Kamis, 31 Juli 2014

Mimpikan Negeri Ramah Anak

                                 Mimpikan Negeri Ramah Anak

Fransisca Ayu Kumalasari  ;   Lulusan Magister Hukum UGM
KORAN JAKARTA, 26 Juli 2014
                                                


Hiruk-pikuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 menyita perhatian seluruh rakyat. Dalam situasi seperti itu wajar bila 23 Juli yang merupakan Hari Anak Nasional (HAN) tanpa kegiatan.

Wajar saja karena warga baru saja memperoleh buah pesta demokrasi. Maka tak berlebihan jika presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo- Jusuf Kalla, menjadi kado terindah dan bersejarah anak-anak Indonesia pada HAN kali ini. Anak adalah kekuatan potensial proses regenerasi kepemimpinan suatu negara.

Mereka bingkai masa depan yang akan mewarnai perjalanan negeri dalam melewati gelombang dan rawa hutan masalah. Maka warisan paling besar setiap kepemimpinan nasional adalah penghormatan terhadap hak-hak anak yang menjadi agenda utama kerja. Jika salah memberi warna bangsa bisa krisis kepemimpinan.

Pemilu 2014 baru saja sebenarnya ladang persemaian proses pembelajaran buat anak-anak. Mereka melihat langkah laku politik para elite-elite dalam kampanye, mewacanakan gagasan, strategi pemenangan. Mereka juga dapat menonton cara menyikapi hasil pemilu. Semua menjadi pelajaran visual anak-anak.

Dengan liberalisasi media sedemikian “liar”, segala perilaku dan informasi di jejaring sosial dan televisi telah memasuki kognisi dan memori mereka. Sikap elite politik yang mengusung kebencian, primordialisme, narsisme, dan praktik-praktik korupsi terus-menerus telah ikut menurunkan suatu perilaku anomali (temperamental, vandalisme, apatisme, dan individualisme) dalam diri anak muda.

Kejahatan anak saat ini tak dapat dilepaskan dari dari budaya politisi yang keropos dan tidak kunjung dewasa. Dari ke hari rakyat mudah menyaksikan bangsa ini memanen dampaknya. Di satu sisi, bangsa berjumpa pola kematangan prematur yang membuat anak bertingkah delinkuen sebagaimana layaknya orang dewasa.

Di sisi lain pun banyak anak mengalami keterbelakangan mental karena trauma psikologis dari pengalaman sekitar. Dua dampak ini cocok dengan data dan fakta persoalan anak sehari-hari. Pelaku kekerasan sesama anak seperti tawuran, pelecehan seksual, perkosaan, dan mencuri tambah marak. Ketiadaan solidaritas dan kepekaan anak terhadap masalah sekitar menambah keburukan.

Tali-temali kekerasan yang reproduktif kian menguat dalam kehidupan anak, baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan pergaulan. Dari hari ke hari pula mereka kehilangan keteladanan yang menstimulasi pikiran dan perilaku positif yang mengancam masa depan. Sayang ini tak disadari orang tua, guru, dan pemerintah.

Ancaman

Pada ruang lain, kehidupan anakanak juga semakin terancam lingkungan eksternal yang destruktif lewat berbagai aksi kekerasan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan pada tahun 2014 saja lebih dari 400 kasus kekerasan.

Contoh kekerasan seksual di Jakarta International School dan pedofil di Sukabumi dengan korban 95 anak. Di kawasan Jabodetabek pada 2010, kekerasan terhadap anak mencapai 2.046 kasus, lalu naik menjadi 2.462 kasus. Pada 2012 naik lagi menjadi 2.626 kasus dan pada 2013 melonjak menjadi 3.339 kasus.

Dalam tiga bulan pertama 2014, KPAI menerima 252 laporan kekerasan anak dengan dominasi kejahatan seksual. Kekerasan telah mengindikaskan negara tidak peduli investasi anak sebagai tulang punggung negara masa depan.

Pada 18 Desember tahun lalu ada orang tua tega membanting bocah umur 3 tahun hingga tewas hanya karena rewel terus. Pada 15 Desember, bocah 7 tahun di Riau disiksa dan dibuang ke kebun sawit. Pada 11 Desember seorang bocah 6 tahun di Magetan, Jawa Timur, disiram air keras ayahnya. Pada 2 Desember, bayi 1,5 tahun di Ciracas, Jakarta Timur, tewas dianiaya ayah.

Motif kekerasan terhadap anak secara garis besar terjadi karena penyimpangan otoritas orang tua yang cenderung melihat buah hati sebagai objek kompensasi atas masalah-masalah rumah tangga yang kian rumit dan tak tertangani. Belum lagi eksploitasi anak-anak di bawah umur untuk memenuhi kepentingan ekonomi keluarga maupun sindikat kejahatan.

Tahun 2009 dari Survei Pekerja Anak (SPA) menunjukkan sekitar 4,1 juta bocah berusia 5-17 harus bekerja dan sekitar 6,9 persen dari 58,8 juta anak usia 5-17 tereksploitasi untuk mencari uang. Dalam banyak kasus, tak sedikit anak perempuan haarus memalsukan umur menjadi pekerja seks komersial.

Ini kian menguatkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang menyebutkan dari 5.361 kasus kekerasan anak tahun 2010-2012, lebih dari 68 persen kekerasan seksual. Pelaku eksploitasi anak belum ditindak secara hukum secara berarti. Padahal Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 (Pasal 88) mengatur tindakan hukum pelaku eksploitasi ekonomi atau seksual anak.

Ancaman pidananya penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 200 juta. Untuk penindakan Indonesia belum setegas negara luar. Baru-baru ini, misalnya, ada temuan Samsung Electronics terkait dugaan praktik pekerja anak di sebuah pabrik pemasok di Tiongkok, Dongguan Shinyang Electronics. Ini terkuak setelah kelompok aktivis berbasis di New York, China Labor Watch, menuduh ada eksploitasi anak di perusahaan tersebut.

Samsung pun menghentikan kerja sama bisnis “secara sementara” dengan pemasok tersebut sambil menunggu hasil akhir penyelidikan. Samsung juga berjanji bakal memperketat kontrak kerja, tidak hanya pada fasilitas produksi, tetapi juga untuk mencegah pengulangan.

Baru

Seiring dengan perkembangan informasi dan gaya hidup, pola eksploitasi anak tidak lagi dengan cara-cara konvensional seperti soal seks, ngemis, ngamen di jalanan, mempekerjakan, tetapi juga memasukkan dalam pusaran kapitalisasi media hiburan dengan kedok pengembangan kreativitas. Contoh, menjadikan anak sebagai bintang film, sinetron, atau iklan. Dalihnya penyaluran bakat.

Padahal langkah ini ini telah merusak proses tumbuh kembang anak secara normal. Anak didikte kecenderungan sosial ekonomi yang menjadikan sebagai nilai utama kehidupan. Prestasi tidak diukur nilai kematangan psikologis, etika, moralitas, tetapi sejumlah kapital yang dikumpulkan sejak kanak-kanak. Jangan heran jika kemudian bocah-bocah mencaplokkan nilai kebanggaan diri pada materi yang dikenakan.

Inilah benih awal budaya praktik korupsi. Memang tidak mudah mengurus, membesarkan, dan melindungi anak. Pemerintah harus komit melahirkan kebijakan pro-masa depan anak. Pemerintah harus menegakkan hukum guna melindungi anak dari ancaman eksternal berupa kekerasan dan eksploitasi ekonomis.

Hanya generasi yang berkualitas dan berkarakter siap memegang estafet kepemimpinan bangsa. Semoga Presiden baru benar-benar mau mengerti jiwa, perasaan, serta kebutuhan anak-anak agar negeri ini sungguh ramah pada mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar