Setelah
Penetapan KPU
M Nafiul Haris ;
Peneliti
|
KORAN
TEMPO, 24 Juli 2014
Akal
sehat seluruh elemen bangsa pastilah sepakat bahwa penetapan hasil pemilihan
presiden 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum, 22 Juli, yang memenangkan pasangan
Jokowi-JK, menjadi keputusan final yang tidak bisa diganggu oleh
reaksi-reaksi dari tim sukses dan pendukung Prabowo-Hatta. Sebab, masyarakat
sendiri tahu, baik melalui laporan siaran televisi maupun media daring, bahwa
proses-proses penghitungan manual oleh KPU telah berlangsung jujur, adil,
serta tidak diwarnai oleh berbagai bentuk kecurangan, intervensi, dan
tekanan.
Karena
itu, tugas kita sekarang adalah bekerja keras untuk mengamankan mandat rakyat
yang telah diberikan kepada pasangan Jokowi-JK menjadi Presiden-Wakil
Presiden Republik Indonesia 2014–2019. Jika ada upaya mengajukan gugatan ke
MK dengan alasan telah terjadi kecurangan, pengutak-atikan hasil rekapitulasi
dari tingkat kelurahan, kecamatan, hingga KPU pusat sama, itu saja artinya
dengan mengkhianati suara rakyat. Selain itu, kualitas demokrasi di Indonesia
pun menjadi pertaruhan. Dengan catatan, semua mata rantai penghitungan oleh
KPU terbukti belum mampu menjamin akurasi jumlah suara.
Berdasarkan
fakta demikian, mau-tidak mau penegakan hukum yang tegas mesti diberlakukan
terhadap setiap upaya untuk mengutak-atik laporan penghitungan suara. Jika
sampai suara rakyat disia-siakan oleh proses penghitungan yang terintervensi,
lalu mempengaruhi hasil rekapitulasi, betapa berdosa siapa pun yang melakukan
hal itu dan berandil di dalamnya. Dan, tampaknya, dari berbagai temuan yang
terangkat ke media, masalah-masalah di seputar kecurangan menjadi warna yang
tidak bisa disepelekan ketika kita ingin mencapai kehidupan demokrasi yang
sehat, berkualitas, dan bermaslahat.
Kita
bisa memahami perjalanan menuju tanggal 22 Juli terasa menegangkan. Rentang
waktu selama satu pekan ini meniscayakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa
menodai pelaksanaan demokrasi kita. Perilaku saling ngotot di antara kedua
kubu kita harapkan ditindih dengan contoh-contoh sikap kenegarawanan.
Setidak-tidaknya, cara bersikap itu bisa diharapkan meredam impuls perilaku
yang lebih keras. Sudah pasti, pendinginan suhu politik harus dimulai dari
"pusat ketegangan", yakni para kandidat yang sudah bertarung meraih
suara pemilih.
Penetapan
KPU adalah keputusan tertinggi yang harus kita hormati. Sebaiknya, sejumlah
tokoh agama, pemerintah, dan kubu pasangan calon presiden-calon wakil presiden
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menurunkan suhu politik yang memanas selepas
penetapan KPU. Para kandidat seyogianya mengingat ajaran adiluhung: menang
tanpa ngasorake, kalah tanpa wirang. Atau, dalam bahasa lugas pesan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, pemenang pilpres jangan umuk, yang kalah jangan
ngamuk. Nasihat adiluhung itu
mengingatkan, yang menang dalam pertarungan janganlah jemawa, yang kalah
jangan dipermalukan. Sangatlah baik apabila masing-masing calon pemimpin
meresapkan dan mengendapkan nasihat itu.
Sementara
para elite sudah mulai menahan diri untuk beropini, riuh-rendah komunikasi
pada tataran akar rumput dan pendukung fanatik di berbagai level dengan
hasrat saling menghujat harus segera dihentikan pula. Setiap warga kini
dituntut untuk berkomunikasi secara matang agar demokrasi damai yang kita
bangun dapat semakin dewasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar