Menemukan
Kembali
Iwel Sastra ;
Komedian
|
KORAN
TEMPO, 25 Juli 2014
Saya
sangat suka kisah Nasruddin Hoja, seorang sufi yang hidup sekitar abad ke-13
di Turki. Kisah Nasruddin Hoja sangat jenaka serta penuh nilai-nilai moral
dan agama. Dalam buku tentang 360 cerita jenaka Nasruddin Hoja, dikisahkan
dia kehilangan keledai. Di tengah pasar, dia mengumumkan sayembara:
barangsiapa berhasil menemukan keledainya, keledai itu akan diberikan
kepadanya. Seseorang menghampiri Nasruddin lalu bertanya buat apa keledainya
ditemukan kalau kemudian diberikan kepada yang menemukan. Nasruddin menjawab,
"Kamu tidak tahu nikmatnya
menemukan yang hilang."
Kisah
tersebut sederhana, namun memiliki makna yang dalam. Di antara kita mungkin
ada yang pernah panik ketika lupa menaruh kacamata. Dicari-dicari ke
sana-kemari akhirnya merasa lega setelah kacamata tersebut ditemukan menempel
di kening sendiri. Itu sebenarnya bukan hilang, tapi pikun. Saat ini, orang
cenderung memiliki telepon seluler dua buah. Satu digunakan untuk menelepon
dan yang satu lagi digunakan untuk mencari telepon yang hilang. Coba saja
tanya kepada orang lain, "Lihat
telepon saya enggak?" Rata-rata menjawab, "coba aja di-miscall." Kita merasa lega jika telepon
yang hilang tersebut terdengar bunyinya ketika di-miscall.
Mengalami
kehilangan rasanya menyedihkan. Saya belum pernah bertemu orang yang wajahnya
berseri-seri karena kehilangan. Selain berusaha mencari, agama mengajarkan
cara menghadapi kehilangan dengan mengikhlaskan. Seorang teman pernah
kehilangan telepon seluler, namun dia bisa cepat mengikhlaskan. Dia malah
merasa bahagia kehilangan karena ada alasan untuk berganti nomor. Selama ini,
dia pusing karena sering mendapat telepon dari seorang perempuan. Aneh
memang, mendapat telepon dari perempuan malah pusing. Rupanya perempuan
tersebut staf bagian penagihan kartu kredit dari sebuah Bank. He-he-he.
Untuk
menemukan sesuatu yang hilang harus dicari. Meskipun ada juga yang hilang tak
perlu dicari, karena akan kembali dengan sendirinya. Seorang teman kehilangan
pasangannya di mal yang penuh sesak saat midnight sale. Dia memutuskan untuk
pulang dan tidak mencari pasangannya, karena yakin pasti kembali. Benar saja,
pasangannya kembali, namun sambil marah-marah dengan mengatakan kenapa ia
tidak dicari. Nah, bahkan yang hilang pun walau bisa pulang sendiri tetap
minta dicari.
Ada
dua macam kehilangan. Pertama, kehilangan yang berwujud. Biasanya ini cepat
disadari, seperti kehilangan barang-barang berharga. Kedua, kehilangan yang
tidak berwujud. Biasanya tanpa disadari. Kita menganggap semua berada pada
tempatnya sampai suatu saat kita menyadari bahwa kita sudah tidak
memilikinya. Contohnya, kehilangan harga diri, kehilangan semangat hidup, dan
kehilangan harapan. Terkadang kita mendengarkan seseorang berkata,
"Semangatku telah hilang." Tak pernah ada yang memberikan saran, "Coba diingat lagi, tadi semangatnya
ditaruh di mana?"
Seperti
kata Nasruddin Hoja, menemukan yang hilang memiliki kenikmatan sendiri. Untuk
itu, kita jadikan Ramadan yang tinggal beberapa hari lagi untuk menemukan
yang hilang dari diri kita, terutama yang tidak berwujud. Apakah kita masih
memiliki kepedulian terhadap sesama, apakah kita masih memiliki tenggang
rasa, apakah kita masih memiliki senyum serta hal-hal lain yang bisa kita
tanyakan kepada diri sendiri? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar