Kebijakan
Subsidi 2015
Joko Tri Haryanto ;
Bekerja di Kementerian
Keuangan
|
KORAN
JAKARTA, 21 Juli 2014
Pada awal bulan ini, pemerintah dan DPR menyepakati kebijakan
belanja pemerintah dalam proses penyusunan Rancangan APBN (R-APBN) 2015.
Secara umum, ada 9 kebijakan belanja pemerintah pusat di tahun 2015 tersebut.
Yang cukup menarik dicermati menyangkut upaya meningkatkan efektivitas
subsidi.
Hal itu ditempuh melalui pengendalian konsumsi BBM bersubsidi,
peningkatan program konversi BBM ke BBG, pengembangan gas kota. Ada juga
pengembangan energi baru dan terbarukan serta pengalihan secara bertahap
subsidi barang ke orang (targeted).
Subsidi BBM betul-betul menakutkan. Berbagai upaya telah
dilakukan, tapi belum optimal. Tahun lalu, misalnya, dikeluarkan Peraturan
Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pembatasan Penggunaan BBM
Bersubsidi di kalangan PNS/PNSD dan BUMN/BUMD, tapi tidak sukses.
Ada juga pemasangan radio frequency identification (RFID) pada
kendaraan pribadi, juga kurang optimal membatasi penggunaan BBM bersubsidi.
Sebelum akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM bersubsidi per Juni 2013,
pemerintah juga sempat berpolemik lewat ide dual price BBM bersubsidi.
Dengan perbedaan harga, kendaraan pribadi berkapasitas besar,
SPBU wajib menjual dengan harga keekonomian, sementara untuk kendaraan
pribadi berkapasitas kecil, motor, dan umum, boleh jual bersubsidi. Kemudian
muncul gugatan masyarakat. Harga ganda sulit dijalankan dan lemah. Maka, 22
Juni 2013 harga BBM bersubsidi dinaikkan dari 4.500/liter menjadi
6.500/liter. Ini dibarengi juga berbagai bantuan langsung ke rakyat. Dari
sisi anggaran bisa dihemat, tapi tidak dalam penghematan BBM.
Hal ini terbukti dari terus melesetnya besaran kuota BBM
bersubsidi setiap tahunnya. Tahun 2012 misalnya, hingga pertengahan Desember
sempat terjadi potensi kekurangan pasokan BBM bersubsidi karena kuota yang
disediakan habis. Untungnya pemerintah dan DPR segera mencapai kesepakatan
menambah alokasi kuota BBM bersubsidi.
Tahun 2014 ini pun, pemerintah dan DPR sepakat untuk bekerja
ekstra effort demi menjaga besaran
kuota BBM bersubsidi tidak meledak di atas pagu 48 juta KL yang telah
disepakati sebelumnya dalam APBN.
Upaya menekan besaran kuota BBM bersubsidi sebetulnya bukan yang
pertama dilakukan. Hampir setiap tahun pemerintah dan DPR berusaha semaksimal
mungkin mengendalikan kuota BBM bersubsidi, meskipun yang terjadi justru
alokasi yang selalu over kuota. Tahun 2007 misalnya, kuota premium ditetapkan
16,58 juta KL dengan realisasi 17,92 juta KL, sementara tahun 2011 kuotanya
24,5 juta. Realisasinya 25,5 juta KL. Badan Pelaksana Hilir Minyak dan Gas
(BPH Migas) memprediksi konsumsi BBM bersubsidi tahun ini akan mencapai 48,97
juta KL.
Kenaikan kuota BBM bersubsidi tentu memberatkan APBN. Tahun
2007, besaran subsidi BBM yang harus direalisasikan pemerintah mencapai 83,8
triliun atau 55,8 persen total belanja subsidi. APBN-P 2013 telah
merealisasikan subsidi BBM 199,9 triliun menjadi 210,7 triliun dalam APBN
2014 dan kembali diproyeksikan dalam rencana pengusulan APBN-P 2014 hingga
285 triliun.
Berdasarkan kesepakatan paripurna DPR, APBN-P 2014 menganggarkan
subsidi BBM 246,49 triliun dari 210,7 triliun. Jika ditambah kenaikan subsidi
listrik 103,82 triliun, maka total subsidi energi APBN-P 2014 menjadi 350,31.
Kenaikan 68,2 triliun rupiah anggaran subsidi energi tersebut, sekitar 50
triliun rupiahnya akan dimasukkan (carry
over) ke APBN 2015.
Proses ini demi mengakomodasi ruang fiskal pemerintah yang sudah
begitu sempit di tahun 2014, meskipun beberapa pengamat justru melihat
sebagai beban pemerintahan baru.
Kebijakan umum belanja pemerintah pusat tahun 2015 memang bagus
didiskusikan, namun sulit diwujudkan. Pemerintah membenahi dulu berbagai
persoalan mendasar yang selama ini justru menghambat kemandekan subsidi BBM.
Penetapan target penerima subsidi BBM serta pembangunan mekanisme
pengawasannya atau pembangunan infrastruktur dasar gas alam rasanya lebih
elok untuk dijadikan kebijakan umum pemerintah terlebih dahulu.
Jika persoalan dasar sudah terselesaikan, berbagai inisiatif
yang diajukan juga wajib didukung sepenuhnya oleh presiden sebagai yang
terdepan di negara ini. Keteladanan merupakan kata kunci yang harus dipraktikkan.
Jangan lupa apa pun nantinya kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah,
seyogianya dikaji dengan saksama dan komprehensif, jangan lagi bersifat
parsial dan memberikan potensi keuntungan bagi sebagian pihak serta
bertentangan dengan kebijakan sebelumnya.
Mekanisme dual fuel BBM bagi kendaraan pribadi, misalnya, secara
teori mudah dilakukan, namun persoalan infrastruktur dan teknologi menjadi
hambatan lain yang berpotensi menghambat pelaksanaannya. Belum lagi masalah
moral hazard penyelundupan dan penyelewengan di lapangan.
Persoalan dari sisi supply kendaraan bermotor, khususnya
pabrikan, yang harus menyiapkan konsep mobil hybrid yang dapat mengonsumsi
sekaligus bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar gas (BBG) juga perlu
dianalisis lebih mendalam. Penambahan teknologi oleh pabrikan biasanya akan
diimbangi dengan kenaikan biaya produksi yang ujung-ujungnya berimbas kepada
mahalnya harga jual di level konsumen.
Dengan menempatkan kepentingan nasional, berbagai ide dan
gagasan tersebut wajib didukung seluruh komponen anak bangsa dalam berbagai
kapasitas dan peran serta masing-masing. Jadikan juga gerakan penghematan
subsidi BBM sebagai gerakan nasionalisme versi baru demi terciptanya tujuan
pembangunan nasional yang lestari dan berkelanjutan antargenerasi.
Pelajaran penting lainnya koordinasi dan penyamaan visi demi
menciptakan sinergi kebijakan demi konsistensi implementasi. Masyarakat sudah
terlalu letih dihadapkan kepada fakta kurangnya koordinasi di tubuh
pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar