Sabtu, 26 Juli 2014

Setelah Penetapan KPU

                                            Setelah Penetapan KPU

M Nafiul Haris  ;   Peneliti
KORAN TEMPO, 24 Juli 2014
                                                


Akal sehat seluruh elemen bangsa pastilah sepakat bahwa penetapan hasil pemilihan presiden 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum, 22 Juli, yang memenangkan pasangan Jokowi-JK, menjadi keputusan final yang tidak bisa diganggu oleh reaksi-reaksi dari tim sukses dan pendukung Prabowo-Hatta. Sebab, masyarakat sendiri tahu, baik melalui laporan siaran televisi maupun media daring, bahwa proses-proses penghitungan manual oleh KPU telah berlangsung jujur, adil, serta tidak diwarnai oleh berbagai bentuk kecurangan, intervensi, dan tekanan.

Karena itu, tugas kita sekarang adalah bekerja keras untuk mengamankan mandat rakyat yang telah diberikan kepada pasangan Jokowi-JK menjadi Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia 2014–2019. Jika ada upaya mengajukan gugatan ke MK dengan alasan telah terjadi kecurangan, pengutak-atikan hasil rekapitulasi dari tingkat kelurahan, kecamatan, hingga KPU pusat sama, itu saja artinya dengan mengkhianati suara rakyat. Selain itu, kualitas demokrasi di Indonesia pun menjadi pertaruhan. Dengan catatan, semua mata rantai penghitungan oleh KPU terbukti belum mampu menjamin akurasi jumlah suara.

Berdasarkan fakta demikian, mau-tidak mau penegakan hukum yang tegas mesti diberlakukan terhadap setiap upaya untuk mengutak-atik laporan penghitungan suara. Jika sampai suara rakyat disia-siakan oleh proses penghitungan yang terintervensi, lalu mempengaruhi hasil rekapitulasi, betapa berdosa siapa pun yang melakukan hal itu dan berandil di dalamnya. Dan, tampaknya, dari berbagai temuan yang terangkat ke media, masalah-masalah di seputar kecurangan menjadi warna yang tidak bisa disepelekan ketika kita ingin mencapai kehidupan demokrasi yang sehat, berkualitas, dan bermaslahat.

Kita bisa memahami perjalanan menuju tanggal 22 Juli terasa menegangkan. Rentang waktu selama satu pekan ini meniscayakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menodai pelaksanaan demokrasi kita. Perilaku saling ngotot di antara kedua kubu kita harapkan ditindih dengan contoh-contoh sikap kenegarawanan. Setidak-tidaknya, cara bersikap itu bisa diharapkan meredam impuls perilaku yang lebih keras. Sudah pasti, pendinginan suhu politik harus dimulai dari "pusat ketegangan", yakni para kandidat yang sudah bertarung meraih suara pemilih.

Penetapan KPU adalah keputusan tertinggi yang harus kita hormati. Sebaiknya, sejumlah tokoh agama, pemerintah, dan kubu pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menurunkan suhu politik yang memanas selepas penetapan KPU. Para kandidat seyogianya mengingat ajaran adiluhung: menang tanpa ngasorake, kalah tanpa wirang. Atau, dalam bahasa lugas pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemenang pilpres jangan umuk, yang kalah jangan ngamuk. Nasihat adiluhung itu mengingatkan, yang menang dalam pertarungan janganlah jemawa, yang kalah jangan dipermalukan. Sangatlah baik apabila masing-masing calon pemimpin meresapkan dan mengendapkan nasihat itu.

Sementara para elite sudah mulai menahan diri untuk beropini, riuh-rendah komunikasi pada tataran akar rumput dan pendukung fanatik di berbagai level dengan hasrat saling menghujat harus segera dihentikan pula. Setiap warga kini dituntut untuk berkomunikasi secara matang agar demokrasi damai yang kita bangun dapat semakin dewasa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar