Rabu, 03 September 2014

Menanti Momentum Kenaikan BBM

Menanti Momentum Kenaikan BBM

M Luthfi Munzir  Penulis Lepas
HALUAN, 02 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Untuk sementara, masyarakat boleh bernafas lega. Pe­merintah mene­gas­kan dan memastikan tidak akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi hingga berakhirnya masa jabatan Presiden Susilo Bam­bang Yudhoyono (SBY). Kepas­tian itu didapat dan diketahui publik setelah SBY bertemu empat mata dengan Presiden Republik Indonesia terpilih Joko Widodo, akhir pekan lalu. Disinyalir agenda pertemuan kedua tokoh tersebut membicarakan permasalahan BBM yang sejak sepekan terakhir menjadi langka.

Di Sumatera Barat, kelang­kaan BBM bahkan masih terjadi hingga saat ini di sejumlah SPBU. Meski setelah beberapa hari terjadi kelang­kaan BBM, pemerintah dan Pertamina memastikan pa­sokan BBM kembali normal sejak Jumat (29/8) pekan lalu. Pe­mandangan masih pan­jangnya antrean BBM di SPBU atau BBM yang seringkali kosong di SPBU masih bisa dijumpai. Seperti di dua SPBU di jalan lintas Padang-Painan yang saya pantau, Sabtu-Minggu (30-31/8).

Pertemuan SBY dan Jokowi memberi sinyalemen sebagai bagian dari upaya politik agar antara pemerintahan SBY dan pemerintahan baru Jokowi bisa sama-sama berbagi peran dalam hal kebijakan BBM. Artinya, agar beban kenaikan BBM tidak semata tertumpu kepada pemerintahan baru Jokowi-JK, tetapi diupayakan dibagi bersama sebelum masa pemerintahan SBY-Boediono berakhir 20 Oktober 2014.

Jika memang benar upaya politik yang dilakukan Jokowi demikian, rasanya hampir mustahil SBY mau untuk menanggung beban politik tersebut. SBY mungkin bisa saja berdalih bahwa selama masa pemerintahannya bersa­ma Boediono, sudah dua kali dilakukan kenaikan harga BBM. Sehingga tidak mungkin lagi untuk menambah beban rakyat dengan kembali menaik­kan harga BBM. SBY tengah mengungkapkan rasionalitas dan simpatinya kepada rakyat yang dinilainya akan ikut menanggung beban kenaikan BBM. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya pemerintah menekan angka kemiskinan yang diklaim terus mengalami tren penurunan sejak lima tahun terakhir. Tentu saja, SBY tidak ingin dampak kenaikan BBM akan berim­bas kepada kem­bali tingginya angka kemiskinan di ne­geri ini.

Bila kita cer­mati lebih lanjut, faktor politis tidak bisa dilepaskan dari sikap SBY tersebut. Pertama; SBY, Par­tai Demokrat dan koa­­lisinya yang saat ini berada di pe­merin­tahan hendak menjaga citra yang cukup baik di mata ma­sya­rakat. Ia tidak hendak membuat gaduh de­ngan sisa waktu pe­me­rin­tahan­nya se­ka­rang. Par­­­tai De­­­mo­krat se­­dang be­ru­pa­ya me­ngem­ba­likan ke­per­ca­yaan publik setelah sejumlah ka­dernya tersangkut kasus korupsi.

Kedua; Di masa peme­rintahan SBY-Boediono, Partai Demokrasi Indonesia Perjua­ngan (PDIP) adalah partai yang menolak kebijakan SBY menaik­kan harga BBM. Sehingga menjadi mustahil rasanya, pertemuan antara SBY dan Jokowi beberapa waktu lalu akan memberi kesimpulan bahwa SBY akan dengan legowo menerima “beban bersama” kenaikan harga BBM. Posisi tawar saat ini ada di tangan SBY untuk mengem­balikan citra diri dan partainya terkait kebijakan yang controv­ersial seperti kenaikan harga BBM.

Ketiga; secara politis di tahun 2014 ini, SBY mene­gaskan Partai Demokrat akan menjadi partai “tengah” dengan kecenderungan untuk berada di luar pemerintahan. Ini artinya, Partai Demokrat akan mengambil alih posisi PDIP yang sebelumnya berada di jalur oposisi. Mengawal ja­lannya pemerintahan baru di tangan Jokowi-JK. Oposisi biasanya diterjemahkan untuk menekan kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat. Maka, menjadi terbuka peluang Partai Demokrat untuk mengkritisi setiap kebijakan pemerintah yang dipandang keluar dari kepentingan rakyat.

Bila ditarik lagi perjalanan menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 mem­perlihatkan dua kubu besar yang saling bertarung. Prabowo-Hatta yang didukung Partai Gerindra, PAN, PKS, PPP, PKB, dan Partai Demokrat. 

Sementara Jokowi-JK didukung PDIP, Nasdem, Hanura, dan PKPI. Pertarungan kedua koalisi besar tersebut tam­paknya belum akan berakhir setelah Pilpres 2014 usai. Publik melihat upaya politik yang dilakukan barisan koalisi merah putih yang mendukung Prabowo-Hatta usai dinya­takan kalah dalam rekapitulasi penghi­tungan suara secara nasional yang dilak­sanakan KPU, 22 Juli lalu.

Upaya hu­kum yang diklaim koalisi merah putih men­cari keadilan atas kecurangan yang ter­­jadi secara terstruktur, sistematis, dan mas­sif dalam penyeleng­garaan Pilpres 2014 ke Mah­kamah Ko­ns­­­t­i­­tusi pun dila­ku­kan. MK menya­takan meno­lak gu­gatan kubu “koalisi merah pu­tih”. Se­telah kega­galan ter­sebut, tam­­pak­nya kini koalisi me­rah putih juga hendak mem­posisikan diri seba­gai ba­gian dari oposisi me­nga­wal ja­lan­nya peme­rin­tahan Jo­­kowi-JK.

Tekanan poli­tik dari kubu yang ber­se­be­rangan bisa tidak tere­lakkan. Po­sisi oposisi agak sedikit mengun­tungkan bagi koalisi merah putih untuk melanjutkan pertarungannya dengan koalisi pemenang Pilpres 2014 sepan­jang pemerintahan Jokowi-JK. Bagi presiden dan wakil presiden terpilih, tentu situasi saat ini bukanlah perkara mudah. Tidak ada waktu bermain-main bagi pemimpin terpilih. Tim transisi yang dibentuk Jokowi-JK bisa jadi upaya mengejawantahkan harapan publik yang cukup besar kepada kedua pasangan ini.

Publik saat ini tentah menunggu, kebijakan apa yang akan diambil oleh Jokowi-JK dalam hal menyikapi BBM ini pasca dilantik 20 Oktober 2014? Apakah memang seperti yang pernah dibaca publik bahwa Jokowi-JK akan menaikkan harga BBM dengan dalil bahwa kebijakan BBM yang ada saat ini tidak tepat sasaran dan membebani APBN? Ingat bahwa PDIP yang saat ini mendukung Jokowi-JK beberapa kali menolak kenaikan BBM.

Hal terpenting sesung­guhnya yang diharapkan publik adalah bukan perkara kebijakan menaikkan BBM atau tidak, tetapi alasan-alasan dan rasionalitas yang perlu dije­laskan kepada publik tentang kenapa BBM naik, kenapa BBM tidak naik. Apa pertim­bangan pemerintah dalam memutuskan kebijakan terse­but. Dengan transparansi pemerintah kepada publik, publik akan menilai apakah alasan-alasan yang digunakan pemerintah sejalan dengan kenyataannya. Disanalah feedback  dari kebijakan yang diputuskan pemerintah akan berlaku. Harapannya, tentu pemerintah perlu pula men­cermati dan mempelajari  feedback yang ada untuk mengambil kebijakan lanjutan.

Pada posisi itu pula keseim­bangan antara berada dalam pemerintahan dan berada di luar pemerintahan atau oposisi akan menciptakan nada check and balance. Sehingga kita berharap, kedewasaan berpolitik para elite. Berada di oposisi tidak semata menolak setiap kebijakan pemerintah, tetapi mempelajari kebijakan pemerin­tah tersebut dan mengambil sikap yang rasional disertai alasan-alasannya secara subs­tansif atas penolakan kebijakan tersebut. Dengan koalisi dua poros yang terbentuk saat ini, rasanya kita tinggal menanti momentum yang tepat untuk kenaikan BBM.

Selamat beker­ja pemerintahan baru. Selamat mengawal setiap kebijakan pemerintah oposisi baru. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar