislatif, serta masyarakat sipil dan para ahli hukum dan ekonomi harus menyatukan visi dan misi serta program-program nyata secara rasional (bukan emosional) melalui penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar