Legawa
Parni Hadi ;
Wartawan dan Aktivis Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 23 Juli 2014
Ingat kata legawa,
ingat Pak Harto, presiden kedua republik ini. Salah satu jasa Pak Harto
adalah memperkaya kosakata bahasa Indonesia dengan memasukkan kata dan
ungkapan yang berasal dari bahasa Jawa.
Kata legawa semakin sering diserukan banyak orang menjelang
detik-detik pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (22/7)
malam, terkait pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Hasilnya, pasangan
nomor urut 2, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, akhirnya ditetapkan memimpin
bangsa ini untuk lima tahun mendatang.
Sebelum legawa masuk kosakata bahasa Indonesia dan khazanah
bahasa politik Indonesia, kita mengenal kata lega, yang dalam bahasa Jawanya
lego. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua terbitan Balai Pustaka
tahun 1991, lega artinya 1) lapang, luas, tidak sempit, 2) tidak sesak,
kosong, dan 3) berasa senang (tenteram), tidak gelisah (khawatir) lagi, dan
4) senggang, tidak sibuk.
Kamus itu belum memuat kata legawa. Saya pikir, legawa ini mirip
arti kata lega yang nomor 3) di atas. Tapi lebih dari itu, legawa tidak hanya
berasa tenteram karena tidak ada yang dikhawatirkan lagi, tetapi berkenaan
dengan sesuatu yang lebih dalam: kejiwaan, filsafat, dan keyakinan agama.
Mungkin yang paling pas untuk padanan kata legawa adalah ikhlas,
plong, tidak ada beban karena
semuanya disandarkan kepada ketentuan Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, setelah
kita berusaha dan berdoa sekuat kemampuan. Jadi, legawa itu berkaitan dengan
iman.
Pangestu dan Pancalaku
Berbicara tentang legawa
mengingatkan saya kepada buku Pangestu
(Paguyuban Ngesti Tunggal) yang
mengajarkan lima sikap hidup mulia—lagi-lagi dalam bahasa Jawa—yakni rilo, nrimo, sabar, jujur, dan budi
luhur.
Rilo menurut ajaran ini dimaknai sebagai rela atau ikhlas kalau
kehilangan sesuatu tidak merasa kecewa.Nrimo di sini dimaknai sebagai
bersyukur atas yang diperoleh atau terjadi setelah berusaha optimal dan
memanfaatkan perolehan itu semaksimal mungkin guna mencapai keadaan yang
lebih baik.
Jadi, nrimo bukan
“menerima” apa saja yang terjadi atau menimpa diri secara pasif sebagai nasib
atau takdir, tanpa berupaya maksimal sebelumnya. Arti yang terakhir ini
sering disalahterapkan oleh sebagian orang Jawa dan disalahartikan sebagai
sifat orang Jawa.
Sabar dimaknai sebagai tahan terhadap ujian. Menurut para ahli agama,
berlaku sabar atau menahan amarah (nafsu marah) adalah puasa yang jauh lebih
berat daripada tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak berhubungan
seks.
Sementara itu, budi luhur
dimaknai sebagai sifat welas asih, suka menolong tanpa pamrih kepada sesama.
Kelima sifat itu dinamai sebagai “Pancasila”-nya Pangestu, sebuah paguyuban
spiritual yang menganjurkan penganutnya mengamalkan kelima sifat mulia
tersebut.
Ada lagi lima laku yang disebut pancalaku oleh penemu dan
penyebarnya, Wiyoso Hadi. Kelima laku itu disebut dalam bahasa Indonesia dan
Arab, yakni rendah hati, lurus, tulus,
zuhud, dan fana fillah.
Rendah hati dimaknai sebagai sifat tidak sombong. Lurus sebagai
menjalankan sesuatu dengan disiplin, taat asas/aturan. Tulus adalah laku
tanpa pamrih. Sementara itu, zuhud sebagai sikap mengambil seperlunya/sedikit
mungkin atau sederhana. Fana fillah dimaknai, semuanya tergantung kehendak
Allah setelah empat laku sebelumnya dilaksanakan.
Nah sekarang, kedua pasangan calon presiden dan calon wakil
presiden bersama para pendukungnya silakan mengamalkan, jika berkenan,
butir-butir ajaran mulia di atas. Di samping, tentu saja dan yang terutama,
adalah menerapkan ajaran agama masing-masing.
Nah sekarang, baik pemenang Pilpres yakni Joko Widodo – Jusuf
Kalla maupun yang belum berkesempatan untuk kali ini yaitu Prabowo Subianto –
Hatta Rajasa bersama para pendukungnya silakan mengamalkan, jika berkenan,
butir-butir ajaran mulia di atas. Di samping, tentu saja dan yang terutama
adalah menerapkan ajaran agama masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar