Rekonsilasi
Nasional
Fachry Ali ;
Salah Satu Pendiri Lembaga
Studi
dan
Pengembangan Etika Usaha Indonesia
|
KOMPAS,
22 Juli 2014
PRABOWO Subianto tentu bukanlah Joko Widodo. Demikian juga
sebaliknya. Untuk sekadar memberikan perspektif, kita perlu melihat
spesifikasi setiap tokoh besar ini. Probowo mempunyai jejak kesejarahan
”gemilang”. Kakeknya, Margono Djojohadikoesoemo, bukan hanya sudah menjadi
bagian dari kaum terpelajar melalui politik etis yang dilancarkan pemerintah
kolonial Belanda sejak 1901, melainkan juga pendiri Bank Nasional Indonesia
(BNI) pada 1946. Keterpelajaran ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, jauh lebih
gemilang karena ia berhasil meraih doktor dalam ekonomi pertanian pada
1930-an dari Belanda.
Lebih dari itu, mengutip ekonom M Dawam Rahardjo, bersama
Mohammad Hatta dan Sjafruddin Prawiranegara, Sumitro adalah salah satu
peletak dasar awal kebijakan ekonomi Indonesia. Sebagai menkeu di bawah
Perdana Menteri Moh Natsir, Sumitro-lah, pada awal 1950-an, yang melancarkan Kebijakan Benteng. Suatu usaha
membangun lapisan tengah industriawan pribumi dengan memanfaatkan sumber daya
negara. Kelak, di masa awal Orde Baru (1967-1998), sang ayah, bersama Widjojo
Nitisastro dan lain-lain, tetap menjadi arsitek pembangunan ekonomi di bawah
Presiden Soeharto.
Dengan melihat jejak kesejarahan kakek dan ayahnya, kita segera
tahu posisi sosial-budaya Prabowo. Memperoleh pendidikan dasar, menengah, dan
menengah atas di Eropa dan Amerika Serikat awal 1960-an hingga 1970-an, kita
seakan-akan sedang melihat sebuah garis lurus yang menghubungkan kakek, ayah,
dan cucunya ini ke dalam sebuah dunia baru: kemodernan dan kemajuan. Garis
lurus kakek-ayah-cucu ini ”disempurnakan” Prabowo dan adiknya, Hashim
Djojohadikusumo, dengan menjadi tentara dan ”pedagang”.
Dengan status terakhir itu, garis penghubung tiga generasi itu
berhasil mengakumulasi tiga kelas sosial sekaligus: priayi, kesatria, dan
pedagang. Dengan latar belakang aspek kesejarahan dan status sosial keluarga
yang luar biasa inilah Prabowo mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014.
Jokowi, di lain pihak, sosok rakyat biasa. Dalam kerangka
penglihatan kemodernan dan kemajuan, Jokowi tak menawarkan sesuatu yang
”gemilang” dalam sejarah keluarganya. Jika kakek Prabowo pendiri BNI, kakek
Jokowi hanyalah ”penjual kayu”. Dan, ayahnya yang bernama Notomihardjo? Dalam
sebuah catatan, sang ayah ini bahkan awalnya seorang homeless. Karena itu, ia
pernah membawa keluarganya, termasuk Jokowi kecil, berpindah-pindah dari satu
ke lain rumah secara tak menetap di Solo, Jawa Tengah.
Yang membuat keadaan sedikit berubah adalah Jokowi pada akhirnya
lulus dari Jurusan Teknik Kayu Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta, akhir
1980-an. Latar belakang ”akademik” ini mengantarkannya jadi pengusaha mebel.
Maka, berbeda dengan Probowo, sampai dengan usaha mebel itu, keluarga Jokowi
tak mengakumulasi status kelas apa pun yang bisa ditengok dengan serius.
Hanya saja, ”sukses” dalam usaha permebelan itu menawarkan karier baru bagi
Jokowi: politik. Kita tahu, setelah jadi wali kota Solo dan gubernur DKI
Jakarta, karier politik Jokowi melesat menjadi capres pada 2014.
Perbandingan latar belakang kesejarahan ini memperlihatkan fakta
menakjubkan. Dengan mengikuti garis kombinasi keluarga priayi, kesatria, dan
pedagang, melalui pilpres, Prabowo bertaruh menapaki puncak kepemimpinan
nasional. Jokowi, di lain pihak, lebih menggambarkan sebuah perubahan radikal
dalam menapaki jalur yang sama: hampa dari kemegahan sejarah keluarga.
Dalam arti kata lain, melalui Jokowi, yang mampu tampil sebagai
capres sebuah negara sebesar Indonesia, kita melihat perubahan dramatis
sejarah kesadaran politik rakyat. Sebab, inilah untuk pertama kali kita
saksikan kelas elite negara ini ”ditantang” oleh ”wong cilik” dalam
memperebutkan puncak pimpinan nasional.
Akan tetapi, pertarungan ”elite-wong
cilik” ini sama sekali tak mempunyai alasan fundamental membawa
perpecahan bangsa. Benar bahwa polarisasi sosial-politik dan ekonomi terjadi
sepanjang proses pilpres berlangsung. Namun, ini hanya refleksi kebutuhan
sebuah kontestasi politik. Yaitu,
keharusan menciptakan mesin penggalang dukungan dalam bentuk dua
koalisi besar partai-partai politik plus massa pendukung. Selebihnya,
kontestasi ini, sebagaimana akan dilihat di bawah, berlangsung di atas sebuah
kerangka aturan permainan yang disepakati bersama.
Persamaan nilai
Bagaimana kontestasi pilpres ini dimaknai secara teoretis? Di
sini, kita bisa meminjam frasa exigency
dari sosiolog Chalmers Johnson dalam karyanya, Revolutionary Change, yang sambil lalu tepergok dalam States and Social Revolutions karya
Theda Skocpol. Bahwa pada dasarnya stabilitas masyarakat akan terjaga
sepanjang value-coordinated social
system (sistem sosial yang terkoordinasikan melalui persamaan nilai)
tetap berkinerja.
Sebab, sistem sosial semacam ini secara fungsional mampu
menyesuaikan diri ke dalam exigencies
(keadaan darurat) lingkungannya. Perubahan radikal baru terjadi ketika exigencies tersebut tak lagi mampu
diadaptasikan oleh sistem itu. Ini berarti sistem itu telah kehilangan fungsi
koordinasi nilai yang sebelumnya disepakati bersama seluruh konstituen
sosial-politik dan budaya.
Saya melihat siklus proses pilpres di Indonesia sebagai exigency tetap dan berulang setiap
lima tahun. Dan, sebagaimana telah kita saksikan sepanjang periode reformasi,
sifat exigency pilpres dengan mudah
terakomodasikan ke dalam value-coordinated
social system yang berlaku di Indonesia. Pertanyaannya, apa wujud konkret
value-coordinated social system itu
yang membuat Prabowo dan Jokowi merasa terikat di dalamnya?
Unsur pengikat
Selain Undang-Undang (UU) Pemilu, peraturan Komisi Pemilihan
Umum (KPU), UU Kepartaian, dan lainnya, ada dua hal pokok yang secara
subyektif berfungsi sebagai ”pengikat” kedua tokoh ini ke dalam sistem sosial
itu: sejarah bangsa dan motif pribadi yang menstrukturkan sistem gagasan dan
tindakan dalam kontestasi pilpres ini.
Dalam konteks sejarah bangsa, Prabowo dan Jokowi (berikut
seluruh pendukung masing-masing) tentu sangat menyadari bahwa kemunculan
Indonesia yang merdeka adalah proyeksi subjektif bangsanya sendiri. Ini
sangat perlu ditekankan karena adalah di luar imajinasi bahwa bangsa
Indonesia mampu merebut kemerdekaannya dari kekuatan penjajah Belanda jika
hanya bertelekan pada realitas objektif.
Selain kelemahan mental bangsa Indonesia yang sengaja diciptakan
penjajah selama ratusan tahun, realitas objektif yang mengukuhkan psikologi
kemustahilan ini terletak pada fakta bahwa klaim Belanda atas Indonesia
sampai sebelum akhir 1949 diakui dunia internasional. Maka, tanpa tekad
subjektif bangsa, adalah tak mungkin Indonesia mencapai kemerdekaannya. Sifat
subjektif yang diterjemahkan ke dalam aksi patriotisme ini bukanlah hal asing
dalam sejarah keluarga Prabowo. Bukankah pamannya sendiri, Subianto, gugur
dalam mempertahankan tekad subjektif ini pada 1946?
Melihat fakta ini, akan terlalu melawan logika jika ada anggapan
bahwa Prabowo akan merancang konflik sosial yang bisa menimbulkan krisis bagi
bangsa ini hanya karena kalah dalam kontestasi pilpres. Sebab, bukankah
kemerdekaan negeri ini turut diperjuangkan oleh anggota inti keluarganya
sendiri? Hal yang sama bisa kita proyeksikan juga kepada Jokowi. Sebagai
anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Jokowi tentu sangat
menyadari bahwa partai ini merupakan kelanjutan Partai Nasional Indonesia
(PNI). Dan, bukankah Soekarno, pendiri PNI, adalah pejuang utama pendirian Indonesia
merdeka?
Justru dalam konteks inilah kita melihat motif subjektif kedua
tokoh ini mencalonkan diri sebagai presiden secara lebih jernih pada 2014
ini. Dalam arti keinginan tersebut merefleksikan keyakinan pribadi bahwa
Indonesia yang diperjuangkan oleh generasi patriot di masa lalu hanya akan
lebih baik jika dipimpin oleh salah satu di antara keduanya.
Maka, wujud kontestasi pilpres ini lebih dihayati sebagai,
meminjam frasa antropolog Clifford Geertz, the politics of meaning atau the
struggle for the real. Yaitu, pertarungan memperebutkan siapa yang paling
absah menjadi juru tafsir bagi kebaikan negeri ini. Maka, esensi kontestasi
ini adalah pertarungan budaya yang diartikulasikan dalam bentuk politik.
Realitas objektif, berupa UU dan peraturan-peraturan pemilu dan
kepartaian, serta kondisi subyektif kesejarahan bangsa yang melahirkan
penghayatan patriotisme-emosional inilah yang hingga kini menjadi value-coordinated social system pada
apa Prabowo dan Jokowi serta seluruh pendukung mereka mengikat diri.
Inilah alasan fundamental mengapa kita semua berkeyakinan bahwa
konflik dan krisis politik tak akan terjadi setelah pengumuman hasil pilpres
pada 22 Juli. Sebab, dengan mengikatkan diri sepenuhnya pada value-coordinated social system itu,
keduanya akan menghayati proses pilpres sebagai exigency yang segera tersesuaikan ke dalam sistem nasional yang
berlaku. Salah satu wujud penting dari penghayatan ini adalah ucapan selamat
baik dari Prabowo maupun Jokowi kepada ”sang
pemenang”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar