Utopia
Sekolah Gratis
J Sumardianta ;
Guru
|
KORAN
TEMPO, 23 Juli 2014
Kota Madya Blitar, Jawa Timur, boleh disebut sebagai pelopor
pendidikan gratis. Warga Blitar menikmati sekolah TK sampai SMA gratis sejak
2010 berkat kebijakan Wali Kota Samanhudi. Gratis dalam arti bebas dari
kewajiban membayar SPP bulanan dan uang gedung. Bahkan segala keperluan
sekolah, seperti alat tulis, seragam, buku, sepatu, dan tas, ditanggung
pemerintah kota.
Pendidikan gratis memang program andalan Wali Kota sejak
kampanye dalam pemilihan kepala daerah. Di Kota Blitar, semua anak usia
sekolah harus mengenyam pendidikan. Semua murid diterima. Tidak ada yang
ditolak masuk TK, SD, SMP, SMA, dan SMK.
Bukan hanya mencegah anak-anak usia belajar putus sekolah karena
tidak mampu membayar, para murid di semua jenjang pendidikan dijamin naik
kelas. Tidak boleh ada yang tinggal kelas. Pendidikan gratis di kota mungil
dengan tiga kecamatan ini memang patut diapresiasi sekaligus dikritisi.
Pendidikan dalam konteks mikro (proses kegiatan belajar
mengajar) di kelas melibatkan dua pihak: guru sebagai pendidik; murid sebagai
peserta didik. Selama perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan belajar
mengajar di kelas berjalan dengan baik, sah-sah saja semua murid naik kelas.
Idealnya memang tidak ada murid tinggal kelas.
Murid memiliki tiga karakteristik gaya belajar: cepat, sedang,
lambat. Sejauh kegiatan belajar-mengajar sudah mengakomodasi keragaman gaya
belajar murid, tidak ada salahnya semua naik kelas. Masalahnya, di Indonesia,
kegiatan belajar-mengajar belum sepenuhnya mengakomodasi kemampuan belajar murid.
Kelas-kelas akselerasi yang pernah diterapkan SMA rintisan
bertaraf internasional (RSBI) hanya mengakomodasi para murid dengan gaya
belajar cepat. Murid dengan gaya belajar sedang dan lambat dicampur dalam
kelas yang sama di sekolah biasa. Secara natural, murid dengan gaya belajar
lambat memang membutuhkan tempo belajar lebih banyak dan lebih lama.
Sebetulnya wajar bila mereka tidak naik kelas.
Di sinilah tampak anomalinya. Di Blitar, semua murid SD wajib
menyelesaikan pendidikan 6 tahun. SMP, SMA, dan SMK harus 3 tahun. Keharusan
menempuh setiap jenjang pendidikan tepat waktu sudah tentu mengabaikan proses
kegiatan belajar-mengajar. Wong,
semua harus naik kelas.
Pendidikan gratis di Blitar, dilihat dari dua arah guru dan
murid, adalah program utopis. Pendidikan mengalami simplifikasi. Semua
disederhanakan dan diambil gampangnya demi kebijakan yang mengesankan membela
kepentingan masyarakat tidak mampu. Kinerja guru bisa tidak optimal. Hasrat
belajar murid bisa datar saja. Toh, semua naik kelas. Kebijakan sekolah
gratis juga memakan korban. Sekolah-sekolah swasta sekarat dan gulung tikar.
Di Jerman dan Finlandia, sekolah dari TK sampai perguruan tinggi
juga gratis. Pemerintah kedua negara menetapkan pajak super-tinggi guna
mensubsidi pendidikan gratis. Walau gratis, di kedua negeri itu pendidikan
sangat menyantuni profesionalisme guru dan tumbuh kembang murid.
Di Blitar, pendidikan gratis disubsidi melalui APBD.
Keberlanjutan program bisa terhenti di tengah jalan bila wali kota pada 2015
nanti tidak terpilih lagi. Program pendidikan gratis terkait erat dengan
janji kampanye saat pilkada; bukan komitmen nasional sebagaimana berlangsung
di Jerman dan Finlandia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar