Subsidi
Mandat Konstitusi
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Kenegaraan
Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 02 September 2014
Di
bagian akhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II sempat terjadi gejolak
sosial akibat kelangkaan (scarcity)
semua jenis BBM di nyaris semua daerah. Situasi itu sebagai dampak dari pembatasan
kuota BBM dalam APBNP 2014 yang dipatok dengan jatah BBM bersubsidi yang
disalurkan sebanyak 46 juta kiloliter. Dalam APBNP 2014, pemerintah memangkas
kuota BBM bersubsidi 2 juta kiloliter dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta
kiloliter. Di sisi lain, di beberapa daerah juga terjadi panic buying, sehingga bahkan BBM nonsubsidi seperti pertamax dan
solar nonsubsidi pun turut mengalami kelangkaan sebagai dampak dari
eksternalitas kebijakan.
Memang
harus diakui, anggaran subsidi energi tahun ini naik drastis dari Rp282,1
triliun menjadi Rp350,31 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp50 triliun
dimasukkan dalam anggaran tahun 2015 (carry
over). Pemerintah saat ini dituduh telah ”mengijonkan” dana subsidi.
Pemerintahan SBY beralasan, beban fiskal tahun ini sudah teramat berat
sehingga harus mencuil lebih dulu jatah APBN 2015. Celakanya, bersamaan
dengan lonjakan anggaran subsidi, sumber pemasukan dari setoran pajak juga
kian seret.
APBNP
2014 menetapkan setoran perpajakan sekitar Rp1.246,1 triliun, turun dari
target APBN 2014 yang mematok Rp1.280,3 triliun. Alhasil, karena besar pasak
daripada tiang, pemotongan anggaran belanja hingga Rp43 triliun pun jadi
jalan pintas. Guna menutup jurang defisit yang semakin menganga, konon utang
bakal digenjot. Perburuan utang baru bakal digenjot sekitar Rp66 triliun,
dari sebelumnya Rp175,5 triliun menjadi Rp241,49 triliun.
Dalam
konteks penyelenggaraan pemerintahan, tetap perlu berkaca pada makna penting
subsidi sebagai salah satu instrumen pemerintahan (bestuursmiddel). Subsidi dalam teori hukum administrasi negara
senantiasa diperlukan untuk mewujudkan tujuan pemerintah tertentu melalui
alokasi APBN dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai suatu negara
yang bertipologi negara kesejahteraan (welfare
state).
Dengan
demikian, meskipun subsidi dalam hitungan kuantitatif sering dilihat cukup
banyak menyedot kapasitas fiskal dalam APBN, optik yang juga perlu digunakan
untuk memaknai subsidi, termasuk dalam hal subsidi BBM, adalah subsidi
merupakan instrumen pokok dalam negara kesejahteraan yang diperlukan untuk
melaksanakan amanat konstitusi. Paradigma negara kesejahteraan yang
dideklarasikan dalam Mukadimah UUD 1945 dan dikukuhkan dalam Pasal 33 UUD
1945 menjadi landasan konstitusional keharusan pemerintah selalu berpijak
pada prinsip-prinsip dasar negara kesejahteraan dalam penyeleng garaan pemerintahan.
Di
beberapa negara lain pun subsidi terhadap BBM merupakan hal yang jamak
dilakukan. Di Venezuela harga BBM seliter hanya USD0,05 atau setara Rp585, di
Iran USD0,11 atau Rp1.287. Bahkan di Turkmenistan, negara yang terletak di
perbatasan antara Asia dan Eropa ini, harga BBM hanya mencapai USD0,08 atau
Rp936 per liter, lebih rendah dari harga sebungkus mi instan. Karena itu,
sejatinya subsidi terhadap BBM juga menjadi sesuatu yang lazim dilakukan,
karena hal itu merupakan konsekuensi dari amanat Pasal 33 UUD 1945 yang
mengandung semangat negara kesejahteraan sebagaimana dideklarasikan dalam
pembukaannya .
Subsidi
dalam negara kesejahteraan bersifat korektif dan redistributif, artinya
subsidi diperlukan untuk memperbaiki social gap akibat terjadinya kesenjangan
sosial sebagai implikasi perbedaan kemampuan ekonomi individual atau rumah
tangga privat. Selain itu, subsidi diperlukan untuk meredistribusi alokasi
anggaran negara untuk mengatasi atau sekurang-kurangnya meminimalkan
kesenjangan sosial tersebut. Hanya, diperlukan struktur kebijakan, mekanisme
penyaluran subsidi dan desain kebijakan subsidi berdasarkan tujuan, sasaran,
dan besaran yang tepat.
Di
sisi lain, dinamika policy PT Pertamina, yang mengacu pada analisis bisnis
dalam pengalokasian BBM bersubsidi berdasarkan kuota dalam APBN-P 2014 dan
intervensi kebijakan pemerintah (baca: Menko Perekonomian) dengan konsiderasi
situasi aktual sebagai implikasi gejolak sosial, justru memperlihatkan tak
sinergisnya desain pengelolaan BUMN yang diserahi wewenang mengelola bidang
usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dengan politik kebijakan
publik yang menjadi tanggung jawab negara.
Pengelolaan BUMN
Pengelolaan
BUMN, yang kini merujuk pada UU Nomor 19/2003 tentang BUMN, terkesan terlalu
kuat diwarnai cara pandang liberalistik. Akibatnya, semua BUMN didorong untuk
diprivatisasi dengan tujuan untuk mengefisienkan pengelolaannya dan mencapai
benefit sebesar-besarnya melalui penyertaan saham swasta di dalamnya. Bahkan,
untuk BUMN yang mengelola bidang usaha dalam rangka memenuhi hajat hidup
orang banyak (public utilities)
juga tak ketinggalan dilakukan privatisasi.
Parameter
untuk mengukur kinerja BUMN yang mengelola kebutuhan vital rakyat atau public utilities pun kemudian nyaris
tak berbeda dengan BUMN yang mengelola produk-produk barang privat yang
kompetitif. BUMN yang tak berhasil meraih keuntungan sebanyak-banyaknya maka
dianggap merugi, bahkan salahsalah bisa dijerat UU Tipikor karena kerugiannya
dimasukkan dalam ranah merugikan keuangan negara/korupsi.
Bidang-bidang
yang berkaitan dengan kebutuhan vital rakyat yang memiliki karakteristik
sebagai public utilities seperti
listrik, gas, BBM, dan air seharusnya dikelola dengan pendekatan yang lebih
mengutamakan pelayanan publik dengan tidak sekadar berhitung menggunakan cost-benefit analysis untuk mengukur
kinerja pengelolaannya. Dengan demikian, parameter yang sama untuk mengukur
kinerja badan-badan publik di lingkungan pemerintah kiranya lebih tepat untuk
mengukur kinerja pengelolaan public
utilities oleh berbagai BUMN tersebut.
Itu
akibat paradigma berpikir yang rancu dalam menentukan pengaturan terhadap
BUMN yang mengelola public utilities–
seharusnya diukur dengan indeks public
welfare dan bukan dengan rasio laba/keuntungan. Subsidi yang menjadi
kewajiban negara yang harus disalurkan melalui BUMN tersebut dihitung
membebani APBN dan jika rugi dianggap sebagai kerugian negara. Berkaca pada
semua hal di atas, kiranya menjadi suatu keharusan untuk mengembalikan
paradigma tata kelola BUMN public
utilities dalam semangat Pasal 33 UUD 1945 untuk mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Desain
subsidi yang tepat dan didukung mekanisme pengelolaannya yang selaras dengan
filosofi welfare state sebagai
mandat dari Pasal 33 UUD 1945 diharapkan dapat memperbaiki pengelolaan benda-benda
publik (public goods) yang langsung
bersentuhan dengan hajat hidup rakyat. Di sinilah komitmen mewujudkan welfare state pemerintah (baik yang
sekarang maupun yang baru nanti) sedang diuji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar