Menanti
Momentum Kenaikan BBM
M Luthfi Munzir ; Penulis Lepas
|
HALUAN,
02 September 2014
Untuk sementara,
masyarakat boleh bernafas lega. Pemerintah menegaskan dan memastikan tidak
akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi hingga berakhirnya
masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kepastian itu didapat
dan diketahui publik setelah SBY bertemu empat mata dengan Presiden Republik
Indonesia terpilih Joko Widodo, akhir pekan lalu. Disinyalir agenda pertemuan
kedua tokoh tersebut membicarakan permasalahan BBM yang sejak sepekan
terakhir menjadi langka.
Di Sumatera Barat, kelangkaan
BBM bahkan masih terjadi hingga saat ini di sejumlah SPBU. Meski setelah
beberapa hari terjadi kelangkaan BBM, pemerintah dan Pertamina memastikan pasokan
BBM kembali normal sejak Jumat (29/8) pekan lalu. Pemandangan masih panjangnya
antrean BBM di SPBU atau BBM yang seringkali kosong di SPBU masih bisa
dijumpai. Seperti di dua SPBU di jalan lintas Padang-Painan yang saya pantau,
Sabtu-Minggu (30-31/8).
Pertemuan SBY dan Jokowi
memberi sinyalemen sebagai bagian dari upaya politik agar antara pemerintahan
SBY dan pemerintahan baru Jokowi bisa sama-sama berbagi peran dalam hal
kebijakan BBM. Artinya, agar beban kenaikan BBM tidak semata tertumpu kepada
pemerintahan baru Jokowi-JK, tetapi diupayakan dibagi bersama sebelum masa
pemerintahan SBY-Boediono berakhir 20 Oktober 2014.
Jika memang benar upaya
politik yang dilakukan Jokowi demikian, rasanya hampir mustahil SBY mau untuk
menanggung beban politik tersebut. SBY mungkin bisa saja berdalih bahwa
selama masa pemerintahannya bersama Boediono, sudah dua kali dilakukan
kenaikan harga BBM. Sehingga tidak mungkin lagi untuk menambah beban rakyat
dengan kembali menaikkan harga BBM. SBY tengah mengungkapkan rasionalitas
dan simpatinya kepada rakyat yang dinilainya akan ikut menanggung beban
kenaikan BBM. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya pemerintah menekan angka
kemiskinan yang diklaim terus mengalami tren penurunan sejak lima tahun
terakhir. Tentu saja, SBY tidak ingin dampak kenaikan BBM akan berimbas
kepada kembali tingginya angka kemiskinan di negeri ini.
Bila kita cermati lebih
lanjut, faktor politis tidak bisa dilepaskan dari sikap SBY tersebut. Pertama; SBY, Partai
Demokrat dan koalisinya yang saat ini berada di pemerintahan hendak
menjaga citra yang cukup baik di mata masyarakat. Ia tidak hendak membuat
gaduh dengan sisa waktu pemerintahannya sekarang. Partai Demokrat
sedang berupaya mengembalikan kepercayaan publik setelah sejumlah
kadernya tersangkut kasus korupsi.
Kedua; Di masa pemerintahan
SBY-Boediono, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah partai
yang menolak kebijakan SBY menaikkan harga BBM. Sehingga menjadi mustahil
rasanya, pertemuan antara SBY dan Jokowi beberapa waktu lalu akan memberi
kesimpulan bahwa SBY akan dengan legowo menerima “beban bersama” kenaikan
harga BBM. Posisi tawar saat ini ada di tangan SBY untuk mengembalikan citra
diri dan partainya terkait kebijakan yang controversial seperti kenaikan
harga BBM.
Ketiga; secara politis di
tahun 2014 ini, SBY menegaskan Partai Demokrat akan menjadi partai “tengah”
dengan kecenderungan untuk berada di luar pemerintahan. Ini artinya, Partai
Demokrat akan mengambil alih posisi PDIP yang sebelumnya berada di jalur
oposisi. Mengawal jalannya pemerintahan baru di tangan Jokowi-JK. Oposisi
biasanya diterjemahkan untuk menekan kebijakan pemerintah yang tidak sejalan
dengan kepentingan rakyat. Maka, menjadi terbuka peluang Partai Demokrat
untuk mengkritisi setiap kebijakan pemerintah yang dipandang keluar dari
kepentingan rakyat.
Bila ditarik lagi
perjalanan menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 memperlihatkan
dua kubu besar yang saling bertarung. Prabowo-Hatta yang didukung Partai
Gerindra, PAN, PKS, PPP, PKB, dan Partai Demokrat.
Sementara Jokowi-JK
didukung PDIP, Nasdem, Hanura, dan PKPI. Pertarungan kedua koalisi besar
tersebut tampaknya belum akan berakhir setelah Pilpres 2014 usai. Publik
melihat upaya politik yang dilakukan barisan koalisi merah putih yang
mendukung Prabowo-Hatta usai dinyatakan kalah dalam rekapitulasi penghitungan
suara secara nasional yang dilaksanakan KPU, 22 Juli lalu.
Upaya hukum yang diklaim
koalisi merah putih mencari keadilan atas kecurangan yang terjadi secara
terstruktur, sistematis, dan massif dalam penyelenggaraan Pilpres 2014 ke
Mahkamah Konstitusi pun dilakukan. MK menyatakan menolak gugatan
kubu “koalisi merah putih”. Setelah kegagalan tersebut, tampaknya kini
koalisi merah putih juga hendak memposisikan diri sebagai bagian dari
oposisi mengawal jalannya pemerintahan Jokowi-JK.
Tekanan politik dari kubu
yang berseberangan bisa tidak terelakkan. Posisi oposisi agak sedikit
menguntungkan bagi koalisi merah putih untuk melanjutkan pertarungannya
dengan koalisi pemenang Pilpres 2014 sepanjang pemerintahan Jokowi-JK. Bagi
presiden dan wakil presiden terpilih, tentu situasi saat ini bukanlah perkara
mudah. Tidak ada waktu bermain-main bagi pemimpin terpilih. Tim transisi yang
dibentuk Jokowi-JK bisa jadi upaya mengejawantahkan harapan publik yang cukup
besar kepada kedua pasangan ini.
Publik saat ini tentah
menunggu, kebijakan apa yang akan diambil oleh Jokowi-JK dalam hal menyikapi
BBM ini pasca dilantik 20 Oktober 2014? Apakah memang seperti yang pernah
dibaca publik bahwa Jokowi-JK akan menaikkan harga BBM dengan dalil bahwa
kebijakan BBM yang ada saat ini tidak tepat sasaran dan membebani APBN? Ingat
bahwa PDIP yang saat ini mendukung Jokowi-JK beberapa kali menolak kenaikan
BBM.
Hal terpenting sesungguhnya
yang diharapkan publik adalah bukan perkara kebijakan menaikkan BBM atau
tidak, tetapi alasan-alasan dan rasionalitas yang perlu dijelaskan kepada
publik tentang kenapa BBM naik, kenapa BBM tidak naik. Apa pertimbangan
pemerintah dalam memutuskan kebijakan tersebut. Dengan transparansi
pemerintah kepada publik, publik akan menilai apakah alasan-alasan yang
digunakan pemerintah sejalan dengan kenyataannya. Disanalah feedback dari kebijakan yang
diputuskan pemerintah akan berlaku. Harapannya, tentu pemerintah perlu pula
mencermati dan mempelajari feedback yang ada untuk
mengambil kebijakan lanjutan.
Pada posisi itu pula
keseimbangan antara berada dalam pemerintahan dan berada di luar
pemerintahan atau oposisi akan menciptakan nada check and balance.
Sehingga kita berharap, kedewasaan berpolitik para elite. Berada di oposisi
tidak semata menolak setiap kebijakan pemerintah, tetapi mempelajari
kebijakan pemerintah tersebut dan mengambil sikap yang rasional disertai
alasan-alasannya secara substansif atas penolakan kebijakan tersebut. Dengan
koalisi dua poros yang terbentuk saat ini, rasanya kita tinggal menanti momentum
yang tepat untuk kenaikan BBM.
Selamat
bekerja pemerintahan baru. Selamat mengawal setiap kebijakan pemerintah
oposisi baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar