Selasa, 01 Juli 2014

Tiga Tingkat Perubahan

Tiga Tingkat Perubahan

Meuthia Ganie-Rochman  ;   Sosiolog Organisasi, Mengajar di Universitas Indonesia
KOMPAS, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
CALON presiden di negara dengan problem yang begitu beragam harus pandai merumuskan program yang ditawarkan. Begitu banyak persoalan yang sering kali berkelindan satu dengan yang lain. Para calon punya kecenderungan lari pada rumusan normatif karena kulminasi persoalan ini sudah sering dibicarakan di wilayah publik. Alasan lainnya adalah kemungkinan para tim ahli yang menjadi tim sukses tidak punya cukup dasar melihat persoalan berdasarkan kedalaman dan pengalaman negara lain.

Tentu bahwa para calon presiden tidak perlu bisa menjelaskan pada tingkat mekanisme, tetapi dia harus bisa mengatakan mana yang paling strategis dan mengapa demikian. Membuat daftar ”cucian kotor”, artinya mengutip semua persoalan-persoalan paling populer dan populis, bukanlah seorang  calon pemimpin yang visioner.

Dalam mengajukan gagasan tentang perubahan besar, ada tiga tingkat gagasan yang harus dikonstruksikan. Di antara ketiga tingkat ini harus ada konsistensinya. Tingkat paling abstrak adalah prinsip-prinsip bernegara. Pada tingkat ini, misalnya, tercakup gagasan tentang keadilan sosial dan ekonomi, hubungan antar-golongan, peran negara (seberapa banyak negara mengatur dan bertanggung jawab), serta hubungan negara-masyarakat.

Para politisi sering bergerak di wilayah ini dengan mengambil contoh kelompok problem yang paling populer, seperti petani, pelaku ekonomi kecil, dan orang miskin. Pengambilan ini bersifat artifisial karena tidak mampu meletakan dalam kerangka jalinan kelembagaan/organisasi dari setiap sektor.

Satu hal penting yang harus dinilai di level ini adalah apa gambaran negara di mata pemimpin baru. Negara di mana pun pada dasarnya menjalani fungsi-fungsi penjaga ketertiban, koordinator, penyedia, dan fasilitator bagi penguatan.   Namun, banyak negara gagal menentukan bidang yang tepat untuk fungsi-fungsi itu.

Sebagai contoh, pemerintahan sejak Orde Baru menggambarkan negara sebagai penyedia untuk tujuan pembangunan. Membangun ekonomi petani, nelayan, dan usaha kecil digambarkan memberikan kredit murah. Dinas-dinas di daerah membayangkan dirinya sedang membangun ekonomi kreatif dengan memberikan pelatihan.

Dari kapasitasnya ataupun bentuk programnya, tidak heran lebih banyak yang tidak berhasil daripada yang berhasil. Penyebab-penyebab lainnya jarang diakui, seperti lemahnya institusi dalam pasar (efisiensi, kepastian, dan lebih inklusif), gambaran yang jelas tentang kelompok sasaran, serta fragmentasi rantai nilai. Padahal, dalam banyak hal, aktor negara lebih diharapkan sebagai fasilitator kerja sama.

Jalinan kelembagaan inilah yang merupakan level kedua.  Terdapat keragaman kondisi dalam suatu ”sektor”. Sebagai contoh, petani atau usaha kecil tidak bisa dikembangkan begitu saja tanpa kaitannya dengan sektor lain. Usaha kecil itu sendiri, misalnya, mempunyai konstruksi sumber daya dan segala persoalannya yang sangat beragam. Itulah sebabnya negara-negara lain yang berhasil memajukan usaha kecil selalu dapat mengatakan sektor UKM yang mana saja akan dimajukan.

Pada level yang kedua, pemimpin harus dapat menjawab lembaga yang menjadi penopang perubahan. Pertama, ia harus dapat melihat di mana persinggungan strategis yang akan membawa perubahan signifikan. Jawabannya bukan sekadar teknokratis, melainkan juga negosiasi kepentingan. Kedua, ia harus dapat menjawab pada institusi manakah kesepakatan baru ditegakkan? Apakah sudah ada kondisi lembaga yang mampu demikian?

Problematik

Pada level kedua inilah gagasan abstrak di level pertama mendapat ujian konsistensi. Memang tidak mudah mencari model yang tampaknya saling bertentangan pada level pertama.

Bagaimana mencari perimbangan antara intervensi pemerintah dan kebebasan institusi masyarakat/pasar mengatur dirinya sendiri; antara menumbuhkan industri dan kepentingan buruh atau UMKM; antara nasionalisme ekonomi dan masuknya modal asing.

Sebagian besar pertanyaan ini menjadi problematik di dunia nyata karena ketidakmampuan para pemimpin dan kemampuan institusi negara.

Banyak contoh negara berhasil membangun model alternatif. Tiongkok dan Malaysia memanfaatkan modal asing untuk penguatan ekonomi nasional; Brasil memberi ruang bagi industri menjadi besar, tetapi dengan kewajiban meningkatkan keterampilan buruh; Korea Selatan memberi ruang bagi industri raksasa, tetapi dengan kewajiban mampu bersaing secara global.

Kuncinya bagi setiap negara adalah tahu di mana titik masuknya dan lebih penting lagi komitmen elite politik dan kemampuan negara dalam menjaga tujuan perekonomian nasional. 

Level yang ketiga adalah mekanisme dalam mencapai tujuan. Para calon presiden tidak perlu sampai dapat menjelaskan mekanisme perubahan  dalam sektor tertentu. Level ini harus diserahkan kepada para pejabat pelaksana.

Namun, ada hal penting yang diharapkan dari para pemimpin, yaitu  kemampuannya memilih orang-orang yang terbaik untuk mengelola perubahan. Kemampuan di sini berarti bebas dari tekanan politik, mampu memberi dukungan politik dan sumber daya sesuai dengan beban yang harus dijalankan.

Di Indonesia, dua lembaga strategis yang kurang mendapat dukungan sesuai dengan beban tugasnya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi serta Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Setidaknya pada kedua lembaga inilah saya ingin mendengar bagaimana para calon presiden menggambarkan programnya di level satu dan level dua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar