Rabu, 23 Juli 2014

Berpuasa Lahir Batin

                                               Berpuasa Lahir Batin

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO,  21 Juli 2014
                                                


Berpuasa itu hidup dalam pencegahan dan pembatasan. Kita sibuk mencegah keinginan agar kita yang menjadi ”raja” dan keinginan kita kendalikan.

Berpuasa juga berarti bahwa kita sibuk membuat pembatasan-pembatasan. Apa yang boleh dilakukan pada bulan-bulan lain dilarang pada bulan puasa. Apa yang halal pada bulan-bulan lain haram pada bulan puasa. Kita tak mengeluh menghadapi pembatasan. Kita sibuk membuat batasbatas terhadap diri kita yang boleh jadi tak mengenal batas. Kemampuan membatasi diri itu tanda bahwa kita berkuasa dan bahwa diri kita tak dikuasai keinginan dan nafsu-nafsu yang cenderung tak pernah merasa cukup. Berpuasa mengajarkan apa yang cukup itu betulbetul cukup.

Di dalam kebudayaan Jawa, terutama Jawa zaman dahulu, Jawa ortodoks, Jawa asli, dan tak terpengaruh warna-warni kebudayaan lain, berpuasa itu menjadi kebajikan sosial, sekaligus keutamaan moral, yang disepakati di dalam masyarakat, menjadi konsensus bersama tanpa dipaksakan. Mereka yang tak pernah bisa melakukannya merasa malu secara sosial, malu pada yang bisa melakukannya, dan malu pada orang banyak. Ada sejenis asketisme yang berhubungan dengan dunia lain, mungkin seperti disebut Weber dengan nama ”other worldly ascetism”, sejenis kesalehan langit, yang mengesankan bahwa warna religious dalam budaya begitu kuat.

Tapi, sebutan kesalehan langit mungkin menjadi tidak terlalu tepat karena kesalehan-kesalehan dan cara hidup yang penuh pembatasan diri itu–Ben Anderson menyebutnya usaha ”mengecilkan diri”–pada kenyataannya menjadi begitu jelas ditujukan untuk ”membesarkan diri”. Puasa di dalam kebudayaan Jawa lebih berat dibandingkan dengan puasa yang kita kenal dalam Islam. Makna ”cegah dahar lawan guling” , mencegah makan dan tidur, dalam pelaksanaannya sungguh tidak mudah, tak semudah mengidungkannya ketika ajaran itu baru berupa kidung ”kinanthi” yang enak dinyanyikan.

Mencegah atau membatasi makan mungkin tak menjadi masalah. Tetapi, mencegah tidur jauh lebih berat. Apalagi bila harus dilakukan dalam tiga hari tiga malam atau tujuh hari tujuh malam, bahkan ada yang sampai mencapai empat puluh hari empat puluh malam, sebagaimana dibakukan di dalam tradisi asketisme yang sekarang barangkali sudah punah dan ditinggalkan orang.

Asketisme Jawa bukan hanya ”cegah dahar lawan guling” tadi. Dalam hidup sehari-hari, asketisme mengajarkan agar kita selalu tampil bersahaja, hidup sederhana, menjauhi kemewahan dan apa yang glamor. Kita diajarkan ”manganggoa sawatawis”, berpakaian sederhana, yang mengesankan bersahabat, dan tidak sombong pada siapa pun. Kecuali itu kita juga diminta ”ojo pijer sukan-sukan”, agar menjauhi hidup berfoya-foya, pesta-pesta meriah, alasannya: ”olo wateke wong suko” senangsenang itu jelek karena ”nyudo prayitnaning batin” batin menjadi lalai akan kewajiban mengabdi atau beribadat pada Tuhan.

Senang-senang tak memberi dukungan, bahkan menghalangi kehendak jiwa untuk hidup dalam asketisme yang mulia itu. Bersenang-senang atau berfoya-foya itu bukan hanya semata-mata pemborosan, melainkan juga merusak jiwa. Pemerintah Orde Baru pernah menyadari bahwa korupsi sudah terlalu merajalela dan para pejabat hidup kelewat mewah. Istri-istri mereka yang sombong itu menjadi lebih sombong karena ikut berkuasa. Para istri itu juga kelewat sering belanja secara berlebihan di luar negeri dan minta tiket gratis pada Garuda.

Selebihnya mereka menyelenggarakan pesta-pesta perkawinan buat anak mereka dengan menghambur-hamburkan uang yang tak diragukan lagi uang negara ikut ”hanyut” ke dalamnya. Pejabat yang berpesta itu sudah– setidaknya sebagian– menggunakan uang negara dan para pejabat lain yang menyumbang pun tak mustahil menyumbang dengan menggunakan dana negara, dari apa yang namanya dana taktis, dana tak terduga, dan sebutan lain, yang mereka bikin sendiri untuk menghalalkan korupsi yang mereka tradisikan sebagaisesuatuyangtakperlu dicela, apalagi dikutuk.

Bagaimana ajaran semulia itu tak bisa dilaksanakan dalam hidup untuk mewujudkan kebajikan langit di bumi ini? Mengapa ada jarak begitu jauh antara ajaran dan tindakan? Mengapa kemunafikan dipelihara dengan sebaik-baiknya, melalui anjuran-anjuran ”hidup sederhana”, yang digembar-gemborkan pemerintah melalui media massa, tetapi diam-diam dilanggar di dalam kehidupan dunia hitam yang terlindung dari pandangan hukum dan penegak hukum?

Tokoh-tokoh dunia rohani berteriak-teriak dan mengutuk tindakan itu dari rumah ibadah. Tapi, apa artinya teriakan dari sana, yang berhenti pada teriakan, tanpa tindakan hukum dan penegakan hukum secara nyata? Dari dulu kemunafikan kita memang menonjol. Kita berbicara agama, moral, kemanusiaan, dan keadilan, tapi tindakan kita melawan secara frontal semua dalil rohaniah itu. Itu dahulu. Mungkin itu sudah menjadi bagian dari sejarah moralitas sekaligus sejarah politik yang munafik dalam rezim Orde Baru yang otoriter.

Reformasi tampak terburu-buru ingin menutup semua itu dari ingatan dan tak hendak menjadikannya kenangan. Ada pula yang sok bijaksana yang menyarankan biarlah yang lalu berlalu. Jangan lagi kita melihat ke belakang. Kita diminta melihat hanya ke depan, membaca prospek kehidupan kita yang begitu lama terkoyak-koyak kemunafikan dan keserakahan manusia akan harta benda dan kekuasaan. Ada pula yang menambahkan unsur wanita di dalam tiga ”ta” yang terkenal: harta, tahta, wanita. Ini pun buatan mereka sendiri, yang segera mereka langgar dengan terang-terangan.

Reformasi, dengan segenap semangat, hendak membikin hancur luluh semua itu dalam masa pendek. Apa hasilnya? Keadaan kita lebih baik karena ada bukti-bukti nyata bahwa saat ini kehidupan politik didominasi oleh begitu banyak partai politik Islam? Kita lebih saleh dan lebih mampu berpuasa secara khusyuk, tulus, dan ikhlas, hanya semata kepada Allah karena tokoh-tokoh kita di parlemen, ”berapa” pun ”komisinya”, para tokoh Islam yang dahsyat itu yang berkuasa, yang bicaranya bisa mengguncang tugu Monas, dan menggetarkan dindingdinding beton Istana.

Kita bangsa yang saleh? Kita tokoh-tokoh dan orang-orang beragama, yang mampu memberi teladan mulia pada rakyat biasa? Kita tokoh-tokoh rohaniah, yang tak doyan harta yang bukan milik kita? Kita politisi berbasis agama yang hidup lurus, semata mengabdi kebenaran, demi kemuliaan Allah? Kitahidupdamai, dan menjauhkan diri dari menyalahkan orang lain, dan menganggap pihak lain kafir, dan hanya kita kekasih Allah?

Apakah berpuasa pada Ramadan tahun ini membuat kita menjadi orang muslim yang benar-benar muslim, yang jauh dari kejahatan kemanusiaan terhadap sesama manusia? Apakah kita sudah bisa berpuasa dengan niat semata untuk Allah, dengan puasa lahir maupun batin?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar