Rabu, 03 September 2014

Subsidi Mandat Konstitusi

Subsidi Mandat Konstitusi

W Riawan Tjandra  Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KORAN SINDO, 02 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Di bagian akhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II sempat terjadi gejolak sosial akibat kelangkaan (scarcity) semua jenis BBM di nyaris semua daerah.  Situasi itu sebagai dampak dari pembatasan kuota BBM dalam APBNP 2014 yang dipatok dengan jatah BBM bersubsidi yang disalurkan sebanyak 46 juta kiloliter. Dalam APBNP 2014, pemerintah memangkas kuota BBM bersubsidi 2 juta kiloliter dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter. Di sisi lain, di beberapa daerah juga terjadi panic buying, sehingga bahkan BBM nonsubsidi seperti pertamax dan solar nonsubsidi pun turut mengalami kelangkaan sebagai dampak dari eksternalitas kebijakan.

Memang harus diakui, anggaran subsidi energi tahun ini naik drastis dari Rp282,1 triliun menjadi Rp350,31 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp50 triliun dimasukkan dalam anggaran tahun 2015 (carry over). Pemerintah saat ini dituduh telah ”mengijonkan” dana subsidi. Pemerintahan SBY beralasan, beban fiskal tahun ini sudah teramat berat sehingga harus mencuil lebih dulu jatah APBN 2015. Celakanya, bersamaan dengan lonjakan anggaran subsidi, sumber pemasukan dari setoran pajak juga kian seret.

APBNP 2014 menetapkan setoran perpajakan sekitar Rp1.246,1 triliun, turun dari target APBN 2014 yang mematok Rp1.280,3 triliun. Alhasil, karena besar pasak daripada tiang, pemotongan anggaran belanja hingga Rp43 triliun pun jadi jalan pintas. Guna menutup jurang defisit yang semakin menganga, konon utang bakal digenjot. Perburuan utang baru bakal digenjot sekitar Rp66 triliun, dari sebelumnya Rp175,5 triliun menjadi Rp241,49 triliun.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, tetap perlu berkaca pada makna penting subsidi sebagai salah satu instrumen pemerintahan (bestuursmiddel). Subsidi dalam teori hukum administrasi negara senantiasa diperlukan untuk mewujudkan tujuan pemerintah tertentu melalui alokasi APBN dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai suatu negara yang bertipologi negara kesejahteraan (welfare state).

Dengan demikian, meskipun subsidi dalam hitungan kuantitatif sering dilihat cukup banyak menyedot kapasitas fiskal dalam APBN, optik yang juga perlu digunakan untuk memaknai subsidi, termasuk dalam hal subsidi BBM, adalah subsidi merupakan instrumen pokok dalam negara kesejahteraan yang diperlukan untuk melaksanakan amanat konstitusi. Paradigma negara kesejahteraan yang dideklarasikan dalam Mukadimah UUD 1945 dan dikukuhkan dalam Pasal 33 UUD 1945 menjadi landasan konstitusional keharusan pemerintah selalu berpijak pada prinsip-prinsip dasar negara kesejahteraan dalam penyeleng garaan pemerintahan.

Di beberapa negara lain pun subsidi terhadap BBM merupakan hal yang jamak dilakukan. Di Venezuela harga BBM seliter hanya USD0,05 atau setara Rp585, di Iran USD0,11 atau Rp1.287. Bahkan di Turkmenistan, negara yang terletak di perbatasan antara Asia dan Eropa ini, harga BBM hanya mencapai USD0,08 atau Rp936 per liter, lebih rendah dari harga sebungkus mi instan. Karena itu, sejatinya subsidi terhadap BBM juga menjadi sesuatu yang lazim dilakukan, karena hal itu merupakan konsekuensi dari amanat Pasal 33 UUD 1945 yang mengandung semangat negara kesejahteraan sebagaimana dideklarasikan dalam pembukaannya .

Subsidi dalam negara kesejahteraan bersifat korektif dan redistributif, artinya subsidi diperlukan untuk memperbaiki social gap akibat terjadinya kesenjangan sosial sebagai implikasi perbedaan kemampuan ekonomi individual atau rumah tangga privat. Selain itu, subsidi diperlukan untuk meredistribusi alokasi anggaran negara untuk mengatasi atau sekurang-kurangnya meminimalkan kesenjangan sosial tersebut. Hanya, diperlukan struktur kebijakan, mekanisme penyaluran subsidi dan desain kebijakan subsidi berdasarkan tujuan, sasaran, dan besaran yang tepat.

Di sisi lain, dinamika policy PT Pertamina, yang mengacu pada analisis bisnis dalam pengalokasian BBM bersubsidi berdasarkan kuota dalam APBN-P 2014 dan intervensi kebijakan pemerintah (baca: Menko Perekonomian) dengan konsiderasi situasi aktual sebagai implikasi gejolak sosial, justru memperlihatkan tak sinergisnya desain pengelolaan BUMN yang diserahi wewenang mengelola bidang usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dengan politik kebijakan publik yang menjadi tanggung jawab negara.

Pengelolaan BUMN

Pengelolaan BUMN, yang kini merujuk pada UU Nomor 19/2003 tentang BUMN, terkesan terlalu kuat diwarnai cara pandang liberalistik. Akibatnya, semua BUMN didorong untuk diprivatisasi dengan tujuan untuk mengefisienkan pengelolaannya dan mencapai benefit sebesar-besarnya melalui penyertaan saham swasta di dalamnya. Bahkan, untuk BUMN yang mengelola bidang usaha dalam rangka memenuhi hajat hidup orang banyak (public utilities) juga tak ketinggalan dilakukan privatisasi.

Parameter untuk mengukur kinerja BUMN yang mengelola kebutuhan vital rakyat atau public utilities pun kemudian nyaris tak berbeda dengan BUMN yang mengelola produk-produk barang privat yang kompetitif. BUMN yang tak berhasil meraih keuntungan sebanyak-banyaknya maka dianggap merugi, bahkan salahsalah bisa dijerat UU Tipikor karena kerugiannya dimasukkan dalam ranah merugikan keuangan negara/korupsi.

Bidang-bidang yang berkaitan dengan kebutuhan vital rakyat yang memiliki karakteristik sebagai public utilities seperti listrik, gas, BBM, dan air seharusnya dikelola dengan pendekatan yang lebih mengutamakan pelayanan publik dengan tidak sekadar berhitung menggunakan cost-benefit analysis untuk mengukur kinerja pengelolaannya. Dengan demikian, parameter yang sama untuk mengukur kinerja badan-badan publik di lingkungan pemerintah kiranya lebih tepat untuk mengukur kinerja pengelolaan public utilities oleh berbagai BUMN tersebut.

Itu akibat paradigma berpikir yang rancu dalam menentukan pengaturan terhadap BUMN yang mengelola public utilities– seharusnya diukur dengan indeks public welfare dan bukan dengan rasio laba/keuntungan. Subsidi yang menjadi kewajiban negara yang harus disalurkan melalui BUMN tersebut dihitung membebani APBN dan jika rugi dianggap sebagai kerugian negara. Berkaca pada semua hal di atas, kiranya menjadi suatu keharusan untuk mengembalikan paradigma tata kelola BUMN public utilities dalam semangat Pasal 33 UUD 1945 untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Desain subsidi yang tepat dan didukung mekanisme pengelolaannya yang selaras dengan filosofi welfare state sebagai mandat dari Pasal 33 UUD 1945 diharapkan dapat memperbaiki pengelolaan benda-benda publik (public goods) yang langsung bersentuhan dengan hajat hidup rakyat. Di sinilah komitmen mewujudkan welfare state pemerintah (baik yang sekarang maupun yang baru nanti) sedang diuji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar