Mudik
Agus M Irkham ;
Pegiat Literasi
|
KORAN
TEMPO, 25 Juli 2014
Satu
lema yang akrab, ketika Ramadan menjelang paripurna, yaitu mudik. Orang rela
bersusah-payah demi mendapatkan pagi 1 Syawal di kampung halaman, meskipun
kaki terasa pegal lantaran berdiri saat membeli tiket dengan antrean
mengular. Badan lungkrah penat karena berbilang jam dalam perjalanan.
Adalah
penting untuk mencoba memberikan pemaknaan/pembacaan terhadap peristiwa
mudik. Buat para pemudik, mudik tidak sekadar peristiwa alamiah. Hal ini
dilakoni dengan tanpa sengaja atau hanya ikut-ikutan. Tapi, hal ini
betul-betul penuh kesengajaan dan mempunyai alasan atau pijakan yang
mendasar. Golongan masyarakat yang tidak mudik pun menjadi tidak sibuk dengan
prasangkanya sendiri. Mereka akan paham, dan memaklumi, mengapa jutaan orang
berkeras pulang kampung, betapapun melelahkan dan menghabiskan banyak uang.
Dalam
bingkai psikologis, mudik paling kurang mempunyai dua makna. Pertama, menjadi
semacam angop (kuap) berjemaah. Angop merupakan mekanisme mikro, sekaligus
makro-kosmos yang bersifat limbah. Ketika tubuh lelah, ia muncul begitu saja,
tanpa kita undang, guna menyeimbangkan kembali kondisi fisik dan psikis.
Demikianlah hal yang dikatakan Emha Ainun Nadjib. Jadi, mudik berposisi
sebagai jeda atau sela atas keletihan menjalani jelujur kehidupan kota yang hampir
tanpa koma.
Kedua,
di samping menjadi semacam kanalisasi kekalahan hidup, dalam waktu
berbarengan, mudik juga menjadi ajang perayaan kemenangan hidup. Hal ini
berkait jalin dengan pamrih utama orang hijrah ke kota, yaitu perbaikan
ekonomi. Soal ekonomi ini menjadi motivasi utama seseorang melakukan
mobilitas vertikal, berupa peningkatan martabat/status sosial di lingkungan
asal. Dengan demikian, mudik dapat dimengerti sebagai panggung ekspresi
perjuangan hidup dan pembuktian diri.
Dalam
dimensi spiritual, mudik merupakan bentuk kerinduan orang untuk kembali
kepada yang suci. Sebab, melalui mudiklah kita sebenarnya diingatkan kembali
kepada awal kejadian kita, yaitu kehidupan rumah, di mana untuk pertama
kalinya kita melihat dunia. Kita mencenungi saat berada di kandungan ibu.
Kandungan disebut pula sebagai rahim. Tuhan pun diseru dengan sebutan ya
rahim. Kasih sayang Tuhan mewujud pada kasih sayang (rahim) ibu.
Melalui
mudik, manusia diajak kembali untuk membaca halaman pertama buku
kehidupannya. Bersua dengan saudara, orang tua di kampung halaman, atau
menziarahinya, membantu para pemudik mengentalkan makna Lebaran: saling
memaafkan, kembali kepada kesucian, sekaligus teringat bahwa satu waktu pasti
akan kembali ke titik nol. Baik nol dalam pengertian semua bermula dari
ketiadaan eksistensi (peran) maupun dalam ranah dunia milik (perolehan
material). Dengan begitu, melalui mudik, kita dingatkan lagi pada semua titik
perjalanan hidup berawal.
Jika
halaman pertama buku kehidupan itu adalah ketidaan peran dan milik, mudik
seyogianya mampu mendorong kita untuk bergegas menyemai bibit-bibit kebaikan
di tiap-tiap lembar berikutnya buku kehidupan. Dan itu dilakukan dalam rangka
menghadapi mudik yang sesungguhnya, kembali ke rahim Tuhan, saat seluruh
lembaran halaman buku kehidupan kita ditutup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar