Presiden
Terpilih dan Kedaulatan Pangan
Khudori ;
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
|
KORAN
TEMPO, 21 Juli 2014
Tak lama lagi Indonesia mempunyai presiden dan wakil presiden
baru. Rakyat menumpukan harapan yang tinggi agar mereka lebih sejahtera.
Petani dan nelayan, mayoritas penduduk negeri ini, berharap presiden dan
wakil presiden terpilih merealisasi janji, visi-misi, dan program aksinya.
Salah satu tujuan yang dipahatkan para calon presiden dan calon wakil
presiden adalah membawa Indonesia (kembali) berdaulat pangan.
Dalam pelbagai kampanye, termasuk dalam pemilu-pemilu
sebelumnya, misi berdaulat pangan selalu menjadi jualan. Namun, sampai
sekarang tujuan itu masih jauh dari tercapai. Impor sejumlah komoditas
penting, seperti gula, kedelai, jagung, susu, daging, gandum dan beras, masih
amat besar. Padahal, pelbagai kebijakan untuk menekan impor tak kunjung ampuh.
Bahkan, kebijakan dari pemerintah sering kali ditunggangi importir. Tahun
lalu, impor aneka pangan mencapai US$12 miliar.
Produksi aneka pangan utama merosot atau stagnan. Target
ambisius swasembada jagung, kedelai, gula dan daging, serta surplus beras 10
juta ton pada 2014 meleset, dan menyesatkan. Target indah di atas kertas,
tapi tidak realistis di lapangan. Bagaimana mungkin swasembada tercapai jika
infrastruktur irigasi rusak dan sawah terkonversi? Anehnya, meskipun produksi
terus merosot, seperti terjadi pada kedelai, target tidak kunjung direvisi.
Padahal, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk sistem
perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris, dan oligopolis.
Instabilitas pangan selalu berulang. Hal ini terjadi karena
dominasi orientasi pasar dalam kebijakan pangan. Hampir semua komoditas
pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Instrumen stabilisasi
amat terbatas. Itu pun hanya pada beras. Orientasi ini tak salah kalau
infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah
pejal pada guncangan pasar. Kenyataannya, ketiga persyaratan itu belum
terpenuhi. Akibatnya, fluktuasi harga pangan selalu berulang. Hal ini tak
hanya menggerus daya beli warga, tapi juga membuat inflasi melambung dan
sulit dikendalikan.
Dominasi orientasi produksi membuat kesejahteraan petani
terabaikan. Sekitar 57 persen dari 68 persen penduduk miskin di perdesaan
adalah petani. Kondisi ini tak jauh beda dibanding pada tiga dekade lalu. Hal
ini menunjukkan, lebih dari 30 tahun usaha menggenjot produksi pertanian
tidak juga menggusur kemiskinan dari desa. Menurut BPS, angka kemiskinan di
pertanian mencapai 56,1 persen, jauh di atas industri (6,77 persen). Sebagai
produsen pangan, petani justru menjadi kelompok yang paling terancam oleh
masalah rawan pangan. Ini tak bisa dibiarkan.
Untuk mencapai kedaulatan pangan, perubahan kebijakan
diperlukan. Pertama-tama, perlu dipahami kedaulatan pangan merupakan
prasyarat sebuah ketahanan. Ketahanan pangan baru akan tercipta kalau
kedaulatan pangan dimiliki rakyat. Dari perspektif ini, pangan dan pertanian
semestinya tidak ditaruh di pasar yang rentan, tapi ditumpukan di pundak dan
kemampuan sendiri. Agar bisa berdaulat pangan, pertama, petani sebagai pelaku
utama harus berdaulat. Petani akan berdaulat apabila ia memiliki tanah, bukan
menjadi buruh atau penggarap. Karena itu, untuk menjamin tegaknya kedaulatan
pangan, akses dan kontrol petani (kecil) terhadap sumber daya produksi
penting (tanah, air, benih, teknologi, pasar, dan finansial) harus dijamin,
salah satunya lewat reforma agraria. Tanpa jaminan akses dan kontrol sumber
daya produksi, kedaulatan hanya omong kosong.
Dalam konteks lingkungan alam, petani perlu perlindungan atas
berbagai kemungkinan kerugian bencana alam, seperti kekeringan, banjir, dan
bencana lain. Negara perlu memberi jaminan hukum bila hal itu terjadi petani
tak terlalu menderita. Salah satu caranya, adanya UU yang mewajibkan
pemerintah mengembangkan asuransi kerugian atau kompensasi kerugian bagi
petani atas dampak bencana alam atau hal sejenis. UU Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang ada jauh dari memadai.
Dalam lingkup lingkungan sosial-ekonomi, negara perlu menjamin
struktur pasar bahwa yang menjadi fondasi pertanian adalah struktur pasar
yang adil. Hal ini tidak hanya untuk mengatasi masalah struktur pasar yang
tidak adil di dalam negeri, tapi juga sebagai siasat atas struktur pasar
dunia yang tak adil bagi negara-negara berkembang. Pendek kata, semua yang menambah
biaya eksternal petani, menurunkan harga riil produk pertanian, dan struktur
yang menghambat kemajuan pertanian perlu landasan hukum yang kuat agar
perlindungan petani bisa dilaksanakan sebagai kewajiban negara (Pakpahan,
2012).
Bagi Indonesia, dengan segenap potensi yang ada (lahan, kekayaan
hayati, local knowledge, dan yang lain), tidak ada alasan untuk tidak
berdaulat pangan. Kedaulatan pangan tidak kunjung tercapai karena pelbagai
kebijakan menjauh, bahkan menegasikan pencapaian kedaulatan pangan. Momen
pemilu presiden memberi harapan baru. Namun, semua bergantung pada kebijakan
yang akan diambil presiden terpilih: akankah membuat kebijakan yang
memperkuat atau justru menegasikan kedaulatan pangan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar