Netralitas
Polisi
Bambang
Widodo Umar ; Guru Besar Sosiologi
Hukum
Departemen
Kriminologi FISIP UI
|
KOMPAS,
01 Juli 2014
DILEMA
mendasar yang masih dihadapi Kepolisian Negara Republik Indonesia ialah
menjaga netralitas lembaga dan anggotanya selaku ”alat negara” penegak hukum
serta pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Netralitasnya akan
tercemar manakala dalam menjalankan tugas, polisi tak adil dan memihak.
Akibat logisnya, melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap tugasnya selaku
pengayom dalam memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam
konteks pengamanan Pemilu 2014, ada secercah harapan netralitas polisi lebih
baik dibandingkan dengan Pemilu 2004 (ditengarai ada seorang kapolwil dan
kapolda berkampanye memenangkan capres partai tertentu).
Meski
ada dugaan pertemuan yang dilakukan pejabat tinggi polisi dan pejabat suatu
partai tertentu, tak ditemukan deal tertentu. Ini mengisyaratkan masih
diperlukan penataan organisasi Polri memperkuat netralitasnya.
Gambaran
di atas tak cukup melegakan dilihat dari upaya membangun lembaga kepolisian
yang netral. Terlebih langkah panjang memisahkan organisasi kepolisian dari
cakupan struktur, kultur, dan konten TNI masih seperti bayangan ketimbang
realitas. Apakah Polri mampu mengubah diri, terutama dalam hal netralitas
dirinya, tanpa ruang politik yang cukup melakukan perubahan mendasar?
Kelembagaan vs netralitas
Perkembangan
Polri setelah usia 68 tahun yang diharapkan netral menjalankan tugas tampak
belum sepenuhnya tercapai. Endapan citranya yang diidentikkan sebagai aparat
penjamin kekuasaan pemerintah masih kental. Seiring dengan itu, reformasi
Polri yang telah 13 tahun belum berpengaruh atas profesionalitasnya. Unsur
subyektif menanggapi kritik yang dilontarkan masyarakat dimungkinkan jadi
penghambat bagi pembenahan organisasinya.
Masyarakat
akan terus menggugat netralitas polisi. Zaman telah berubah, pola kepolisian
harus disesuaikan. Paradigma dan kultur lama sebagai potret polisi yang
represif, arogan, aji mumpung harus dibuang jauh-jauh. Tak tepat lagi polisi
mengandalkan otot dan kekuasaan. Nilai dasar demokrasi seperti kesetaraan,
fairness, independensi, dan transparansi harus jadi keseharian dalam tugas.
Dalam kaitan ini secara kelembagaan netralitas polisi perlu didudukkan.
Setidaknya tiga hal terkait.
Pertama,
legitimasi polisi. Ada dua alasan perlu, menurut Makmur Keliat dalam
Indonesian Police Review (2005), membicarakan legitimasi polisi. Pertama,
setiap lembaga negara harus diberi derajat monopoli tertentu oleh pemegang
kekuasaan untuk menjalankan tugasnya. Kedua, dalam negara demokratis, semua
lembaga negara harus punya akuntabilitas menjalankan fungsinya. Artinya,
mandat yang diperoleh polisi menggunakan kekuatan paksa fisik terorganisasi
harus disertai pertanggungjawaban dan kegagalan memberi pertanggungjawaban
itu harus disertai hukuman.
Legitimasi
polisi di Indonesia perlu didudukkan mengingat lembaga itu mengemban tiga
fungsi yang esensial berbeda: represif (penegak hukum), preventif
(kamtibmas), dan pelayanan. Pertanggungjawaban tiga fungsi itu masing-masing
harus dibedakan tegas dan formal. Dalam kaitan ini Makmur menanyakan ”dari
mana sebaiknya polisi mendapat mandat kekuasaan dan kepada siapa polisi harus
bertanggung jawab?”
UU No
2/2002 tentang Polri tak memuat aturan hukum yang spesifik mengatur soal
legitimasi dan mekanisme pertanggungjawaban polisi secara reguler sebagai
institusi. Apakah polisi bertanggung jawab kepada kepala pemerintahan, elite
politik di parlemen, atau publik? Pada Pasal 11 Ayat 1 UU yang sama
dinyatakan, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan presiden dengan
persetujuan DPR. Pasal ini tak dapat disebut sebagai pasal yang mengatur
”pertanggungjawaban” institusional, tetapi lebih merupakan aturan tentang
”pengangkatan dan pemberhentian”.
Mengacu
pada tiga fungsi itu, kelembagaan polisi seharusnya berada pada lembaga
eksekutif dan yudikatif. Mengingat fungsionalisasi kepolisian idealnya di
masa depan, perlu diciptakan mekanisme melalui mana polisi memberi
pertanggungjawaban secara institusional dan reguler kepada ”lembaga yudisial”
maupun ”lembaga pemerintahan” tingkat nasional maupun lokal.
Kedua,
pengawasan terhadap kekuasaan polisi. Secara struktural di dalam organisasi
kepolisian melekat dua kekuasaan: kekuasaan bidang hukum dan kekuasaan bidang
pemerintahan. Keduanya melahirkan tiga peran polisi: penegak hukum, penegak
ketertiban, dan pelayanan masyarakat. Kedua peran terakhir diperoleh dari
kekuasaan bidang pemerintahan. Dua bidang kekuasaan yang melekat pada lembaga
kepolisian itu sesungguhnya ambivalen. Di satu sisi polisi terikat dengan
sistem peradilan pidana, di sisi lain polisi terikat pula dengan sistem
pemerintahan.
Dalam
mengimplementasikan kedua bidang kekuasaan itu, Polri sebagai salah satu alat
negara yang diberi beban mengontrol perilaku masyarakat mencapai moral
kolektif dimungkinkan terjadi kontradiksi. Sebagai penegak hukum, segala
tindakannya terikat pada hukum, sedangkan sebagai bagian pemerintahan, polisi
bisa ambil tindakan tak berdasarkan hukum (diskresi) untuk mencapai
ketertiban dan keamanan masyarakat.
Peluang tak adil
Ambivalensi
kekuasaan yang dilekatkan pada lembaga kepolisian bisa jadi peluang bagi
polisi tak adil menjalankan tugas. Artinya, penyalahgunaan kekuasaan
dimungkinkan bukan karena niat individu, melainkan aspek struktural yang
mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Dari
sisi lain, Chairuddin Ismail dalam tulisannya tentang Kompolnas (2005)
menyoroti dua budaya kerja yang lekat dalam kepolisian: solidaritas dan
kerahasiaan. Kedua budaya ini menghalangi pelaksanaan pengawasan secara
internal dalam tubuh kepolisian.
Solidaritas
secara umum bermakna positif, tetapi dalam lembaga kepolisian cenderung
bermakna negatif. Solidaritas polisi terimplementasi dalam bentuk pembelaan
terhadap kawan sesama korps, lepas dari pertimbangan benar salah. Kerahasiaan
secara umum berarti tak membuka rahasia tugas yang, dalam lembaga kepolisian,
tutup mulut atas kesalahan dan pelanggaran yang diketahui dilakukan kolega.
Kekuasaan
yang diberi kepada Polri sebagaimana diatur pada Pasal 15, Pasal 16, Pasal
17, dan Pasal 18 sangat berpengaruh terhadap netralitas polisi. Kehadiran
Kompolnas sesuai dengan Pasal 37 UU No 2/2002 tentang Polri dapat dikatakan
merupakan angin segar bagi mekanisme kontrol atas kekuasaan besar yang
melekat pada lembaga kepolisian itu.
Dilihat
dari tugas dan wewenang yang terbatas, yakni sebagai pembantu presiden dalam
memberi saran dan mengumpulkan keluhan masyarakat untuk diteruskan ke Polri,
tampaknya lembaga ini secara fungsional masih jauh dari harapan.
Ketiga,
posisi Polri di lingkungan eksekutif. Dalam konteks politik, de facto kebijakan pemerintah bisa
jadi dilema dalam pengambilan keputusan oleh Polri. Hal itu terkait dengan
fungsionalisasinya yang secara normatif selaku penegak hukum, pemelihara
kamtibmas, dan pelayan masyarakat berubah menjadi penjaga stabilitas politik
pemerintah. Contoh, pengamanan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM jadi
pemikiran cukup pelik bagi Polri menentukan strategi pengamanan meski tak
mengeluh dan mengabaikan perintah.
Melihat
keberadaan polisi di tengah arus kekuatan antara pemerintah dan masyarakat
yang berseberangan, dimungkinkan lewat pilihan logis polisi memilih berpihak
kepada golongan yang berkuasa secara politis. Dalam hal ini, dilema yang
merantai organisasi Polri adalah manakala praktisi politik menyelipkan
kepentingan yang tak sesuai dengan tujuan organisasi.
Selanjutnya
yang terjadi adalah fungsi kepolisian sebagai penegak hukum kabur dan tak
lebih jadi alat kepentingan politik tertentu yang merefleksikan kebijakannya
dalam laku polisi. Dalam posisi itu, polisi mudah tersudut dituduh
mengabaikan kebutuhan dan tujuan moral kolektif. Ironisnya lagi, semua kebijakan
itu berada di luar kekuatan Polri mengendalikannya, bahkan untuk memahami
sekalipun.
Berdiri
di tengah dua arus kekuatan yang saling mengisap, arus penguasa dan yang
dikuasai, secara politis Polri menemukan pihak yang berkuasa secara politis
didekati pihak yang berkuasa secara ekonomis. Dimungkinkan terbentuknya suatu
elite kekuasaan yang kental terintegrasi, yang keputusan-keputusan pentingnya
mewarnai wajah Polri.
Di sisi
lain Polri juga berhadapan dengan pihak yang dikuasai (subordinat) yang menyalahkan
polisi karena dianggap membiarkan semua itu terjadi. Kemarahan pihak yang
dikuasai sebenarnya karena tekanan yang mengharuskan mereka menerima
kebijakan yang tak memihak kepadanya dan kesadaran yang dominan atau
kesadaran semu yang dianggap menyimpang dari moral kolektif yang
ditransformasikan Polri, padahal tak sesuai dengan ideologi Tri Brata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar