Mimpikan
Negeri Ramah Anak
Fransisca Ayu Kumalasari ;
Lulusan Magister Hukum UGM
|
KORAN
JAKARTA, 26 Juli 2014
Hiruk-pikuk
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 menyita perhatian seluruh rakyat. Dalam
situasi seperti itu wajar bila 23 Juli yang merupakan Hari Anak Nasional
(HAN) tanpa kegiatan.
Wajar
saja karena warga baru saja memperoleh buah pesta demokrasi. Maka tak
berlebihan jika presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo- Jusuf
Kalla, menjadi kado terindah dan bersejarah anak-anak Indonesia pada HAN kali
ini. Anak adalah kekuatan potensial proses regenerasi kepemimpinan suatu
negara.
Mereka
bingkai masa depan yang akan mewarnai perjalanan negeri dalam melewati
gelombang dan rawa hutan masalah. Maka warisan paling besar setiap
kepemimpinan nasional adalah penghormatan terhadap hak-hak anak yang menjadi
agenda utama kerja. Jika salah memberi warna bangsa bisa krisis kepemimpinan.
Pemilu
2014 baru saja sebenarnya ladang persemaian proses pembelajaran buat
anak-anak. Mereka melihat langkah laku politik para elite-elite dalam
kampanye, mewacanakan gagasan, strategi pemenangan. Mereka juga dapat
menonton cara menyikapi hasil pemilu. Semua menjadi pelajaran visual
anak-anak.
Dengan
liberalisasi media sedemikian “liar”, segala perilaku dan informasi di
jejaring sosial dan televisi telah memasuki kognisi dan memori mereka. Sikap
elite politik yang mengusung kebencian, primordialisme, narsisme, dan
praktik-praktik korupsi terus-menerus telah ikut menurunkan suatu perilaku
anomali (temperamental, vandalisme, apatisme, dan individualisme) dalam diri
anak muda.
Kejahatan
anak saat ini tak dapat dilepaskan dari dari budaya politisi yang keropos dan
tidak kunjung dewasa. Dari ke hari rakyat mudah menyaksikan bangsa ini
memanen dampaknya. Di satu sisi, bangsa berjumpa pola kematangan prematur
yang membuat anak bertingkah delinkuen sebagaimana layaknya orang dewasa.
Di
sisi lain pun banyak anak mengalami keterbelakangan mental karena trauma
psikologis dari pengalaman sekitar. Dua dampak ini cocok dengan data dan
fakta persoalan anak sehari-hari. Pelaku kekerasan sesama anak seperti
tawuran, pelecehan seksual, perkosaan, dan mencuri tambah marak. Ketiadaan
solidaritas dan kepekaan anak terhadap masalah sekitar menambah keburukan.
Tali-temali
kekerasan yang reproduktif kian menguat dalam kehidupan anak, baik di rumah,
sekolah, maupun lingkungan pergaulan. Dari hari ke hari pula mereka
kehilangan keteladanan yang menstimulasi pikiran dan perilaku positif yang
mengancam masa depan. Sayang ini tak disadari orang tua, guru, dan
pemerintah.
Ancaman
Pada
ruang lain, kehidupan anakanak juga semakin terancam lingkungan eksternal
yang destruktif lewat berbagai aksi kekerasan. Data Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) menyebutkan pada tahun 2014 saja lebih dari 400 kasus
kekerasan.
Contoh
kekerasan seksual di Jakarta
International School dan pedofil di Sukabumi dengan korban 95 anak. Di
kawasan Jabodetabek pada 2010, kekerasan terhadap anak mencapai 2.046 kasus,
lalu naik menjadi 2.462 kasus. Pada 2012 naik lagi menjadi 2.626 kasus dan
pada 2013 melonjak menjadi 3.339 kasus.
Dalam
tiga bulan pertama 2014, KPAI menerima 252 laporan kekerasan anak dengan
dominasi kejahatan seksual. Kekerasan telah mengindikaskan negara tidak
peduli investasi anak sebagai tulang punggung negara masa depan.
Pada
18 Desember tahun lalu ada orang tua tega membanting bocah umur 3 tahun
hingga tewas hanya karena rewel terus. Pada 15 Desember, bocah 7 tahun di
Riau disiksa dan dibuang ke kebun sawit. Pada 11 Desember seorang bocah 6
tahun di Magetan, Jawa Timur, disiram air keras ayahnya. Pada 2 Desember,
bayi 1,5 tahun di Ciracas, Jakarta Timur, tewas dianiaya ayah.
Motif
kekerasan terhadap anak secara garis besar terjadi karena penyimpangan
otoritas orang tua yang cenderung melihat buah hati sebagai objek kompensasi
atas masalah-masalah rumah tangga yang kian rumit dan tak tertangani. Belum
lagi eksploitasi anak-anak di bawah umur untuk memenuhi kepentingan ekonomi
keluarga maupun sindikat kejahatan.
Tahun
2009 dari Survei Pekerja Anak (SPA) menunjukkan sekitar 4,1 juta bocah
berusia 5-17 harus bekerja dan sekitar 6,9 persen dari 58,8 juta anak usia
5-17 tereksploitasi untuk mencari uang. Dalam banyak kasus, tak sedikit anak
perempuan haarus memalsukan umur menjadi pekerja seks komersial.
Ini
kian menguatkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang
menyebutkan dari 5.361 kasus kekerasan anak tahun 2010-2012, lebih dari 68
persen kekerasan seksual. Pelaku eksploitasi anak belum ditindak secara hukum
secara berarti. Padahal Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002
(Pasal 88) mengatur tindakan hukum pelaku eksploitasi ekonomi atau seksual
anak.
Ancaman
pidananya penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 200 juta.
Untuk penindakan Indonesia belum setegas negara luar. Baru-baru ini,
misalnya, ada temuan Samsung
Electronics terkait dugaan praktik pekerja anak di sebuah pabrik pemasok
di Tiongkok, Dongguan Shinyang
Electronics. Ini terkuak setelah kelompok aktivis berbasis di New York,
China Labor Watch, menuduh ada eksploitasi anak di perusahaan tersebut.
Samsung
pun menghentikan kerja sama bisnis “secara sementara” dengan pemasok tersebut
sambil menunggu hasil akhir penyelidikan. Samsung juga berjanji bakal
memperketat kontrak kerja, tidak hanya pada fasilitas produksi, tetapi juga
untuk mencegah pengulangan.
Baru
Seiring
dengan perkembangan informasi dan gaya hidup, pola eksploitasi anak tidak
lagi dengan cara-cara konvensional seperti soal seks, ngemis, ngamen di
jalanan, mempekerjakan, tetapi juga memasukkan dalam pusaran kapitalisasi
media hiburan dengan kedok pengembangan kreativitas. Contoh, menjadikan anak
sebagai bintang film, sinetron, atau iklan. Dalihnya penyaluran bakat.
Padahal
langkah ini ini telah merusak proses tumbuh kembang anak secara normal. Anak
didikte kecenderungan sosial ekonomi yang menjadikan sebagai nilai utama
kehidupan. Prestasi tidak diukur nilai kematangan psikologis, etika,
moralitas, tetapi sejumlah kapital yang dikumpulkan sejak kanak-kanak. Jangan
heran jika kemudian bocah-bocah mencaplokkan nilai kebanggaan diri pada
materi yang dikenakan.
Inilah
benih awal budaya praktik korupsi. Memang tidak mudah mengurus, membesarkan,
dan melindungi anak. Pemerintah harus komit melahirkan kebijakan pro-masa
depan anak. Pemerintah harus menegakkan hukum guna melindungi anak dari
ancaman eksternal berupa kekerasan dan eksploitasi ekonomis.
Hanya
generasi yang berkualitas dan berkarakter siap memegang estafet kepemimpinan
bangsa. Semoga Presiden baru benar-benar mau mengerti jiwa, perasaan, serta
kebutuhan anak-anak agar negeri ini sungguh ramah pada mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar